Setelah melihat gedung yang akan dipakai lusa, Haiman pun membersihkan dirinya setelah sampai rumah.
Haiman menghampiri Ibunya yang sedang menghangatkan makanan, karena dia dan Ayahnya pulang lewat jam makan malam.
"Malam, Bunda." Ucap Haiman mengecup pipi Ira.
"Malam,."
Haiman pun duduk dimeja makan, siap menyantap makanan lezat buatan bundanya.
Ahhh, rasanya Haiman sudah tidak tahan lagi mencoba masakan dari Salma."Kamu kenapa senyum-senyum sendiri?" Tanya Ira bingung melihat anaknya yang senyum-senyum sendiri melihat piring kosong.
"Nggak, Haiman cuman gak nyangka aja. lusa Haiman udah jadi suami." Ira yang mendengarnya pun hanya menggelengkan kepalanya.
"Jadi laki-laki yang bertanggung jawab!! Bunda gak mau kamu jadi pecundang."
Sean yang akan duduk pun merasa tersentil dengan kata-kata Ira, meskipun sudah lama.
"Ehh Ayah, makan dulu yah." Ira pun menyiapkan makanan untuk Suaminya, Haiman dan Sean pun makan malam berdua karena orang rumah sudah makan malam.
Setelah selesai makan, Haiman pun berencana untuk istirahat karena memang tubuhnya sudah lelah.
Senyuman yang dia tampilan kini lenyap saat dia menaiki tangga. Dia melewati kamar Haidar begitu saja.
Langkah kakinya bukan menuju kamar tapi menuju balkon di ujung lorong, saat dia membuka pintunya. Angin berhembus kencang, apalagi ini sudah tengah malam.
Harusnya ini menenangkan tapi tidak untuk Haiman, pikirannya begitu riuh, sangat berisik.
Haiman mengeluarkan sesuatu di dalam saku celananya, barang yang tak pernah dia sentuh seumur hidupnya tapi sekarang dia membeli itu. Karena kata orang bisa membuat tenang.
Haiman mulai menyalakan roko di tangannya, dia menghisapnya tapi baru saja beberapa kali hisap dia langsung terbatuk hebat.
"Arghh brengsek. " Tubuh Haiman langsung luruh, dia memeluk kakinya. Tangisan yang beberapa hari ini dia tahan tak lagi bosa dia tahan sekarang.
Kenapa harus seperti ini.
Dia beberapa kali menepuk dadanya yang sesak, tangisannya begitu pilu.
Tanpa Haiman sadari kalau ada seseorang yang melihat apa yang dia lakukan sedari tadi, hatinya juga ikutan hancur karena bagaimanapun Abangnya seperti itu karena dirinya.
Haidar pun berjalan mundur meninggalkan Abangnya sendiri.
***
Takdir memang tidak pernah ada yang tau, hari ini kamu menjadi orang yang paling bahagia tapi besok atau lusa kamu menjadi orang yang dikuatkan.
Sesakit ini menerima hati,, menerima takdir, mengikhlaskan sesuatu yang tidak ditakdirkan dengan kita.
Bahkan sekuat apapun genggaman mu jika dia tak ditakdirkan untuk mu, maka tidak akan jadi milikmu.Ya allah, saat rencana ku tak seindah ekspetasi ku, Tolong ingatkan aku untuk tetap sabar menerima semua ini . Menerima bahwa semuanya tak harus dimiliki.
Haiman menghentikan mobilnya jauh dari dari rumah Salma, rumah itu begitu sepi karena memang masih malam.
Dia benar-benar nekad pergi malam-malam ke rumah Salma, padahal lusa mereka sudah berganti status.
Dia masih bersandar di kursi mobilnya tanpa niat turun. Dia hanya diam saja sambil terus menatap rumah di depannya. Seakan dia tidak akan melihatnya lagi.
Setelah cukup lama memandang rumah Salam, Haiman pun melajukan mobilnya pergi. Entah tak tau dia akan kemana. Terlalu kalut berada di rumahnya sehingga dia memutuskan menuju taman.
Mungkin orang akan sangat takut berada di sini karena selain sudah malam, di sini juga sangat gelap. Ada lampu tapi jauh.
"Argggghhhhh" Teriak Haiman,
"KENAPA YA ALLAH, KENAPA HARUS SALMA YANG DISUKAI HAIDAR."
"SALMA, APA AKU MASIH ADA DIHATIMU? AKU INGIN BERTANYA TAPI AKU TIDAK SIAP MENDENGAR JAWABAN KAMU."
"ARGHHHHHHHHH" Haiman berteriak dengan sangat kencang.
"TUHAN, TAKDIR APAKAH INI."
"Arghhhhhhh" Haiman kembali teriak meluapkan sesak dihatinya.
Matanya menatap langit malam yang gelap, hatinya begitu pilu.
Dia beranjak dari tempat duduknya, kaki melangkah menuju mobil yang tak jauh dia parkirkan.Kakinya kembali menginjak pedal gas, meninggalkan taman kota yang begitu sunyi. Terdengar suara shalawatan dari berbagai masjid yang dia lewatin. Pertanda kalau waktu sudah semakin pagi.
Tapi dia tak berniat menghentikan mobilnya, dia terus saja melajukan mobilnya dengan kencang. Tanpa sadar dia memejamkan mata karena dia memang belum istirahat seharian ini, bukan hanya fisiknya yang lelah tapi juga batin dan pikirannya.
Sampai suara benturan keras tak membuat mata Haiman terbuka, dia seperti terus di tarik ke alam mimpi saat mobilnya menabrak pembatas jalan dan berguling sebanyak tiga kali.
Dia membuka matanya saat posisi mobil sudah terbalik, darah mengalir deras dari keningnya. Badannya begitu sakit tapi dia tak bisa keluar dari sana. Samar-samar dia mendengar suara teriakan orang dari luar.
Tapi dia sudah tak punya tenaga lagi sebelum dirinya benar-benar memejamkan mata.
***
Tak ada yang aneh pagi ini, Ira menyiapkan sarapan untuk anak-anak.
Satu persatu datang ke meja makan, dengan senyuman manis Ira mengisi piring-piring suami dan anak-anaknya.
Keningnya mengerut karena tak melihat anak pertamanya.
"Han, tolong panggilin Abang kamu," titahnya.
Hanna pun beranjak tanpa membantah, Haidar menatap nasi di depannya dengan pandangan kosong.
"Jadi kapan Haiman berangkat, Mas?" tanya Ira pada suaminya.
"Selepas akad, mungkin dua hari setelah akad mereka dia langsung berangkat." jawab Sean. Haidar yang sedang menatap kosong nasinya hanya menyimak saja pembicaran orang tuanya tanpa berniat nimbrung.
"Tapi sama istrinya kan?"
"Tentu saja, tapi kita pastikan lagi saja nanti sama dia."
Ira pun mengangguk paham, terdengar suara Hanna yang menuruni tangga tergesa-gesa.
"Hanna hati-hati." tegur Sean.
Nafas Hanna tersengal, kening mereka mengerut melihat tingkah aneh Hanna.
"Kenapa aih,"
"Bun, abang gak ada."
"Hah, yang serius kamu Hanna." tegur Ira, menyentak.
"Serius Bun, Abang gak ada."
Ira termenung, dia bangun pagi-pagi sekali. Tapi dia tak melihat anaknya keluar, rasanya sangat tidak mungkin kalau anaknya pergi.
"Kamu sudah cek kamar mandi?"
"Udah Bun, tapi gak ada."
Kini semua orang terdiam, tentu saja mereka bertanya-tanya. Kemana perginya Haiman. Apalagi tak ada yang tau kapan Haiman pergi, Haidar yang sedari tadi diam pun menjadi was-was. Malam tadi dia melihat Abangnya di balkon. Setelah itu dia masuk ke dalam kamar.
Terdengar suara telepon rumah menyala, Ira meliriknya. Pikirannya begitu kalut. Entah kenapa perasaannya jadi tak nyaman.
Telepon kembali nyala membuat Hanna pun berjalan ke arah telepon rumah, namun saat dia mengangkat telepon itu langsung terdengar gagang telepon yang terjatuh di iringi dengan raungan Hanna.
"Ayah cepat lihat berita, lihat. Itu pasti bukan Abang." teriaknya.
"Hanna ada apa?" tanya Ira panik, dia pun mengambil gagang telepon itu tapi sambungan telepon sudah terputus.
Hanna langsung memeluk Bundanya, di sela tangisannya dia pun akhirnya angkat bicara.
"Abang kecelakaan Bun, tadi polisi telepon kalau Abang kecelakaan tunggal. Mobilnya terguling tiga kali."

KAMU SEDANG MEMBACA
Hai, Jodoh!! (End)
Fiksi RemajaJangan Lupa Baca cerita istri kedua sebelum membaca ini ya. __________ Alasan apa lagi kamu manjat tembok?" "Telat pak." Jawabnya santai. "Telat?" "Iya." "BAGAIMANA BISA,HAH.APA KAMU TIDAK MEMASANG ALARM, ATAU ORANG TUAMU TIDAK MEMBANGUNKANMMU?" Ha...