Part12

2.2K 263 0
                                    

Bismillahirrahmanirrahim
__________~~~__________

"Shalla... shalla... shallatu sunnatat tarawihi rak'ataini jami'ata rahimakumullah."

"Lā ilāha illallāhu Muhammadun rasūlullāhi shallallāhu 'alaihi wa sallam."

Di bawah langit gelap nan indah dengan gemerlap bintang di atas sana, aku hadir menghadap sang Ilahi. Yaa Allah... beginikah rasanya ketika seorang hamba menghadap Tuhannya, batinku bergetar, bulu kudukku meremang, bahkan aku hampir menitihkan air mata kala mendengar seruan sang bilal, lalu dibalas serentak oleh jama'ah. Yaa Allah... sungguh besar kuasa-Mu, hingga mampu menggetarkan ulu hatiku. Ini sangat indah, yaa Rab.

Ketika sang imam berdiri, kami ikut berdiri. Kemudian kami merapihkan shaf barisan lalu terdengar imam mengucap takbir dengan lantang, kami pun ikut takbir. Dimulailah shalat tarawih disebuah masjid yang diberi nama 'al-qaromah'.

-

"Ayra,"

Aku yang hendak memakai sandal untuk segera pulang, dibuat mendongak kala Fia memanggil dari atas tangga masjid. "Kamu gak ikut tadarusan dulu, Ay?"

Aku menggeleng, "gue langsung balik aja deh ya, assalamu'alaikum..."

"Wa'alaikumusalam."

Aku bergegas pulang, entahlah aku hanya ingin cepat-cepat pulang. Ditambah lagi dengan perasaan ku yang tiba-tiba gelisah. Aku pulang hingga melupakan ayah dan ibu yang mungkin masih berdoa di masjid.

Setibanya aku di depan rumah, pintu rumah terbuka dengan lebar entah siapa yang berani masuk tanpa ada orang rumah. Aku berlari masuk, dan betapa terkejutnya kala tahu isi rumah telah berubah seperti kapal pecah.

/PYAR! "NJ*ng! Berisik gob**k... kalau ada yang denger, kan bahaya!"

"Ya, sorry!"

Mendengar itu, aku kembali berlari naik ke atas tangga. "HEH, SIAPA KALIAN!"

"Wah, gawat! Cabut-cabut!"

Melihat gelagat mereka yang hendak kabur dengan kantong yang kurasa berisi barang rumah, aku dengan gesit menyambar kantong itu. "Balikin, barang-barang ayah!"

"Shitt!"

/Brakk!

Aku terjatuh karena dorongan keras pria berjubah hitam itu. Tak sampai disini, untuk apa aku pandai bela diri tapi tak digunakan. Hingga tepat diujung bawah tangga, aku menarik bahunya dengan sekali tarik, orang itu berbalik dan menyerang, aku menahannya dan balik menyerang.

/Brukk!

Hebatnya, dengan sekali dorongan punggungku membentur dinding amat keras. /"Akh... shitt!"

Aku meringis sampai tak menyadari bahwa satu orang lain sudah memegang pisau sedari tadi. "Hay, cantik... bukalah matamu!"

Saat aku membuka mata, sebuah pisau langsung tertodong tepat di depan leher yang masih tertutup mukena membuatku terbelalak, diam tak berkutik. "Berani minta tolong, habis, lo!"

Ayah... tolong Ayra...

"Gimana, cabut?"

"He, enak aja lo main cabut! Kalau nih orang lapor polisi gimana?"

Aku meneguk saliva, tak kuasa memikirkan apa selanjutnya. Apalagi pergerakanku yang telah dia kunci. Aku pasrah, dan berharap seseorang datang menolong ku.

Jantungku berdebar kencang, melihat tatapan maut orang yang menodongkan pisau itu. "Oke, kita habisi aja nih orang. Biar gak ada satu orangpun yang bisa ngelapor!"

5 cm

"Jangan..."

4 cm

3 cm

"STOP!!"

/BUGH!

Berbarengan dengan cekalan tanganku yang terlepas, pisau tak lagi mengarah pada ku. Sementara orang yang ayah pukul dengan balok jatuh dan mengerang sakit, satu orang lain lagi langsung menusuk ayah.

Aku terkejut bukan main. Sama halnya dengan orang yang menusuk ayah, ia sampai melangkah mundur dengan tangan bergetar. Aku tak mengindahkan itu, aku tak peduli dengan mereka dan aku tak peduli dengan isi rumah yang mereka bawa. Yang kupikirkan sekarang adalah ayah.

"AYAAHH..."

Aku berlari, memapah ayah untuk berbaring di atas pangkuanku. Wajah ayah sudah pucat pasi, tangannya yang berusaha melepaskan pisau di perutnya, aku bantu begitu pelan, berharap ayah tak merasakan sakit. Walaupun pada nyatanya, ayah sudah merasakan sakit luar biasa. "Ayah. Ayah tunggu disini, ak-aku telpon ambulans, ya ayah... ayah tahan, ya..."

Ayah menahan lenganku, membuatku menghentikan pergerakan ku yang hendak bangkit. "Nggak, nak... shhhh aakhh!"

Ringisan pilu itu, sangat menyayat hati. Aku tak kuasa menahan isak tangis. Tangan kekar yang biasanya terasa keras, kini terangkat bergetar dan berlumuran darah. Aku mengambilnya, menciumnya berulang-ulang dan menghirup aroma ayah yang biasa kurasakan kini malah hilang berganti amis. "Ayra... ayah minta maaf, karena... ayah belum bisa j-jadi ayah yang baik... buat kamu..."

Aku menggeleng. "Kalau Allah menggariskan umur ayah sampai sini... ayah mohon... jaga ibu ya, nak..."

"Nggak, ayah... ayah gak boleh ngomong gitu... ayah harus kuat, demi aku..."

Aku semakin terisak dari balik tangan ayah. Sakit rasanya melihat ayah menahan sakit hingga mengerang, sementara aku, diam tak bisa apa-apa.

"Ayah mohon... terus begini ya, nak. Rajin shalat, terus ingat sama Allah dan terus berbuat baik demi ayah..."

"Ayah minta... maaf... karena sikap ayah yang kasar ini, sayang..."

"I love you, Ayra... anak ayah..."

Aku menggeleng, menghapus air mata yang merembes di pipi ayah. Tidak! ya Allah... tolong jangan bawa ayah.

"La... illa... ha illallah... Muhammadur Rasulullah..."

"Nggak! AYAH! AYAH BANGUN... AYAH JANGAN TINGGALIN AYRA... AYAH..."

****

Huhuu... maaf banget ya kalau kurang nge-feel🤧

See u next part 🤧

Hijrahku di bangku SMA (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang