Bab 11

3.6K 284 1
                                        

Hana membuka pintu sebuah rumah. Ribuan kenangan seketika menyeruak ke dalam benaknya. Kenangan tentang ibu yang melahirkannya, namanya Arnita Rahayu. Beliau wafat lima belas tahun lalu, saat Hana berusia tujuh belas tahun. Waktu itu, ia baru saja lulus SMA.

Rumah yang baru saja Hana masuki berbentuk seperti sebuah pendopo. Letaknya berada tepat di belakang rumah mewah milik pengusaha kaya raya bernama Ridwan Hanafi. Awalnya, pendopo itu difungsikan sebagai gudang. Saat ia menikahi Arnita, pendopo itu dijadikan sebagai rumah, tempat tinggal Arnita dan putri mereka yang baru berusia satu tahun. Di tempat inilah, Hana dibesarkan oleh ibu yang melahirkannya. Mereka datang saat Hana berusia satu tahun. Arnita memang dinikahi Ridwan Hanafi setahun setelah ia melahirkan.

Bagi Ridwan, bukan hal mudah mengikat wanita itu dalam ikatan pernikahan, apalagi hanya untuk dijadikan istri kedua. Saat itu Ridwan memang sudah memiliki seorang istri, dan juga seorang anak laki-laki yang berusia tiga tahun.

Dan, membuat istri pertamanya menerima kehadiran Arnita dan Hana tentu saja jauh lebih sulit lagi bagi laki-laki berprofesi sebagai pengusaha tersebut. Dia harus merelakan beberapa asset menjadi milik pribadi Astrid. Juga harus menuruti semua permintaan wanita itu.

Tapi pada akhirnya, semua berjalan sesuai keinginannya. Dia memutuskan untuk menutup telinga dari desas-desus yang berasal dari mulut orang lain tentang kehidupan pernikahannya. Apa yang mereka semua katakan tidak penting bagi Ridwan.

Sayangnya, laki-laki itu juga menutup telinga dari curahan hati istri keduanya yang terus menerus mengeluh bahwa ia mengalami perundungan. Astrid, istri pertama Ridwan memang tak segan-segan menunjukkan ketidaksukaannya pada sang madu. Dia terus menyakitinya, menyindir-nyindir, bahkan menciptakan cerita-cerita bohong tentang Arnita dan menyebarkannya pada orang lain.

Arnita hanya bisa menyimpan semuanya sendiri. Tak ada yang mau berdiri di sisinya, untuk membela dan melindungi dirinya juga putri yang dilahirkannya.

Sebenarnya, Arnita bisa mengerti mengapa Astrid begitu membencinya. Wanita mana yang sudi suaminya memadu cinta dengan wanita lain? Apalagi diawali dengan pengkhianatan pada pernikahan mereka. Wajarlah, kalau Astrid merasa marah dan tak terima. Apalagi saat suaminya membawa wanita lain tersebut datang ke rumah yang telah lama ia huni. Meski, Arnita menghuni rumah yang berbeda, tapi tetap saja, mereka ada di lokasi yang sama.

Karena itu, Arnita berkali-kali meminta sang suami memindahkannya dan Hana ke tempat yang lain. Demi mengurangi kemarahan Astrid, dan juga demi ketentraman mereka sendiri. Tapi, entah kenapa, Ridwan tidak pernah memenuhi keinginan istrinya keduanya. Tidak ada yang tahu persis alasannya yang sebenarnya.

.

.

.

.

.

Semakin Hana masuk ke dalam rumah itu, kenangan tentang ibunya semakin teringat dengan jelas.

Beberapa jam sebelum wanita berdarah Sunda itu wafat, mereka sempat berbincang hangat, mengenai ke mana Hana harus melanjutkan pendidikan. Mereka juga membicarakan beberapa rencana bepergian yang sedianya dilakukan beberapa bulan kemudian.

"Kamu harus selalu bahagia. Apapun yang terjadi, kamu harus bahagia. Sesulit apapun hidupmu, meski gelap langit yang menaungimu, meski sempit tanah tempatmu berpijak, selalu ada cara untuk menemukan bahagia."

Itu pesan-pesan ibunya. Hana ingat, setelah mengatakan itu, ibunya tersenyum. Itu adalah senyum paling cantik yang pernah Hana lihat. Dengan senyum itu, wajah ibunya jadi tampak bersinar.

Setelah perbincangan yang cukup hangat dan panjang malam itu, Arnita undur diri dari kamar putrinya. Dia bilang, dia lelah, hendak beristirahat.

Dia tidur malam itu. Lalu, tak pernah bangun lagi.

Arti Mimpi AlfarizkiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang