Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
. . .
"Ditolak lagi, Vin?"
Gamya bertanya dengan nada jahil, sebenarnya kejadian seperti barusan bukan yang pertama. Maduswara Vigendra —mungkin satu-satunya mahasiswa baru yang mendapatkan pernyataan cinta paling banyak dan konsisten dengan jawabannya.
"Makasih, tapi sorry gue gak bisa."
Gamya menggeleng, "Gue heran Arvin itu bodoh atau apa? Masa Airin yang paling terkenal sebagai primadona Kampus aja dia tolak?" Jendra yang baru saja datang bersama kekasihnya langsung menoleh ke arah Arvin yang sibuk dengan ponselnya.
"Mungkin Arvin mau fokus sama kuliahnya."
Gamya mendengus mendengar pendapat Mila —pacarnya Jendra— soal Arvin, "Gak mungkin. Lebih masuk akal kalau misalnya Arvin lebih tertarik sama cowok."
Plak!
Kepala Gamya di pukul pelan oleh Tasya, "Jangan nyebarin rumor busuk, Gam! Cukup lo aja yang busuk." Mata gadis itu melirik ke arah Arvin yang kini mendadak berdiri tiba-tiba. "Kenapa Vin, baru dapat kabar ya?" Tanya Tasya dengan jahil.
Arvin menoleh dengan tatapan kesal, "Lo tahu?"
"Jelas! Dia gak mungkin gak ngabarin. Paling bentar lagi dia sampai," Tasya menggeleng, "Kalau ingat kelakuannya sih, kemungkinan besar dia udah tidur di ranja—"
Arvin terlihat berjalan tergesa-gesa bahkan tidak mendengarkan ucapan Tasya. Gadis itu menggeleng lalu mendengus apalagi ketika mendengar pertanyaan Gamya soal kepergian Arvin.
"Dia kebelet boker?"
Tasya menghela nafasnya, "Gam, lo tadi nanya kan kenapa si Arvin nolak terus tiap ada yang nembak kan?"
Gamya mengangguk.
"Alasannya ada di sebab kenapa si Arvin tiba-tiba balik ke Rumah."
"Hah? Arvin balik? Bukannya kita masih ada kelas?" Jendra menatap Tasya dengan pandangan bertanya sementara gadis itu cuma tersenyum misterius.
Kelas? Rumah Arvin mungkin lebih menyenangkan menurutnya.
°°°°
Arvin buru-buru turun dari mobilnya dan mengetuk pintu, wajah Mamanya yang terlihat kaget tak menghentikan niat Arvin untuk segera menuju kamarnya.
"Arvin? Kok kam—"
"—bentar, Ma."
Arvin melangkah cepat tapi mendadak pelan ketika akan sampai ke depan pintu kamarnya. Jantungnya berdebar dan jemarinya tiba-tiba berkeringat hebat. Laki-laki itu mendengus, merasa malu dengan tingkahnya barusan.
Setelah menarik nafas, laki-laki itu membuka pintunya. Keadaan kamarnya masih sama bahkan selimutnya saja masih berantakan. Arvin mendengus, seharusnya dia tahu kalau apa yang dikatakan Tesya tadi itu tidak benar. Bagaimana bisa dia terkecoh?