Bab 3

4.6K 388 1
                                    


Wanita bernama Sinta itu hanya bisa terpaku. Ia tidak menyangka laki-laki itu ternyata ada di sini. Laki-laki yang menjadi sumber kebahagiannya, sekaligus asal mula semua penderitaan yang ia alami.

"Papa."

Sinta menyapa terlebih dahulu. Sejujurnya, ia ingin melarikan diri seperti biasa. Tapi, mereka berdua sudah kadung saling menatap. 

Bagaimanapun, Sinta masih memiliki rasa hormat.

Tubuh renta milik sang ayah terlihat semakin mendekat. "Sinta? Kamu ke mana aja, Nak?" tanyanya.

Sinta meraih tangan yang mulai dipenuhi keriput itu, dan melakukan salim penuh takzhim.

"Udah lama banget kamu gak pulang ke rumah. Kamu tinggal di mana selama ini?"

"Sinta gak kemana-mana kok, Pa. Selama ini tinggal di Jakarta."

"Masa?"

"Iya."

"Kenapa gak pernah pulang ke rumah, Nak?"

Laki-laki tua itu menatap nanar putrinya yang sudah lama tak dijumpai. Tentu ia tahu alasan utama  kenapa Sinta tak pernah pulang. Rumah itu, rumah yang ia huni bersama keluarganya, tak pernah benar-benar menjadi sebuah tempat pulang yang nyaman bagi Sinta.

"Ma'af, Sinta sibuk, Pa."

Air mata sudah berkumpul di pelupuk mata. Sinta tak ingin menangis di hadapan ayahnya. Jadi, ia menahan diri sekuat tenaga.

Sinta memang rutin menghubungi beliau melalui telepon, setidaknya satu bulan sekali, hanya untuk sekedar mengabarkan bahwa ia baik-baik saja. Ia sama sekali tidak menyangka, pertemuan langsung seperti ini bisa begitu menguras emosi.

"Ikut pulang sama Papa, ya?!"

Sinta mendongak. "Sekarang?"

"Ya. Mau ada selamatan kelulusan adik kamu, Yoga."

Semua memori tentang anak laki-laki yang telah beranjak remaja itu sontak memenuhi pikiran Sinta. Wanita itu tersenyum.

"Ikut ya! Yoga pasti seneng banget kalau kamu datang."

"Baik, Pa. Sinta ikut, tapi gak bisa lama. Jam satu nanti, Sinta harus balik ke kantor."

"Gak apa-apa, sayang. Yang penting kamu pulang meski cuma sebentar."

Beberapa menit kemudian, Sinta terlihat menaiki mobil ayahnya. Setelah sekitar tujuh menit membelah jalanan, kendaraan roda empat itu masuk ke sebuah perumahan mewah. Lantas, berhenti di depan sebuah gerbang berwarna hitam yang menjulang. Terdapat ukiran yang meliuk dan unsur berwarna emas sebagai hiasannya. Di sisi kanan dan kiri ada pagar terbuat dari material beton. Pagar rumah mewah ini terlihat bagaikan benteng.

Sinta merasa sedikit gugup saat keluar dari mobil. Setelah tujuh tahun berlalu, ini adalah kali pertama ia mengunjungi istana ayahnya lagi.

Dan benar saja, seperti dugaannya. Beberapa orang di kediaman mewah itu telah bersiap menyambut kedatangan Sinta dengan wajah sinis. Itu adalah istri pertama ayahnya, dan juga anak sang ayah yang dilahirkan oleh wanita itu, serta, beberapa sanak keluarga mereka yang lain.

Sinta masuk ke sebuah ruang tamu mewah dengan perasaan canggung. Ternyata, telah banyak tamu berkumpul di sana. Syukurlah.

Beberapa orang yang ia kenal mendatanginya dan menanyakan kabarnya. Mereka bersikap cukup ramah di hadapan Sinta. Entahlah, jika sedang dibelakangnya.

"Kak Sinta …!" Yoga datang, dan langsung saja menubruknya.

"Hai! Selamat ya, kamu udah mau jadi anak SMA," kata Sinta.

Arti Mimpi AlfarizkiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang