Part 27

108 17 20
                                    

Denyut nadi Yara dan Leon sudah tidak bisa di rasakan lagi. Kemungkinan besar detak jantung mereka semakin melemah. Dan saat ini mereka sangat butuh pertolongan secepat mungkin.

"Weh semprul! Denyut nadi itu di tangan bukan di kaki!" sentak Pria berkumis tipis itu membetulkan. "Nih di pergelangan tangannya! Masa di pergelangan kakinya!"

"Udah di cek semuanya. Tetep aja denyut nadinya udah gak ada. Apa mereka udah jadi mayat? Terus di buang ih! Meningan kita ceburin lagi aja ke sungai. Biarin di makan ikan!" balas Pria yang membawa bambu runcing mengusulkan. Bukannya di setujui, ia malah di dorong ke sungai karena ucapannya yang sangat tidak sopan itu. "Lah kenapa aing di ceburin?"

"Mau di kemanain dong anak muda ini? Kayaknya orang kota deh," sahut Pria yang dari tadi kebingungan. Ia punya ide. "Coba teken dadanya. Siapa tau air nya keluar."

Mereka pun mencoba hal tersebut. Tetap saja tidak ada reaksi apapun. Tidak ada pilihan laim selain membawa mereka ke klinik. Atau membiarkan mereka tergeletak disini.

"Kita balik aja yuk. Biarin, dari pada kita bawa ke klinik keluar biaya. Sembuh enggak, mati iya," ucap Pria membawa bambu runcing mengusulkan. Alhasil ia di pukul oleh Pria berkumis tipis. Lagi-lagi kata-katanya sangat menjengkelkan. Tidak ada perikemanusiaannya. Yang ia pentingkan hsnya diri sendiri. Tanpa memikirkan orang lain.

Pria berkumis tipis menyuruh teman-temannya untuk membawa Yara dan Leon ke rumahnya. Bagaimana pun sesama manusia harus saling tolong menolong. Karena kebaikan sudah pasti di balas kebaikan. Lagi pula, seberapa susah hidupnya. Ia tetap harus bersimpati kepada mahluk lain.

"Buruan! Biar anak muda ini tertolong!"

Mereka pun menggendong Yara dan Leon ke rumah kecil Pria berkumis tipis itu. Kebetulan ia hanya tinggal bersama ibunya yang dukun beranak dan juga istrinya yang julid. Ia tahu rasanya di tinggal pergi oleh seorang anak. Saat sampai di rumahnya, istrinya tidak menerima kehadiran Yara dan Leon.

"Udahlah taruh saja di atas kursi panjang, jangan dengarkan apa kata, Ningsih!"

"Gak bisa gitu dong, Kang! Mau di kasih makan apa mereka hah?"

•••

"Sudah mau dua hari, tapi gak ada kabar soal Leora ya?" Bu Via berdiri di ambang jendela. Melihat genteng-genteng rumah dari atas hotel. "Kita harus cari kemana? Cuaca akhir-akhir ini tidak mendukung."

Pak Rama memeluk bu Via. Ia menghela nafas panjang. Tidak ada ciri-ciri kalau anak-anaknya selamat. Bagaimana kalau mereka hanyut atau bahkan meninggal di makan hewan buas. "Sabar ya, kita berdoa aja yang terbaik buat mereka."

Bu Via berbalik. "Mami gak mau kalau Leon harus sakit-sakitan lagi. Apalagi sampai Mami harus kehilangan dia! Dia anak semata wayangku!" tegasnya

"Aku juga khawatir, Mi! Memangnya kamu aja yang khawatir sama anak kamu, hah? Aku juga khawatir! Mereka berdua anak aku. Terlebih Yara perempuan! Aku gak mau dia di apa-apain. Apalagi sampai menyangkut mental dan ingatannya!" balas pak Rama tegas.

Entah kenapa, mereka malah berdebat. Saling adu mulut. Hingga akhirnya mereka bertengkar dan saling diam. Anak-anak mereka punya masalah pribadi yang privasi. Belum ada yang tahu tentang mereka.

Bu Via duduk di ranjang dengan derai air mata yang terus berjatuhan membasahi wajahnya. Ia tidak kuat menahan tangisnya selama ini. Rasa sakitnya semakin bertambah, setelah suaminya sendiri membentaknya. Padahal ia sama-sama khawatir dengan kejadian ini. Kabar bencana satu persatu mulai ia dengar di daerah tempat perkemahan Leon. Bagaimana kalau lelaki itu masuk ke lubang dan tertimbun tanah longsor? Ini tidak akan terbayang betapa hancur hatinya.

KLEORA [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang