Part 40

113 20 0
                                    

Berhari-hari Leon tidak bicara sepatah kata apapun kepada Yara. Ia juga menjauhi Yara, bahkan di sekolah maupun di rumah. Tetapi Yara bodo amat. Lagian juga dia tidak bersalah, tapi pikirannya sering kali bertanya-tanya. Secepat mungkin Yara membiarkan Leon kemanapun ia pergi. Yang ia curigakan, kenapa Leon sering pergi malam dan kembali dini hari?

Sejak tadi pikirannya Yara tidak fokus. Ia memikirkan hal yang seharusnya tidak ia pikirkan. Sampai ia mengabaikan pak Udin yang tengah menerangkan di depan kelas. Tangannya dengan lihai mencoret-coret kertas khusus yang ia gunakan untuk itu. Kemudian ia menoleh ke arah Leon yang tengah memperhatikan pak Udin, ia kembali menunduk sambil menghela nafas. Dan meremas kertas tersebut kemudian memasukannya ke dalam tas. Ia menaruh kepalanya di atas meja, dan memejamkan mata berkali-kali. Otaknya terus menerus loading sejak tadi.

"Yara tolong jelaskan apa itu atom?"

Sontak mata Yara membulat, ia langsung terlonjak kaget. "A-atom?" ucapnya terbata-bata. Kemudian ia menggaruk tengkuknya, ia segera membuka halaman buku paket untuk mencari jawaban. Groginya semakin bertambah saat satu kelas melihat ke arahnya. "Mana sih kok gada ilang kayak doi."

"Halaman 34," ucap Leon pelan dan datar.

Yara menoleh, kemudian tersenyum kecut. "Halaman 34 mana sih?" Matanya membulat saat halaman tersebut telah robek. Ia mengehela nafas dan melihat ke pak Udin. "Gak ada jawabannya, Pak. Soalnya di buku punya saya robek!" ucapnya lantang.

Pak Udin berdiri, ia geleng-geleng. Kemudian berkacak pinggang sambil menunjuk-nunjuk tulisan di papan tulis. "Ini apa?" Ia mengetuk-ngetuk papan tulis menggunakan spidol.

Perempuan itu hanya mampu tersenyum tanpa rasa malu terlalu tinggi. Rupanya, jawabannya ada tertulis di papan tulis. "Hehe."

"Kamu kenapa sih, Ceisya? Akhir-akhir sering bengong. Kalau enggak bengong gak bisa diem sama Nicholas. Sekarang kemana cs kamu gak masuk?" tanya pak Udin membuat Leon malas, dan izin keluar kelas. "Udah 2 pelajaran Bapak tapi Nicholas enggak juga masuk."

"Gimana mau masuk, Pak. Hari ini mtk, biologi, kimia, fisika. Otak kita semua loading," celetuk Kanaya sambil memijat kepalanya.

"Yaudah kita lanjut, nanti sebelum pulang, bakalah ada tulehlang (betul boleh pulang) siap?" tanya pak Udin.

Mereka membalasnya dengan suara lantang. "Siap!"

"Oke kita mulai, let's go!"

"Kecepetan gak, Pak? Tumben biasanya lama," celetuk Butet. Murid jarang sekolah karena bolak-balik ke luar negeri.

"Kambing, kelinci, ular, meong, monyet, sama banteng Bapak belum di kasih jatah makan siang, nanti modar bahaya," balas pak Udin.

"Yeh kirain udin!" celetuk Butet yang mengundang tawa sekelas. Namun tidak bagi Yara, menurutnya itu garing tidak ada yang patut di tertawakan. "Hehe maaf, maksudnya udah."

Satu persatu murid mulai keliar dari kelas. Tinggal beberapa lagi, dan Leon baru kembali masuk dengan wangi kayu putih di tubuhnya. Ia kembali duduk, dan tersenyum sekilas untuk bisa kembali semangat hidup meski alur hidupnya tidak bisa di mengerti.

"Apa yang di maksud atom?"

"Jika benda di potong terus menerus, maka akan di peroleh bagian terkecil yang tidak bisa di bagi lagi. Bagaimana ini di sebut atom," balas Leon.

Pak Udin mengacungkan jempolnya. "Bagus. Kamu boleh keluar!"

"Baik, Pak." Leon berdiri, saat melewati Yara. Tangannya di tarik, kemudian di selipkan secarik kertas di tangannya. Ia meneirmanya tanpa menoleh sedikitpun. "Ngapain sih pake ginian segala, tinggam seatap juga," batinnya.

KLEORA [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang