Bab 19

279 31 2
                                    

Setelah melihat gedung yang akan dipakai lusa, Haiman pun membersihkan dirinya setelah sampai rumah.

Haiman menghampiri Ibunya yang sedang menghangatkan makanan, karena dia dan Ayahnya pulang lewat jam makan malam.

"Malam, Bunda." Ucap Haiman mengecup pipi Ira.

"Malam,."

Haiman pun duduk dimeja makan, siap menyantap makanan lezat buatan bundanya.
Ahhh, rasanya Haiman sudah tidak tahan lagi mencoba masakan dari Salma.

"Kamu kenapa senyum-senyum sendiri?" Tanya Ira bingung melihat anaknya yang senyum-senyum sendiri melihat piring kosong.

"Nggak, Haiman cuman gak nyangka aja. lusa Haiman udah jadi suami." Ira yang mendengarnya pun hanya menggelengkan kepalanya.

"Jadi laki-laki yang bertanggung jawab!! Bunda gak mau kamu jadi pecundang."

Sean yang akan duduk pun merasa tersentil dengan kata-kata Ira, meskipun sudah lama.

"Ehh Ayah, makan dulu yah." Ira pun menyiapkan makanan untuk Suaminya, Haiman dan Sean pun makan malam berdua karena orang rumah sudah makan malam.

Setelah selesai makan, Haiman pun berencana untuk istirahat karena memang tubuhnya sudah lelah.

Haiman teringat dia belum memberi kabar pada Salma, karena kesibukannya Haiman jarang memberi kabar pada Salma.
Apalagi sekarang dia harus benar-benar mencari nafkah untuk Salma.

"Ya elah, pake mati segala lagi." Haiman pun mencari chargeran namun sepertinya tidak ada.

"Kemana Chargeran sih." Haiman sudah mengacak-acak laci kamarnya namun tidak kunjung menemukannya juga.

Dia pun ke kamar Hanna, tapi Hanna masih memakai chargeran.
Haiman pun berjalan ke arah kamar Haidar, kamar bernuasa abu itu begitu berantakan.

"Dasar, dia itu jorok sekali sih." Haiman menyingkirkan stik game dengan kakinya, bantal berserakan di bawah.
Benar-benar seperti gudang, namun Haiman tidak begitu kesulitan menemukan Chargeran karena terpasang di colokan bawah ranjang.

"Nah, Dar. Abang pinjem dulu ya Chargerannya." Izin Haiman sambil mencabut chargeran Haidar.
Namun matanya menyipit saat dia berjongkok mengambil chargeran, kotak besar dibawah ranjang itu menyita perhatian Haiman.

"Apaan ini, Jangan-jangan dia koleksi 21+ lagi." Ujar Haiman curiga, karena adik laki-lakinya itu yang agk abstrak.

Haiman pun menarik kardus itu, disana terdapat Hendicem dan satu kota kecil yang Haiman tak tau apa isinya.

Karena kepo, Haiman pun membuka Hendicem itu.
Disana Haidar merekam perjalan kempingnya, dimana dia disana Haidar mereka kesenangannya saat kemping, bahkan Haiman yang menonton pun dibuat terkekeh.

Namun senyumannya memudar saat melihat vidio penutup, dimana di sana Haidar melamar Salma dengan cincin yang dirangkai dari rerumputan liar.

Haiman melihat wajah bahagia Salma saat teman-teman Haidar menyoraki mereka.
Bahkan tidak Haiman lihat senyuman itu saat dia memasangkan cincin berlian di tangan Salma.

Ingatan Haiman langsung kembali dimana Salma bercerita sering di ganggu muridnya, bahkan setiap Haiman menjemput Salma. Salma akan bercerita hal yang sama.

Haiman merogoh lagi kota didalam kardus, Lagi-lagi mata Haiman dibuat terkejut.
Dengan foto-foto patroid Salma yang begitu terlihat bahagi, bahkan ada beberapa foto bersama Haidar.

Haiman terkekeh melihat semua ini, semuanya teramat lucu untuk hatinya.
Salma sering menceritakan muridnya yang ternyata Haidar, dan Haidar yang selalu dia doakan berjodoh dengan gurunya itu.

Kenapa?

Kenapa Haiman baru sadar kalau Salma mengajar disekolah Haidar, dan kenapa?

Kenapa harus Salma!!
Kenapa harus Haidar!!..

"Abang."

Haiman mengusap ujung matanya sebelum menoleh ke arah suara lembut itu.

"Iya, Han."

"Aaabang lagi ngapain?" Tanya Hanna sedikit gugup.

Haiman tak menjawab, dia langsung merapihkan Hendicem dan foto-foto yang tadi dia liat, berbeda dengan Hanna yang berada dibelakang Haiman.

Jamtungnya begitu berdetak dengan sangat cepat saat Haiman merapihkan foto-foto itu dan memasukan kembali ke tempatnya.

"Abang mau kemana?" Tanya Hanna khawatir melihat Haiman akan pergi.
Namun Haiman tak menjawabnya, dia meninggalkan Hanna sendiri dikamar Haidar.

Haiman mengambil kunci mobilnya, dia turun kebawah.

"Mau kemana Bang?" Tanya Ira yang melihat Haiman akan pergi.

"Keluar dulu bentar, Bun. Haiman kangen sama Salma." Ucapnya sambil tersenyum.

"Dasar manten jaman sekarang, bukannya di pinggit  ini malah mau nyamperin."

Haiman mengecup pipi Ira sebelum pamit pergi.

"Haiman pergi dulu ya."

***

Haiman begitu berat melajukan mobilnya ke rumah Salma, tapi dia ingin meyakinkan hatinya dan hati Salma.

Tiba-tiba saja Haiman seperti orang yang punya penyakit asma, bahkan beberapa kali dia memberhentikan mobilnya untuk menstabilkan pernapasannya.

Takdir memang tidak pernah ada yang tau, hari ini kamu menjadi orang yang paling bahagia tapi besok atau lusa kamu menjadi orang yang dikuatkan.
Sesakit ini menerima hati,, menerima takdir, mengikhlaskan sesuatu yang tidak ditakdirkan dengan kita.
Bahkan sekuat apapun genggaman mu  jika dia tak ditakdirkan untuk mu, maka tidak akan jadi milikmu.

Ya allah, saat rencana ku tak seindah ekspetasi ku, Tolong ingatkan aku untuk tetap sabar menerima semua ini . Menerima bahwa semuanya tak harus dimiliki.

Haiman menghentikan mobilnya jauh dari dari rumah Salma, namun di sana terlihat jelas halaman rumah Salma.

Dia masih bersandar di kursi mobilnya tanpa niat turun atau menyapa Salma.
Dapat Haiman lihat, Haidar sedang bicara dengan Salma.
Entah apa yang mereka bicarakan tapi Haiman yakin itu soal Hati.
Haiman menunduk di atas stir, bahkan air matanya sudah menetes.

Biarlah dia dikatakan cengeng, tapi inilah hatinya.
Dia tetap manusia yang kadang rapuh.

Haiman pun pergi setelah melihat Haidar pergi, entah kemana mobilnya melaju, hatinya hancur.
Bahkan suara musik mobilnya seperti tau akan suasana hati Haiman.

"Argggghhhhh" Teriak Haiman, dia melajukan dengan kecepatan tinggi.

"KENAPA YA ALLAH, KENAPA HARUS SALMA YANG DISUKAI HAIDAR."

"SALMA, APA AKU MASIH ADA DIHATIMU? AKU INGIN BERTANYA TAPI AKU TIDAK SIAP MENDENGAR JAWABAN KAMU."

"ARGHHHHHHHHH" Haiman melajukan kembali dengan sangat kencang.

"TUHAN, TAKDIR APAKAH INI."

Haiman terus saja menginjak pedal gasnya dengan sangat kencang, jalanan yang sepi membuat Haiman begitu leluasa ngebut dijalanan.

"Arghhhhhhh" Haiman kembali teriak meluapkan sesak dihatinya.

Ternyata belum siap aku
Kehilangan dirimu
Belum sanggup untuk jauh darimu
Yang masih s'lalu ada dalam hatiku

Tuhan, tolong mampukan aku
'Tuk lupakan dirinya
Semua cerita tentangnya yang membuatku
S'lalu teringat akan cinta ya.

Haiman mengusap sudut matanya yang terus saja membasahi wajahnya, dia kembali menginjakan pedal gas dengan sangat full.

"Haiman, apa yang akan kamu pilih. Melanjutkan apa mengikhlaskan?" tanyanya pada diri sendiri.

"Argghhhhh, aku belum siap untuk semua itu."

Cittt citttttt

Haiman membelokan mobilnya membanting stir saat tiba-tiba ada motor di persimpangan yang akan keluar.

brakkkkk

brukkkkkk

Hai, Jodoh!! (End) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang