Part 38

92 15 0
                                    

Kisah tadi malam membekas di hati Yara. Semua kejadian terekam jelas di memorinya, yang sulit ia lupakan. Tatapannya pagi ini sangat kosong. Sambil mengigit roti, ia juga berbicara pada dirinya sendiri mengapa semalam Leon menaparnya berkali-kali. Untungnya pagi ini cowok itu belum bangun. Jadi ia leluasa untuk beraktifitas. Bahunya tiba-tkba di tepuk. Tetapi ia tetap diam saja.

"Pagi, Non. Ini buburnya." Rupanya bi Aah yang mengantarkan sarapan Yara.

"Makasih, Bi. Tapi bukan buat aku."

Bi Aah tertawa. "Buat my husben, nih?"

Yara tertawa karena bi Aah salah mengucap kata itu. "Bukan husben bi, tapi husband! Bibi lucu deh."

"Hehe maklum gak bisa bahasa Inggris. Itu dikit-dikit tau soalnya baca buku catatannya Aden Leon," balas bi Aah. Ia mencium bau gosong. "Bibi ke belakang ya, Non. Soalnya lagi goreng ikan asin sama jengkol hehe."

Yara mengangguk. "Pantes bau jengkol." Ia segera merapihkan bekas makannya. "Baru jam 6, gak ada salahnya ke rumah lama dulu," batinnya.

Tanpa menunggu Leon atau bahkan mambangunkannya, Yara juga pergi tanpa pamit atau izin. Ia menumpangi sebuah taksi untuk ke rumah lamanya. Berharap bisa melepas rindu kepada mendiang bundanya. Kalau ia ingat-ingat masa indah bersamanya. Itu sangat menyedihkan. Di pisahkan karena kecelakaan pesawat, dan di temukan sudah meninggal. "Bunda kenapa pergi secepat ini? Tapi aku bakalan kenang semua tentang bunda. Retina mata bunda akan selalu berfungsi untuk aku. Bahkan ginjal bunda juga," lirihnya. Kemudian segera menghapus air matanya.

"Kenapa nangis?" tanya Supir taksi.

Yara tersenyum, walau wajahnya basah dan merah. "Enggak apa-apa. Cuman kangen sama yang udah gak ada."

"Oh gitu ya. Kirain berantem sama orang tua. Kalau boleh tau, ke jalan ini bukan?"

"Iya. Lurus nanti belok kiri ya, ada rumah depannya pohon mangga," balas Yara.

Dahi supir taksi itu mengkerut. Ia memerhatikan Yara dari kaca spion dalam. "Lah bukannya rumah itu udah di jual ya?" batinnya.

Sesampainya di depan rumah. Yara turun setelah membayar ongkos. "Makasih ya." Varu saja ia turun dan hendak membuka gerbang, matanya berkaca-kaca melihat spanduk 'Rumah ini di Sewa! Hub. 08XX-XXXX-XXXX'. "Ayah tega banget jual rumah kenang-kenangan dari bunda," gumamnya. Ia berbalik dan naik kembali ke taksi, yang entah kenapa supirnya belum berangkat. "Anterin saya kesekolah, Pak!"

"Baik." Padahal supirnya seorang perempuan yang menyamar.

Di pertengahan perjalanan. Supir itu merasa heran dengan Yara yang malah menangis. "Kenapa kamu menangis?"

"Rumah tadi udah di jual," balas Yara.

"Kayaknya kamu sedih bukan karena rumah itu di jual," balas Supir itu. "Pasti ada masalah sama percintaannya," batinnya. "Saya harap kamu bukan perempuan yang di jadikan jalang."

"Maksudnya apa, Pak?" balas Yara penasaran.

Supir taksi itu tersenyum. "Saya perempuan." Ia menurunkan topinya. "Saya mencari pekerjaan dan malah di bodohi. Untungnya saya bisa kabur. Dan menyamar menjadi laki-laki agar terbebas disini. Kecuali pas ke kampus."

"Ja-jadi kamu perempuan?"

"Iya, jaga diri kamu baik-baik. Jangan kemana-mana sendirian, bahaya. Banyak orang jahat berkedok orang baik," balasnya. "Eh jadi curhat hehe."

"Gapapa." Yara menghapus air matanya. "Gajelas banget gue nangis," batinnya. "Terus kamu disini sama siapa?"

"Sendiri, saya sebenarnya kabur gara-gara gak mau nikah muda. Karena saya kira itu menyedihkan. Ternyata dugaanju salah, justru dengan itu saya akan ada yang menjaga dan bisa hidup tenang. Nikah muda tidak seburuk yang saya pikirkan jika pasangannya bisa nenghargai kita, apalagi menyuruh kita hal baik. Dan tidak melarang apa yang kita suka," lirihnya. "Jujur, saya nyesel nolak ini. Karena saya punya temen yang nikah muda malah meninggal di siksa suaminya."

KLEORA [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang