Bab 22

3.8K 290 1
                                        

'Tenanglah Hana, meski kesulitan datang tiba-tiba, langit tak akan serta merta runtuh menimpa diri kita.'

Itulah pesan ibunya selalu. Pesan itu sangat berbekas di hati Hana. Setiap kali ia mendapat kesulitan, Hana selalu mengingat pesan ibunya tersebut.

Sesungguhnya, kesulitan memang dihadirkan dengan satu alasan, yaitu, membuat kita yang ditimpanya menimang pelajaran, termasuk  jika itu sebuah kesalahan. Setiap orang pasti pernah melakukan kesalahan, siapapun dia, yang paling beruntung dari para pembuat kesalahan itu adalah yang berhasil mengambil pelajaran, lantas, ia memperbaiki kesalahannya dan berusaha menjadi orang yang lebih baik lagi setelahnya.

.

.

.

Siang itu Hana tengah berbincang di beranda rumah, bersama Yanti, sepupunya yang hanya terpaut usia satu tahun. Rumah mereka memang bersebelahan.

Saat Hana masih di Jakarta dan sedang merencanakan kepindahannya ke Bandung, ia memang minta sepupunya itu untuk mencarikan rumah sewa. Kebetulan, di sebelah rumah Yanti ada rumah kosong yang disewakan oleh pemiliknya. Secara ukuran, rumah itu tidak terlalu besar, sewanya juga murah. Kondisi bangunannya juga tidak buruk. Hana sangat bersyukur bisa mendapatkan rumah itu.

"Teh Hana nonjok dia?" Yanti bertanya. Mulutnya menganga karena keterkejutan.

"Ya. Aku juga gak tahu dapat keberanian dari mana," jawab Hana.

Dua orang sepupu itu sedang membicarakan tentang Dharma. Orang yang telah berkali-kali mencoba melecehkan Hana di masa remajanya. Yanti mengetahui semua cerita tentang laki-laki itu dari mulut Hana sendiri. Setiap musim liburan sekolah dan kuliah, Hana selalu berkunjung ke rumah pamannya di Bandung dan sering berbagi cerita dengan Yanti di sela-sela mereka bercengkrama.

"Teh Hana udah gak takut lagi sama dia?"

Hana menghela nafas. "Hmm ..., sebenarnya masih takut, mungkin, kalau ketemu dia lagi suatu saat aku bakal takut deh, tapi .... Gak ngerti kenapa waktu itu aku malah gak takut sama sekali, malah pengen nonjok aja gitu ...."

Yanti terkekeh geli, benaknya membayangkan seorang laki-laki terjungkal setelah ditonjok Hana, sepupu kesayangannya. Lantas Yanti memeluk sang sepupu. Ia merasa sangat bangga pada kemajuan yang dialami oleh Hana. Dalam hati, ibu satu anak itu berdoa, semoga Hana dapat segera menyembuhkan traumanya.

"Bapak kamu masih marah sama aku?" Hana bertanya pada sepupunya. Dia menunjuk pamannya yang tak lain adalah ayah kandung Yanti. Laki-laki tua itu sedang duduk bersama istrinya di beranda rumah mereka.

Kalau rumah Yanti dan rumah Hana bersebelahan, maka, rumah Hana dan rumah pamannya justru bersebrangan. Sebuah jalan dengan ukuran lebar 5 meter memisahkan rumah mereka.

"Kayaknya sih, aku juga gak tahu." Yanti menjawab pertanyaan sang sepupu.
Hana menghela nafas. Ia sama sekali tidak menyangka dengan situasi yang harus dihadapinya saat ini.

Saat ia datang ke kampung ini satu minggu lalu, pamannya yang biasa ia panggil 'Wa Ujang' itu menyambut begitu hangat. Beliau juga memeluk erat Raffa dan berkali-kali menciumnya. Tapi, saat percakapan mereka sampai pada topik 'di mana keberadaan suami Hana?' dan  'mengapa pria yang biasa dipanggil Al itu tak turut serta pindah bersama Hana?' Situasi hangat di antara mereka jadi berubah.

"Makanya, Teh Hana jelasin aja atuh semuanya sama si Bapak! Biar gak penasaran lagi."

"Susah, Ti. Aku juga ..., gak tahu harus jelasinnya gimana."

"Susah gimana sih?" Yanti menatap Hana penuh tanya.

"Gini, hm ..., aku sama dia udah pisah dari tujuh tahun lalu, waktu Raffa masih di dalam perutku."

Arti Mimpi AlfarizkiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang