Bab 34

3.2K 247 0
                                    

“Hana!” Rahma mendengar Sarita memanggil menantunya.

Ini sangat aneh bagi wanita paruh baya itu. Calon menantu berkumpul dalam satu tempat dengan calon mantan menantu.

“Hana! Sini, duduk di sini!" Sarita menepuk sofa yang sedang didudukinya. Meminta Hana duduk di sisinya. Entah apa maksud sikapnya tersebut. Sungguh sangat aneh. Terlebih, mereka sedang berkumpul membahas pernikahan antara Sarita dan Al, yang tak lain adalah laki-laki yang masih berstatus suami Hana.

Hana berjalan perlahan ke arah mereka yang sedang berkumpul di ruang tamu, Rahma, Al, Sarita dan Astrid. Pandangannya kaku tertuju pada Sarita, entah pemikiran apa yang sedang menghuni benaknya.

“Hana, kamu ‘kan lebih pengalaman dari aku. Kasih saran dong, kira-kira konsep pesta pernikahan yang cocok buat kita nanti apa ya?” Sarita bertanya saat orang yang dipanggilnya telah duduk di sisinya.

Hana mendecih seraya melipat dua tangannya di dada. Ia tertawa sinis, wanita itu mengerti bahwa Sarita hanya sedang pamer.

“Butuh berapa hari kalian mempersiapkan pesta pernikahan waktu itu? Apa pestanya dilakukan di rumah ini? Atau di Gedung? Di Gedung mana?” Sarita bertanya lagi.

Hana hanya menghela nafas, ia tak terlihat hendak merespon pertanyaan-pertanyaan Sarita.

Calon istri Al itu lantas mengeluarkan sehelai kertas berhias serat berwarna emas. “Lihat, Hana! Surat undangan pernikahan kami. Menurut kamu bagus gak? Minggu depan, rencananya surat undangannya akan mulai dibagikan. Dulu, kalian ngundang berapa ribu orang?”

Tidak. Pertanyaan barusan sudah terlalu jauh. Rahma bahkan bisa melihat efeknya untuk Hana. Menantunya itu sontak berwajah murung.

“Hana …! Kok diem aja sih? Ngomong dong …!” Sarita bicara seraya menggoyang-goyangkkan lengan Hana. Sementara orang yang sejak tadi diajaknya bicara diam saja, pandangannya bahkan terlihat kosong.

.

.

.

Hana menghela nafas Panjang. Suara Sarita yang terus saja bertanya membuatnya sakit kepala.

“Kalian undang siapa aja? Ada pejabat? Atau artis?” Lagi-lagi Sarita bertanya.

Hana mendecih dan tersenyum sinis.
Ini salahnya sendiri. Untuk apa dia ikut berkumpul dengan orang-orang ini? Memang apa yang dia harapkan dari perempuan menyebalkan yang belum juga berhenti bertanya itu? Sarita pasti sedang merasa besar kepala karena akan menikah dengan Al, menggantikan posisi Hana sebagai istri laki-laki itu.

Hana menghentak tangan Sarita yang sejak tadi memegangi lengannya. Lantas, ia memandang lurus wajah perempuan itu, dengan raut wajah dingin, Hana bicara, “Persiapan pernikahan kami waktu cuma dua minggu, nikahnya di Gedung KUA, gak ada pesta, gak ada udangan. Dua minggu setelah pernikahan aku diusir suamiku sendiri, setelah itu kami berpisah. Titik.”

“Hah?!” Sarita tercengang. Tak mengira dengan semua jawaban yang dikatakan Hana yang diucapkan dalam satu kalimat tersebut.

“Kamu di … di … usir?” Calon istri suami Hana itu bertanya di tengah keterkejutannya.

“Iya,” Hana mengangguk, “Mudah-mudahan kamu tidak mengalami hal yang sama ya.”

“Tapi kenapa?” tanya Sarita.

Hana menghela nafas, lalu menatap wajah Al dengan sebuah senyum sinis. “Kamu tanya sendiri sama orangnya,” kata Hana. Lantas, ia pergi.

.

.

.

Dimana anakku?

Hana bertanya-tanya dalam hati. Ia tak bisa menemukan Raffa, putranya. Setelah meninggalkan ruang tamu, ia mendatangi setiap sudut rumah mertuanya. Lelaki kecilnya tidak ada di manapun.

Arti Mimpi AlfarizkiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang