Bab 31.1 Perasaan Terikat

569 78 5
                                    

Hallo2 ... yang mau ikut PO pdf, diperpanjang sampai tanggal 02 November 2023 ya.

Link untuk pemesanan dan pembayaran ada di profile saya ya. Harga khusus PO 50 rb. Words diperkirakan lebih dari 180K words. Tanggal pengiriman tetap sama di tgl. 05.11.2023 malam.

Untuk pdf gratis s/d bagian buku ketiga, akan saya share secepatnya. Isinya sama dengan publishan Wattpad/Twitter.

Thank you dan happy reading! ^^

.

.

.

Deru napas Jenderal Aiguo tidak teratur. Darah segar merembes keluar dari luka tusuk di dada kirinya. Jenderal Wuhuan memaksa memaksa tuannya untuk membuka topeng perak yang masih dikenakan. Sang jenderal besar membutuhkan banyak oksigen untuk bernapas saat ini.

Jenderal Aiguo membuka topengnya dengan enggan. Pada akhirnya ia berbaring di atas kasur keras di dalam tenda. Pertempuran yang dia hadapi kali ini sebenarnya cukup mudah. Namun, lawan menjadikan penduduk sebagai tameng sehingga Jenderal Aiguo dan pasukannya harus lebih berhati-hati saat menyerang.

Mereka mengatakan jika perang selalu memakan korban. Tidak peduli pria, orang tua, wanita bahkan anak-anak tidak berdosa. Namun, bagaimana Aiguo bisa mengabaikan mereka?

Senjata jenderal musuh berhasil ditusukkan ke dada kiri Aiguo. Walau berhasil membalas dan memenggal kepala jenderal musuh, luka yang diderita oleh Jenderal Aiguo tidak bisa diremehkan.

Tabib yang memeriksa kondisi sang jenderal berkali-kali menggelengkan kepala. Tusukan itu menggores jantung Aiguo.

"Yang Mulia, mohon ampuni hamba." Sang tabib berlutut, lalu bersujud di samping ranjang Aiguo. Cahaya lentera berpendar di atas meja, suasana di dalam tenda terasa dingin, mencekam. "Hamba tidak berguna. Hamba benar-benar tidak berguna."

Wuhuan terlihat tidak sabar. Ia bergerak, mencengkram kerah tabib paruh baya yang masih bersujud lalu mengangkatnya, tinggi. "Lakukan sesuatu. Ratapanmu tidak akan bisa menyembuhkan Yang Mulia!" Dia mengatakannya dengan penuh penekanan. Wuhuan sama frustrasinya.

Sebenarnya dia bisa mengerti perasaan sang tabib, tapi Wuhuan tidak bisa kehilangan tuannya. Mereka membutuhkan Jenderal Aiguo. Langit tidak akan sekejam ini, kan?

"Wuhuan?" Suara Jenderal Aiguo terdengar parau. Kondisinya semakin melemah. Di luar, malam sudah semakin larut. Pasukan mereka berhasil menduduki Kota Han. Tidak sedikit korban yang jatuh di pihak lawan. Walau begitu, korban yang jatuh di pihak Aiguo pun tidak bisa dibilang sedikit. "Ambilkan arak." Sang jenderal tersenyum saat Wuhuan menatapnya dengan ekspresi sedih. "Kenapa melihatku seperti itu?" Terselip nada bercanda di dalam suara sang jenderal saat bicara.

Tabib Hu masih menangis dalam diam. Dia bergerak cepat ke ranjang saat Aiguo batuk dan memuntahkan seteguk darah. Kain yang diletakkan di atas luka Aiguo sudah berubah warna. Tabib Hu menunduk, berusaha menyembunyikan kesedihannya dari sang jenderal.

"Aku ingin mabuk," ujar Jenderal Aiguo. Perlahan, kedua matanya terpejam. Deru napasnya masih cepat dan berat. "Yunning dan Yu Wen mereka sudah dewasa." Aiguo berterima kasih saat Wuhuan memberinya botol arak. Tanpa ragu, Aiguo meneguknya dalam satu tegukan besar lalu kembali bicara, "Kapan terakhir kali aku melihat mereka?" tanyanya.

Aiguo kembali terbatuk dan memuntahkan darah. Namun, dengan cepat dia menyeka dengan punggung tangannya. "Putra-putraku ...." Aiguo menggelengkan kepala. Ia meneguk araknya lagi. "Jasa apa yang kulakukan di kehidupanku yang lalu hingga bisa memiliki putra seperti mereka?" tanyanya, parau.

Kedua mata Aiguo mulai memanas oleh desakan air mata. Arak membuatnya sedikit mabuk hingga melupakan rasa sakit di seluruh tubuhnya. "Sudah tidak ada waktu," sambungnya setelah terdiam beberapa saat. "Yu Wen harus segera kembali untuk menggantikanku. Semangat juang prajurit akan menurun jika tahu jenderal mereka tewas karena itu Yu Wen harus segera kembali."

Ia terdiam, rasa sakit kembali menyerang hingga Aiguo kesulitan bernapas. "Katakan kepada Baojia, tolong katakan permintaan maafku kepadanya."

"Yang Mulia, Anda bisa mengatakannya sendiri kepada Pangeran Baojia. Anda akan baik-baik saja. Anda akan sembuh dan kembali memimpin kami." Wuhuan tidak bisa membendung kesedihannya. Dia berlutut di sisi ranjang, memohon kepada Langit untuk memberikan keajaiban kepada tuannya. "Yang Mulia, tolong jangan menyerah," pintanya parau.

Aiguo berusaha menarik napas walau sangat sulit. "Aku lebih tahu kondisiku. Perang ini masih panjang. Kalian memerlukan pemimpin untuk memenangkan peperangan." Ia kembali menjeda. Napasnya putus-putus. Aiguo lalu menunjuk meja kerjanya. Ia meminta Wuhuan untuk mengambil sesuatu dari sana. "Berikan buku itu kepada Baojia. Dia akan mendampingi Yu Wen dengan intruksi dariku."

"Yang Mulia—"

"Maaf ...." Aiguo memotong ucapan Wuhuan. "Maaf karena aku tidak bisa mendampingi kalian hingga selesai. "Wuhuan ... tolong jaga anak-anakku," pintanya. Sebulir air mata jatuh dari mata sang jenderal. "Andai bisa, aku ingin dimakamkan bersama istriku." Ia menoleh, pandangannya bertemu dengan Wuhuan. "Apakah bisa?"

Wuhuan hanya mengangguk-anggukkan kepala sebagai jawaban pertanyaan sang tuan. Ia terlalu sibuk menangis hingga sulit untuk bersuara.

"Wuhuan ... bisakah kau menjaga anak-anakku sama seperti kau menjagaku?"

Lagi, Wuhuan menganggukkan kepala.

"Tolong sayangi mereka sama besarnya seperti kau menyayangi dan menghormatiku selama ini." Jenderal Aiguo terdiam beberapa saat hingga Wuhuan mendongak dan melihatnya lebih dekat. Wuhuan melepas napas lega saat dada Aiguo masih terlihat naik turun. "Aku ingin tidur," ucap sang jenderal semakin melemah. Botol arak di tangannya terlepas, hingga jatuh ke atas tanah. "Malam ini kenapa begitu panjang?" tanya sang jenderal, memejamkan mata.

Tabib dan Wuhuan pun bersujud. Keduanya mengantar kepergian sang jenderal dalam diam. Air mata mengalir sementara isakan tertahan di tenggorokan. Akhir musim panas tahun ini, mereka kembali ditinggalkan.

.

.

.

Yu Wen bao bao? Suara berat itu terdengar tidak asing di telinga Yu Wen. Kedua kaki kecilnya berlari, berusaha mencari sumber suara. Suara aliran sungai terdengar diselingi oleh suara cuitan burung yang tidak terlihat wujudnya. Bunga-bunga liar tumbuh subur sepanjang mata memandang.

Yu Wen masih berlari, hingga akhirnya kedua kaki kecil itu menemukan pemilik punggung kokoh nan lebar. Senyum Yu Wen terkembang. Kedua tangannya direntangkan sebelum meloncat ke atas punggung yang terasa hangat,

"Ayah?" Yu Wen memanggil dengan penuh kerinduan. "Ayah ke mana saja?" Ia bertanya di sisi leher Jenderal Aiguo. Sang jenderal mengenakan pakaian terbaiknya yang terbuat dari sutera berkualitas nomor satu. Burung hong tersulam cantik di pakaian yang dikenakan oleh sang jenderal. Sutra hitam itu membuat Jenderal Aiguo terlihat gagah, berwibawa.

"Ayah berjanji akan membelikanku seekor kuda seperti milik Kakak Yunning." Yu Wen kecil melingkarkan tangannya di sekitar leher Jenderal Aiguo yang terkekeh oleh sikap menggemaskannya. "Ayah jangan tertawa." Yu Wen mengerucutkan bibir. "Aku akan adukan ayah ke ibu."

"Itu ibumu."

Yu Wen mengikuti arah pandangan sang ayah. Ibunya terlihat sangat cantik dengan pakaian serba putihnya. Tangan lentik wanita itu bergerak, senyumnya begitu lembut.

"Ayah harus pergi." Sang jenderal menurunkan putra bungsunya dari punggung lalu berbalik. Pandangannya bersirobok dengan iris jernih Yu Wen yang terlihat bingung. "Ibumu sudah menunggu lama."

Kedua alis Yu Wen bertaut. "Boleh aku ikut?" Terselip permohonan dalam suara Yu Wen saat bicara.

Yang ditanya pun tidak langsung menjawab. Telapak tangannya dengan lembut membelai rambut Yu Wen. "Belum saatnya."

"Tapi Ayah, aku pun sudah lelah." Yu Wen kecil menunduk, mengerucutkan bibir sembari menahan tangis. "Kenapa aku tidak boleh ikut?"

Keheningan tercipta.

Yu Wen mengerjapkan mata saat tidak menemukan kedua orang tuanya di sana. "Ayah?" panggilnya serak. Yu Wen mulai menangis. Dia berlari ke sana ke mari. "Ayah? Ibu?" Yu Wen terus berteriak, tapi tidak ada satu orang pun yang menjawab panggilannya.

.

.

.

TBC

TAMAT - FATED (BRIGHTWIN (BxB))Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang