ANIMA'S CROSSING
Nun jauh di ujung perbatasan Heva, wilayah yang disebut sebagai "Wilayah Hitam", terdapat satu gerbang misterius. Menurut legenda, gerbang itu adalah batas antara alam manusia dan anima yang mati, namun belum berubah menjadi arwah sepenuhnya. Di gerbang itu, ada banyak kisah yang masih menjadi rahasia misterius.
.
.
Beomgyu meneguk bir Scotchnya muram. Jika saja Pelayan Joo tahu, dia pasti diomeli setidaknya empat jam. Memang Beomgyu boleh saja mabuk, bahkan boleh saja minum bir banyak. Tapi, jika Beomgyu mabuk, Beomgyu kacau—muntah-muntah, tubuhnya kurang enak—sedangkan Goreum pun tidak boleh ada di gendongannya. Bukan karena bau alkohol tercium kuat dan membuat Goreum rewel, tapi Beomgyu juga agak teler sampai mungkin saja akan mencelakan Goreum. Jadi, ada kesepakatan tegas, Beomgyu hanya boleh dekat-dekat putranya jika dia sadar sepenuhnya. Waras dan bernapas. Sadar dan sehat.
"Serius, Bos. Jika kau berada di sana, kau bisa berkomunikasi dengan anima mereka. Itu tidak terbatas waktunya."
Satu anak buah Beomgyu yang punya rambut cepak ikut menyahut, "Tapi itu wilayah berbahaya. Ke sana saja sudah sulit apalagi berada di gerbang itu. Aku sempat dengar penjaganya adalah malaikat maut."
"Yak, berhenti mengarang."
"Pesan satu gelas lagi." Suara Beomgyu memecahkan diskusi tersebut. Beomgyu memijat tengkuknya yang panas. Sial, bahkan dia belum mabuk juga. Beomgyu penasaran apakah toleransinya akan alkohol makin meningkat karena letih. Atau karena hatinya yang tengah berantakan sekarang. Atau faktor lain.
"Bos, jangan minum banyak-banyak," ujar anak buahnya yang lebih pendek.
"Tidak, aku baik."
"Kau akan pulang ke barak atau ke rumah? Kau punya waktu libur tiga hari."
Beomgyu mendapatkan satu Scotchnya lagi, menenggaknya bagai kehausan plus kesetanan. Setelahnya, dia mengerang dalam. "Kurasa di barak. Aku tidak sanggup berpisah dengan Goreum kalau sesingkat itu," sahutnya masih berusaha tetap membuka mata. "Mengapa?"
"Ti—tidak, hanya penasaran. Truknya datang pagi-pagi buta. Kalau mau pulang, aku baru menyarankan sebaiknya kita pulang dan tidur agar tidak tertinggal. Tapi, berhubung kau tidak pulang—"
"Yah, kita habiskan semalaman di sini."
Si cepak tersenyum. Tidak pernah sekali pun dia tidak kagum pada Beomgyu. Meski dari luar pria itu ketus luar biasa, galak, dan suka memerintah dengan nada keras, akhirnya dia tahu. Beomgyu tetap manusia. Beomgyu tetap punya sisi lemahnya. Sekarang dia tengah bermuram durja dan jelas, si cepak agak bangga karena dia yang bertugas menemani si Bos mereka. "Pokoknya, malam ini kita santai saja."
Beomgyu menyipitkan mata. "Lanjutkan cerita tadi. Sampai bagian si malaikat maut."
"Oh ya, kau penasaran, Bos? Sebenarnya ini cerita tua nenekku. Jadi dia sana ada penjaga yang adalah malaikat maut dengan anjing berkepala tiga yang akan menyalak dan memberikanmu pembelaan untuk apa datang jauh ke sana. Serta, ada ular warna hijau lumut yang menuntumu sampai ke gerbang perbatasan itu. Oh ya, kau juga harus memberikan satu hal yang paling kau sayangi di sana."
"Apa.."
"Satu hal saja. Yang paling kau sayangi sebagai bayaran. Atau kau harus menukar jiwamu demi bertemu anima itu."
Beomgyu makin mengeryitkan dahi. Pantas saja aku tidak pernah mau percaya cerita tua. "Baik, lanjutkan." Malam ini agak panas. Dan bar agak ramai, jadi si cepak harus meninggikan suara, lalu menggeser kursi supaya Beomgyu dengar lebih jelas. Rekannya, si pendek dan si botak, turut mendengarnya, serius.
"Jadi, siapa pun yang ke sana sama saja mencari mati, sih. Tidak pernah ada yang kembali."
"Nah, jadi itu cerita dari mana?"
"Dari yang ada di ritual mereka, dan buku tua. Ada yang meneliti sampai sana, tapi yah, hanya ditemukan buku diari, jurnal, dan tulisan mereka. Jasadnya tidak pernah ditemukan. Mungkin jadi makanan ular dan anjing penjaga."
Hih, bukan waktu terbaik untuk menceritakan bagaimana manusia diumpankan ke binatang buas itu. Beomgyu jelas jadi makin mual sampai perutnya turut bergemuruh tidak nyaman. Beomgyu tidak tahu siapa yang waras sekarang. Dia hanya merasa... ingin dekat lagi dengan Taehyun. Bahkan di dalam barak, dalam tenda gelap, dalam satu kantung tidurnya yang tidak begitu nyaman, Beomgyu terus memikirkan Taehyun tanpa pernah absen.
Taehyun punya satu kesan kuat. Tidak, Taehyun sudah meninggalkan satu bekas lebih parah dari tato dalam kulitnya, dalam raganya, dalam hatinya. Beomgyu sadar, sampai kapanpun, jejak Taehyun tak hilang meski waktu menggerogotinya.
"Tapi aku ada satu orang aku kenal berhasil lolos, meski tidak sampai ke gerbang. Dia juga jadi orang terkenal di kampungnya. Letak kampungnya tidak jauh dari Heva. Mungkin kau pernah dengar, tapi dia berasal dari klan Black Raven, dan jelas, dia terbang makannya selamat."
"Ah, aku benci klan mereka."
Si pendek menimpali, "Yah, mereka sangat kasar dan senang menyombongkan diri. Kawanan mereka paling beringas."
"Benar."
"Begitukah? Apakah mungkin menemuinya?" tanya Beomgyu penasaran. Ketiga pemuda itu bertukar pandang, sedangkan Beomgyu menandaskan birnya, kembali mengerang dan balas menatap si cepak. "Aku serius bertanya."
"Bos, jangan bilang kau mau ke sana. Itu gila, kau mau meninggalkan kawanan kita? Kau mau mangkir dari tugas? Kau mau meninggalkan anakmu dan pelayanmu juga! Keluargamu?"
"Aku cuma tanya."
"Kau sih, segala cerita," tuduh di botak kemudian memandang Beomgyu. Raut wajahnya mulai cemas. "Bos, aku peringatkan agar kau tidak ke sana. Apalagi untuk klan kita, itu sangat berisiko. Kau tidak mungkin berpikiran segila itu?"
"Aku bilang, aku cuma tanya," katanya tegas. Beomgyu mengerang. "Kalian ini kenapa, sih?" Suara Beomgyu terdengar sekeras biasanya, jadi ketiganya langsung menunduk.
"Kami tahu kau sangat sedih—"
"Tidak ada yang tahu seberapa dalam kesedihanku. Ini... menyiksa," sahutnya. Beomgyu menggeleng. "Tapi aku tidak punya hal yang bisa aku korbankan di sana. Aku.. tidak mungkin ke sana."
"Baguslah, aku sempat khawatir."
"Tapi bukan berarti aku tidak tertarik ke sana." Beomgyu menatap ketiganya bergantian. Bar jadi makin ricuh karena pintu yang ternyata rusak, membuat kerumunan masuk bersama-sama, memadati lantai dansa, dekat bartender, dan sekitar mereka. Di tengah suara yang beradu, panas yang berkecamuk, Beomgyu terus bicara, "Aku akan berubah jadi animaku, menyelusuri peta yang mungkin diberikan si Black Raven itu, kemudian mulai melakukan perjalanan ke sana. Aku penasaran seperti apa rupa tempat itu. Dan bertemu malaikat maut sepertinya tidak bisa terjadi tiap hari."
"Itu gila, Bos."
Si pendek turut menggeleng. "Jangan cari mati."
Beomgyu tersenyum, bibirnya agak berkendut.
END OF SEASON I
KAMU SEDANG MEMBACA
HESTIA CLASS | beomtae ✔
FanfictionDi tahun 2040, manusia terbagi menjadi beberapa klan, sesuai dengan transformasi tubuh mereka. Klan terkuat ditempati oleh White Wolf. Klan ini menguasai teknologi dan ilmu pengetahuan. Beberapa keluarga besar klan White Wolf bahkan pernah menjabat...