Bab 22.1 Sosok yang Tidak Asing

762 131 12
                                    

Source pics : Pinterest

Happy reading ya! ^^

.

.

.


Langit sudah hampir tenggelam saat Nare duduk bersantai di atas sebuah dahan pohon apel. Mulut wanita itu sibuk mengunyah, sementara kedua kakinya digerak-gerakkan, pelan.

 Mulut wanita itu sibuk mengunyah, sementara kedua kakinya digerak-gerakkan, pelan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Setelah Kaisar Takvor pulang dari berburu, kita pasti akan sangat sibuk." Pandangan Nare tertuju ke langit di kejauhan. Semburat jingga mewarnai langit. Burung-burung beterbangan untuk kembali ke sarang masing-masing.

"Ah ... kenapa Pangeran Maximus harus pulang secepat ini?" tanyanya. "Jujur saja, aku masih ingin sedikit bersantai." Nare memetik beberapa pohon apel matang lalu memasukkannya ke dalam saku. "Aku akan memberi budak bisu itu hadiah selamat datang," kekehnya.

Dari pohon apel lain, Abaven berdecak. "Jangan macam-macam! Kita tidak diizinkan bergerak tanpa perintah Kaisar." Dengan suara berat ia mengingatkan.

Mendengar hal itu, Nare mendengkus. Ia meludahkan biji apel yang tidak sengaja terkunyah, lalu memetik buah apel matang lain untuk dimakannya. "Menurut kalian, siapa yang harus kita bunuh setelah ini?"

"Kenapa harus memikirkan hal yang belum terjadi?" Seorang pria berambut pirang bicara dengan suara dalam. Ia berdiri bersandar ke batang sebuah pohon apel, memejamkan mata dengan tangan disilang di depan dada.

Rambut pirang pria itu bergoyang lembut tertiup angin sore. Ia cukup tampan andai bekas luka melintang di pipi kanannya tidak berada di sana. Adrik, mengembuskan napas panjang sebelum bicara dan membuka kedua kelopak matanya. Kepalanya menoleh, menatap seorang pria lain yang tengah duduk bersandar ke batang pohon apel di belakangnya.

Ketiganya tengah bersantai di kebun apel milik istana. Terkadang mereka membutuhkan tempat untuk sekedar menarik napas panjang dan memejamkan mata diantara kesibukan yang selalu nyaris membawa mereka kepada Dewa Kematian.

"Abaven, bagaimana dengan luka-lukamu?" Adrik bertanya dengan suara cemas. Diantara sepuluh pengawal Kaisar Takvor, hubungan ketiganya terbilang dekat walau berkali-kali Abaven nyaris membunuh Nare karena kekurangajaran wanita itu.

"Dia baik-baik saja." Nare menjawab pertanyaan itu dengan nada sinis. "Hei, bukankah dia masih bisa berkumpul bersama kita? Itu artinya dia baik-baik saja," sambungnya saat mendapat tatapan penuh peringatan dari Adrik.

Abaven segera berdiri. "Aku baik-baik saja—"

"Lukamu yang sebelumnya masih belum sembuh total, dan sekarang kau mendapatkan luka baru. Bagaimana bisa kau mengatakan baik-baik saja?" Adrik memotong cepat. Ia menggelengkan kepala. Langit sudah semakin gelap. "Kaisar Takvor terlalu keras terhadapmu. Jika terus seperti ini kau bisa mati."

Ia menjeda, terlihat sedikit ragu. "Apa tidak pernah melintas di pikiranmu untuk melarikan diri dan mendapatkan kebebasanmu?"

Nare berhenti mengunyah. Matanya menatap Abaven dan Adrik bergantian sebelum meloncat turun dengan mulus.

TAMAT - FATED (BRIGHTWIN (BxB))Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang