Bab 8. Linnea

1K 180 11
                                    

DILARANG MENJIPLAK, MENYALIN, MEMPUBLIKASIKAN CERITA MILIK SAYA TANPA IZIN ATAU SEPENGETAHUAN PENULIS.

.

.

.

Seorang wanita muda berpakaian pelayan berjalan cepat. Wajah wanita itu bulat, tubuhnya pendek, dan gemuk. Pita putih pengikat topi pelayannya bergerak saat ia berjalan, berbelok di ujung lorong dan masuk ke dalam sebuah ruangan dengan pintu ganda berukir emas.

"Mia?" Sebuah panggilan dari dalam ruangan membuat pelayan itu menoleh lewat bahu saat menutup pintu di belakangnya.

"Hamba, Yang Mulia." Mia mengelap tangan yang sedikit berkeringatnya ke gaun pelayan yang dikenakan. Gaun itu berwarna biru langit, berleher rendah, dihias pita satin berwarna senada, dengan renda yang disulam di lingkaran ujung gaun.

"Apa kau sudah mendapatkan berita yang kuinginkan?"

"Hamba sudah mendapatkannya, Yang Mulia." Mia berjalan ke sisi ranjang. Seorang wanita muda lain duduk di sana, menyandarkan punggungnya dengan nyaman ke kepala ranjang.

Mia menarik sebuah kursi ke sisi ranjang lalu mulai bercerita. "Sepertinya suara seruling itu berasal dari salah satu kamar tamu Raja Dedric."

Linnea--putri yang berasal dari Kerajaan Leif mendengarkan dengan saksama. Kerajaan Leif merupakan satu dari kerajaan kecil yang berada di ujung timur Kerajaan Gao, dan sudah sejak lama menjadi bagian dari jajahan Kerajaan Barat. "Jadi kau juga tidak yakin?"

Mia meragu untuk beberapa saat. Ia memiringkan kepala ke satu sisi dan kembali bicara dengan penuh semangat. "Mereka mengatakan jika sumber suara tadi malam berasal dari kamar itu. Dia salah satu pengawal Pangeran Maximus."

"Kenapa suaramu terdengar seperti ... takjub?"

Mia tidak langsung menjawab. Dalam keheningan itu ditatapnya kedua netra sang tuan yang tidak bercahaya. Linnea dianugerahi kecantikan yang lembut luar biasa, tapi wanita itu buta.

"Hamba berpapasan dengan pria itu tadi pagi," lapor Mia, menundukkan kepala. Semburat merah menghiasi pipinya, yang merona.

"Kenapa suaramu berubah genit?"

Mia berdeham. Salah tingkah di tempat duduknya. "Pria itu sangat tampan," pujinya. "Pakaiannya seperti orang-orang dari timur, tapi kulit pria itu seputih salju dan rambutnya ... rambutnya sangat panjang, melebihi pinggang, tergerai sangat indah. Yang Mulia, dia benar-benar rupawan."

"Tapi dia salah satu pengawal Pangeran Maximus," lanjut Mia, merinding. "Dia pasti sangat berbahaya."

Linnea mengembuskan napas panjang. Jemari lentiknya menyelipkan anak rambut ke belakang telinga. Di luar, matahari sudah sangat tinggi, tapi wanita itu masih tidak mau beranjak dari balik selimut. "Alunan lagu yang dimainkan oleh pria itu sangat lembut." Ia tersenyum. "Untuk pertama kali setelah datang ke tempat ini, aku bisa tidur nyenyak," tambahnya.

Ia menjeda, mengulurkan tangan, meraba-raba di udara hingga Mia menangkap telapak tangan itu, menangkupnya, lembut. "Aku ingin bertemu dengannya."

"Untuk apa?"

"Meminta bantuan," jawab Linnea, pendek.

.

.

.

Suara gemuruh tepuk tangan dan sorakan semangat memenuhi lapangan terbuka di sayap kiri istana, siang ini. Ribuan prajurit berkumpul, memperlihatkan kemampuan bergulat dari resimen berbeda.

Di sisi lapangan, berdiri Pangeran Maximus, Pangeran Andres, Ega serta Yu Wen, menatap ke tengah lapangan dengan ekspresi berbeda-beda.

Bright bertelanjang dada. Sang putra mahkota berdiri dengan ekspresi pongah, menatap salah satu prajuritnya yang tengah bertarung di atas arena dengan pandangan penuh penilaian.

TAMAT - FATED (BRIGHTWIN (BxB))Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang