Bab 28.2 Tabir Masa Lalu

803 107 24
                                    

Happy reading! ^^

Masih update tipis-tipis ya.

Happy reading! ^^

.

.

.

Bab 28.2 Tabir Masa Lalu

.

.

.

Yu Wen terkekeh. "Kematianku?" beonya. "Sampai kapan kalian ingin menyiksaku? Kenapa kalian tidak membunuhku saja?"

"Nak—"

Gelengan kepala Yu Wen membuat Mei Hwa menelan kembali ucapannya. Ia bisa mengerti kekecewaan dan sakit hati putranya. Namun, mereka sudah berjalan sejauh ini. Mereka sudah tidak bisa kembali lagi.

"Sekarang, apa yang harus kulakukan?" Yu Wen menatap ibunya, lekat. Kedua tangannya terkepal erat. Rasanya aneh saat tiba-tiba mendengar seorang asing mengatakan jika dia ibu kandungnya. Yu Wen tidak membenci Mei Hwa, tapi hati kecilnya masih belum bisa menerima.

"Kita harus meyakinkan Pangeran Maximus jika kau benar-benar mati."

.

.

.

Yu Wen tidak tahu apakah keputusannya ini benar?

Jika Maximus memang pasangan takdirnya, bukankah kematian Yu Wen akan membuat Maximus terluka dalam? Sebenarnya apa yang mereka harapkan dari kepahitan Maximus? Berapa banyak luka yang harus Maximus terima agar mereka bisa puas?

Benarkah kematian palsunya akan membuat Maximus menjadi semakin kuat?

Yu Wen merasa tidak yakin.

.

.

.

Mendengar Yu Wen sudah kembali ke kamarnya, Maximus bergegas pulang. Wajah pucatnya terlihat lebih segar saat mendapati Yu Wen duduk dengan kepala menunduk dalam di sisi ranjang.

"Kau ke mana saja?" Nada bicara Maximus begitu tinggi hingga Yu Wen terperanjat. Ia berdiri di depan pintu setelah menutupnya dengan membanting, keras. "Kenapa kau tidak melawan saat mereka membawamu pergi?" tanyanya. Maximus menyusurkan jemari tangannya ke dalam rambut. Embusan napasnya terdengar berat. Bergeming, Maximus berdiri tegak saat Yu Wen berjalan ke arahnya dan secara mengejutkan memeluk pria itu, erat.

"Jangan berpikir aku akan luluh saat kau bersikap manis seperti ini!" Maximus berhasil mengendalikan nada bicaranya walau kedua kupingnya memerah saat ini. Tubuhnya begitu kaku saat Yu Wen mempererat pelukannya lalu menangkup wajah putra mahkota dengan kedua telapak tangannya.

Jemari kasar Yu Wen menyentuh alis lebat Maximus, terus turun membelai singkat hidung, pipi dan berlama-lama menyentuh ringan bibir pria itu.

Jantung Maximus berdebar lebih cepat. Napasnya tercekat. Jakun pria itu naik turun saat Yu Wen menyentuhnya dengan gerakan sensual.

Ah, bolehkah Maximus berharap waktu berhenti saat ini?

Maximus tidak pernah berpikir jika dirinya bisa jatuh cinta sedalam ini. Ia tidak pernah memberikan hatinya kepada siapa pun sebelum akhirnya bertemu dengan Yu Wen. Seseorang yang untuk pertama kali berhasil membuat Maximus rindu dan cemas saat tidak melihatnya. Seseorang yang untuk pertama kali berhasil membuat Maximus merasa ingin memiliki. Serta orang pertama yang membuat Maximus setengah gila saat melihatnya terluka.

Putra mahkota tercekat, terhipnotis oleh keindahan mata jernih pria muda di hadapannya. Ia menatap pasangan takdirnya dengan lembut. Baginya, Yu Wen selalu terlihat indah, tanpa cela, memesona.

"Yu Wen?" Maximus memanggil nama itu pelan penuh kerinduan. Matanya terbelalak, kedua telapak tangan putra mahkota terkepal erat saat Yu Wen menyatukan bibir mereka dengan canggung dan hati-hati.

.

.

.

Saat ini rasanya lebih mudah untukku mengambil bulan daripada harus menyakitimu.

Ekspresi tenangku berhasil menyembunyikan segalanya.

Rasanya menyakitkan saat aku harus menyembunyikan pedang tak kasat mata untuk menusuk hatimu.

Aku tidak ingin menyakitimu, sungguh.

Ikatan jodoh kita, mungkin telah berlangsung ribuan tahun.

Pertemuan kita di musim gugur itu mengawali semuanya.

Selama ini aku selalu bersikap munafik, mengatakan kepada diriku jika aku tidak mencintaimu.

Sebenarnya, siapa yang tengah kubohongi?

Setelah ini siapa yang akan menunggu dalam kesedihan?

.

.

.

Di malam hari, udara terasa lebih dingin, menusuk tulang. Gagak Hitam duduk, bersandar ke sebuah batang pohon besar di belakangnya. Binatang malam meramaikan suasana. Namun, tidak mampu menghangatkan hati Gagak Hitam yang sedingin lautan beku.

Lima botol arak kosong tergeletak di atas tanah dingin. Keheningan menyapa. Aura magis terasa di udara. Daun-daun pinus bergoyang tertiup angin. Di langit, sinar perak rembulan jatuh di atas bumi dan isinya. Sebuah batu nisan tanpa nama berdiri tidak jauh dari tempat Gagak Hitam duduk. Nisan itu terlihat dingin, tua, terlupakan.

Khusus untuk hari ini, Gagak Hitam mengenakan pakaian berwarna putih bersih. Ia menanggalkan pakaian serba hitamnya saat menemui sang ibu.

Meneguk sisa arak di dalam botol, Gagak Hitam mengembuskan napas panjang. Sejenak ia mendongak, menatap langit di kejauhan sebelum kembali menatap nisan batu dingin di depannya.

Melihat jemari tangannya yang berkerut karena udara dingin, sebuah senyum tipis muncul di wajah tampan Gagak Hitam. Ekspresi pria itu kosong. Jubah rubah tersampir di bahu sang pria. Suaranya terdengar sangat lembut saat berkata, "Bu, Yu Wen sudah besar." Terselip nada kerinduan dalam suara Gagak Hitam saat bicara. Bibirnya bergetar, menahan puluhan emosi yang membuat dada pria itu sesak, seperti dihimpit gunung. "Dia terlihat tampan, sangat tampan walau lebih tampan aku tentu saja."

Gagak Hitam tertawa, terdengar kosong. Perlahan tawanya berubah menjadi kekehan saat air mata pria itu menganak sungai di kedua sudut matanya. Satu telapak tangannya dibawa ke depan wajah. Baojia masih tersenyum walau air mata terus turun tanpa bisa dikendalikan.

Perasaan bersalah berkumpul semakin besar di dalam dada. Baojia sering berandai, jika dulu ia lebih kuat, mungkin ibu mereka masih hidup. Mungkin Yu Wen tidak akan semenderita ini dan kakak mereka—Yunning, tidak akan menanggung penderitaan begitu besar.

Baojia masih menyalahkan dirinya sendiri. Sebagai anak, kakak dan adik, ia merasa gagal.

Mengusap wajah, kasar, Baojia melepas napas berat. "Maaf!" ucapnya, setengah berbisik. Ia terdiam beberapa saat untuk menenangkan diri. "Bu, Kakak Yunning lebih pendek dariku." Tawa Baojia kembali terurai. Pandangannya menerawang jauh. "Kakak memiliki mata sepertimu." Baojia terus bicara. "Sayang sekali aku belum bicara banyak dengannya, tapi Ibu jangan khawatir, dia tumbuh dengan baik. Sepertinya Raja Abaven memberi kakak makan tepat waktu."

Keheningan menggantung untuk beberapa saat.

Baojia menekuk kening. Ekspresi pria itu berubah cepat. "Bu, kami akan segera kembali ke Wilayah Timur," ucapnya terdengar sangat serius. "Aku berjanji akan mencungkil mata paman tercintaku untukmu. Apa kau menginginkan darahnya juga? Atau mungkin menginginkan cabikan tubuhnya?"

Terdiam, Baojia menggangguk-anggukkan kepala dan memasang pose berpikir. "Bagaimana jika kita memberikan dagingnya untuk burung pemakan bangkai?" tanyanya kemudian. Kedua matanya berbinar, antusias. "Setidaknya dia berguna untuk alam, kan?" Baojia tertawa dan terus berkata, "Kita akan memikirkannya nanti. Namun, aku akan pastikan tubuhnya tercabik-cabik, sama seperti yang dilakukannya kepadamu."

.

.

.

TBC

TAMAT - FATED (BRIGHTWIN (BxB))Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang