Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
••••
"Coba kamu jelaskan, ada gak pada diri saya yang nunjukkin kalau saya itu tidak layak?"
Kaia menatap lelaki didepannya dengan mulut menganga, ada dua alasan kenapa dia sampai seperti ini. Pertama, karna lelaki itu berujar santai seakan siapapun akan setuju dengan perkataannya barusan —ya, walau itu benar sih. Kedua, karna lelaki itu hanya basa-basi bukan benar-benar bertanya.
Buktinya dia sudah sibuk dengan buku menu yang tadi diantar pelayan.
"Kamu pesan saja, saya yang bayar."
Kaia mengangguk, dia memang tidak membawa duit sepeserpun sih. Lagipula, yang mengajak mereka bertemu siang ini kan laki-laki didepannya. Jadi, kenapa dia mesti bayar?
"Jadi, bisa Bapak jelaskan awal mula permasalahan ini?" Laki-laki itu menatap ke arah Kaia seperkian detik sebelum mendengus, "Kamu tidak dengar? Saya kan sudah bilang kalau dia mengejar-ngejar saya."
Kapan ngana bilang?
"Oh, maaf Pak. Mungkin saya tidak terlalu fokus."
Laki-laki itu menggeleng, "Ini yang membuat saya bingung kenapa Marvin membiarkan kamu bekerja di Firma miliknya. Tidak profesional." Dia menaikkan alisnya dan Kaia bersumpah melihat smirk laki-laki itu.
Brengsek juga kliennya ini.
"Maaf Pak, bisa Bapak jelaskan keseluruhan ceritanya. Jangan ada yang ditutup-tutupi, sekarang saya Pengacara Bapak Erlan jadi saya minta Bapak percaya sama saya dengan cara jujur tentang masalah ini."
"Memangnya kamu kira saya akan berbohong?" Laki-laki itu berdecak membuat Kaia berkeinginan keras mencekik leher lelaki itu. Oh, apa perlu dia merealisasikan niatnya?
"Tidak. Saya yakin Bapak tidak akan seperti itu."
Erlan meminum air yang ada di depannya sebelum mulai bercerita. Kaia sudah menyiapkan buku catatan yang selalu dia siapkan untuk mencatat hal-hal penting yang berkaitan dengan kasus yang di pegangnya. "Kami tak sengaja bertemu di salah satu club, dan ya begitu."
Kaia yang tadinya menulis langsung menatap Erlan dengan bingung, "Apanya yang begitu, Pak?"
"Ya, begitu." Erlan tampak kesal karna wajah bingung di depannya. "Kamu umur berapa sih?"
"Apa hubungannya sama umur saya, Pak?"
Erlan tak menjawab tapi Kaia merasa kalau dia perlu menjawab pertanyaan laki-laki itu terlebih dahulu. "Dua puluh tiga tahun, Pak. Ada masalah?"
"Tsk!" Erlan menggeleng, "Sepertinya saya mesti benar-benar menanyai Marvin soal alasan kenapa kamu yang ditugaskan untuk mengurus kasus saya."
"Memangnya saya tidak kompeten?" Kaia jadi tersinggung mendengar Erlan terang-terangan meremehkannya.