Bab 12

3.3K 286 1
                                    

Dua wanita terpaut usia tiga puluh tahun lebih itu masih terus bersitegang saat Ridwan, sang kepala rumah tangga datang dan menengahi pertengkaran.

Astrid langsung bergelayut manja pada lengan suaminya seranya mengadukan apa yang dilakukan Hana, anak tirinya. "Papa, Sinta mau bawa kotak perhiasan itu. Padahal 'kan itu punya Mama, Papa udah kasih sama Mama, iya kan?!" Suara wanita itu terdengar mendayu-dayu.

Hana tertawa mendengar aduan ibu tirinya kepada sang ayah. "Yang bener aja sih, Bu?! Masih aja ngaku-ngaku. Denger ya! Ini punya Mama saya, ibu yang melahirkan saya. Sekarang, karena Mama saya udah wafat, jadi semuanya milik saya. Gak ada ceritanya punya situ!" kata Hana sinis.

Ia sama sekali tak menghiraukan kehadiran pria yang selalu ia panggil 'papa' yang ada di hadapannya.

"Tuh 'kan, Pa. Sinta mau bawa perhiasannya." Astrid merengek sambil terus terus memegangi lengan suaminya. "Itu punya Mamah, Pa."

Ah sudahlah! Hana tak peduli. Dia memutuskan untuk pergi.

Tapi, langkahnya terhenti, saat ayahnya memanggil.

"Sinta! Tunggu Nak!"

Hana menatap wajah Ridwan. Melempar pertanyaan lewat tatapan mata.

"Kamu mau Papa beliin perhiasan? Nanti Papa beliin. Perhiasan yang kamu pegang itu ...."

Apa?!

Hana tercengang. Sungguh, ini sulit dipercaya.

Jadi, ayahnya mau Hana memberikan perhiasan warisan ibu yang melahirkannya kepada wanita jahat itu? Bagaimana bisa?

"Tapi, Pa. ini punya Mamaku. Gimana bisa jadi punya dia?"

"Ma'af, Sayang. Tujuh tahun lalu, waktu kamu gak pulang-pulang, Papa kasih rumah dan semua isinya sama Ibu Astrid, termasuk perhiasannya. Ibu Astrid mengambil perhiasan itu atas izin Papa."

"Papa! Ini punya mamaku, Pa. Harusnya, kalaupun diwariskan, ya, sama aku. Bukan sama orang lain."

"Dia bukan orang lain. Dia istri Papa, dia ibu kamu juga."

"Hahahaha!"

Tiba-tiba Hana tertawa terbahak-bahak. Ridwan dan Astrid sempat kaget dengan aksinya.

Tak lama, Hana meneteskan air mata. Raut wajahnya terlihat getir. "Papa memang selalu seperti ini, dari dulu," katanya.

"Apa maksudnya?" tanya Ridwan.

"Dulu, tiap ada masalah kayak gini, Papa selalu minta Mamaku untuk ngalah. Papa gak pernah ada di sisi mamaku, belain dia dari perempuan jahat ini!" Hana mengacungkan telunjuknya ke wajah Astrid.

"Sinta! Yang sopan bicara sama orang tua!"

"Ya. Aku harus selalu sopan, aku dan mamaku harus selalu ngalah. Kami harus selalu minta ma'af tiap kali ada perselisihan! Ini semua gak adil. Papa selalu bersikap seperti ini sama aku dan Mamaku!" Hana berteriak. Air matanya mengalir seiring emosi yang beranjak naik.

Ridwan mencoba meraih pundak putrinya. "Bukan begitu, Nak!" katanya.

Hana menggelengkan kepala. "Ya! Begitu. Memang selalu begitu. Papa sama sekali gak peduli sama aku dan mamaku. Aku benci Papa! Papa lebih peduli sama perempuan sialan ini!"

Arti Mimpi AlfarizkiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang