Part 46

84 20 0
                                    

Hari-hari telah berlalu seiring berjalannya waktu semuanya berubah. Ada yang menjadi lebih baik, ada juga yang menjadi lebih buruk.

Yara tengah memperhatikan dirinya di cermin. Ia memutar tubuhnya sambil melihat ukuran perutnya. "Kenapa rok gue gak muat? Ck pasti gara-gara gue makan duren, snack, roti lapis tapi gak olahraga," keluhnya.

"Kenapa belum siap? Gue udah nunggu lama di mobil. Lo malah nyantai," dumel Leon yang berdiri di ambang pintu.

Wajah Yara di tekuk kusut. "Baju gue kekecilan semua. Yang rok pingggangnya udah gak muat. Apa gue gendutan?"

Mata Leon memeprhatikan postur tubuh Yara. Kemudian ia menggeleng. Ia rasa Yara cuman membesar sedikit. Tetapi menambah kegemasannya. "Enggak kok. Kalau lo gak punya baju lain, pake punya gue kalo mau. Cuman roknya gada."

"Ogah."

"Yaudah tunggu disini. Gue beli yang baru. Ukuran pinggangnya berapa?"

"Udah cari aja L sana," usir Yara.

Hingga beberapa saat kemudian Leon kembali membawa rok baru untuk Yara yang pinggangnya lumayan besar. "Nih, udah gitu?"

Yara tersenyum. "Nah iya. Udah sana keluar, gue mau ganti baju!" usirnya.

"Sun dulu," goda Leon, namun ia malah terkena tinjuan dari Yara.

Akhirnya sampai juga Yara nyaman memakai pakaiannya. Mereka segera bergegas pergi ke sekolah dan masuk ke ruang komputer. Kemudian masuk ke ruang labolatorium untuk praktek bersama bu Alifka.

Setelah prakter selesai, kini berganti menjadi bidang olahraga. Semuanya kumpul di ruang olahraga. Mempelajari beberapa teknik dan kembagian kelompok. Kemudian pergi ke lapangan. Hingga akhirnya olahraga terus berlanjut sampai lupa waktu.

Di penuhi anak yang bermain sepak bola, bola voli, basket, bulu tangkis dan tenis meja di ruangnya. Mereka bersenang-senang, sampai lupa waktu karena guru tengah rapat untuk ujian semester 1.

Berbeda dengan Leon, setelah bermain bola basket. Ia harus mengajar di ruang seni. Dan juga teknik vokal nya yang baik membuatnya sering ikut lomba nyanyi. Walau telah menolak berkali-kali dengan alasan dia tidak bisa bernyanyi.

"STOP DULU!" teriak Malika.

Semuanya berkumpul. Rupanya Malika menagih uang kas untuk membeli alat kebersihan mereka yang sudah rusak dan di curi. Karena kebersihan tiap kelas akan di nilai. Jangan sampai nama baik kelasnya tercemar hanya karena sebutir debu.

"Heh tongos bayar kas buruan!" Malika menjitak kepala Fikri, si murid tengil yang meresahkan, karena suka melanggar aturan. "Buruan! Kalau enggak buku-buku lo gue sita atau jual," ancamnya.

Fiksi malah meledek dengan cibiran. "Bodo. Emang gue pikirin? Oh tentu ya tidak."

"Fiksi, anak baek bayar kas cuman cebu gak banyal-banyak," sambung Yara. Bukannya luluh, Fikri malah tidak menggubrisnya. "Masa buat beli roko ada tapi buat nilai kebersihan gak ada," sindirnya.

Fikri merogoh saku celannya. Dan memberikan uang seratus perakkan kepada Malika. "Itung aja sendiri."

"Ya ampun ancur lebur abis bobok celengan lo? Atau abis jatuh ampe bubuk begini. Jangan-jangan lo nyolong celengan emak lo ya?" Malika menggerutu sambil menghitung uang koin pecahan 100 perak itu.

"Sembarangan aja kalau ngomong. Itu kembalian dari Mbok Jum, ambil aja kali. Udah untung di kasih, kalau enggak mau yaudah gue tarik lagi," balaa Fikri mengancam.

Malika pun segera membeli alat kebersiha baru dan mencatnya agar tidak di curi kelas sebelah. Yang lainnya sibuk beraktifitas di luar kelas maupun dalam kelas. Terik matahari tidak membuat semangat mereka lenyap.

KLEORA [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang