Bab 5. Tidak Diizinkan Mati

1.2K 189 1
                                    

DILARANG MENJIPLAK, MENYALIN, MEMPUBLIKASIKAN CERITA MILIK SAYA TANPA IZIN ATAU SEPENGETAHUAN PENULIS.

.

.

.

"Yu Wen?" Ega terbelalak. Nama itu meluncur dari mulutnya dengan keras. Rasa sakit diabaikannya. Ega tidak suka berhutang budi, terlebih nyawa, karena alasan itulah dia bermaksud untuk menyelam, mencari keberadaan budak bisu itu. Namun, langkahnya terhenti, pupil sang jenderal kembali membesar saat melihat putra mahkota melepas jubah berat dan sepatu beratnya lalu meluncur luwes ke dalam air danau yang dingin.

.

.

.

Mati. Hanya kata singkat itu yang ada di dalam otak Wen saat ini. Genggaman tangan Hakob sudah mengendur. Tubuh sang budak terus meluncur semakin dalam. Rasanya begitu dingin hingga tubuh Wen terasa mati rasa.

Ah, benar, sepertinya dia akan mati di tempat ini. Sama seperti keluarganya, Wen tidak akan memiliki pemakaman yang layak.

Mungkin memang harusnya seperti ini. Berusaha untuk tetap hidup ternyata sangat melelahkan.

Perlahan, kedua kelopak mata itu mulai terpejam. Saat merasa yakin akan mati, seseorang justru menarik tubuhnya yang nyaris hilang kesadaran. Tangan besar seseorang mendekap pinggangnya erat.

Siapa? Pertanyaan itu melintas di dalam kepala Wen sebelum akhirnya jatuh tidak sadarkan diri.

.

.

.

Malam sudah tiba. Perlahan bulan merangkak naik untuk menunaikan tugasnya hari ini. Namun, Yu Wen masih belum terjaga. Tubuh menyedihkan pria itu terbaring di atas ranjang kulit. Kulit wajah Wen terlihat sangat pucat, dan putra mahkota memperlihatkan ekspresi tidak suka saat tabib militer mengatakan sulit untuk menyembuhkan budak bisu itu.

"Gunakan obat terbaik!" Bright mencengkram kerah tabib paruh baya di hadapannya. Wajah yang lebih tua memucat seketika. Darah seolah hilang dari tubuhnya. "Aku menginginkan dia hidup!" Itu sebuah perintah dan sang tabib hanya bisa mengangguk, pasrah.

Dengan kasar, Bright melepas cengkramannya. Perhatian pria itu kembali tertuju kepada Wen. Putra Mahkota masih menatap lekat budaknya saat tabib berkata, "Ramuan ini harus diminumkan setiap enam jam sekali."

Tabib membawa mangkok di atas meja lalu berjalan ke sisi ranjang Wen. "Suhu tubuhnya pun semakin menurun. Kita harus memastikan tenda ini cukup hangat."

Tabib mengaduk ramuan obat di dalam mangkuk beberapa kali lalu menyendok dan membawanya ke bibir Wen. Helaan napas pria terdengar sangat berat saat usahanya untuk memasukkan obat ke dalam mulut Wen tidak berhasil. "Kita harus mencari cara untuk memasukkan—"

"Berikan kepadaku!" potong Bright membuat tabib militer menekuk keningnya dalam. Mendapat tatapan tajam, pria paruh baya itu pun segera berdiri memberikan mangkuk obat di tangannya kepada putra mahkota. "Pergi!" ucap Bright kemudian.

Tabib tidak banyak bicara. Dengan patuh pria itu pamit undur diri. Ega yang sejak awal berdiri di depan pintu tenda pun ikut mengundurkan diri setelah mendapat perintah dari putra mahkota.

Keheningan mengambil alih untuk beberapa saat. Langkah berat Bright teredam oleh karpet usang yang diinjaknya. Ia membawa mangkok ke bibirnya lalu meneguk cairan di dalamnya. Dengan hati-hati Bright mengangkat tengkuk Wen, satu tangannya yang bebas membuka bilah bibir yang lebih muda.

Bibir keduanya bertemu. Perlahan, Bright memasukkan cairan ramuan itu ke dalam mulut Wen yang masih terlelap.

Setelah memastikan ramuan ditelan oleh Wen, ia pun beranjak untuk meletakkan mangkuk yang sudah kosong di atas meja terdekat, dan tanpa suara mulai menanggalkan satu per satu pakaiannya.

TAMAT - FATED (BRIGHTWIN (BxB))Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang