Part 2

34.5K 2.7K 149
                                    


Rasa kecewa adalah petunjuk dari Yang Maha Kuasa untuk menyadarkan hamba agar kembali ke jalan-Nya

***

"Hujan. Orang yang membuat kamu menangis sampai terduduk seperti ini tidak akan kembali atau pun berbalik lagi ke sini meski kamu terguyur hujan yang nantinya membuat kamu sakit. Cukup hatimu yang sakit tubuhmu jangan,"

Nayra mendongak dan mendapati seorang pria berdiri sambil memegang payung berukuran besar. Pantas saja beberapa menit yang lalu ia tidak merasakan rintikan hujan jatuh pada tubuhnya.

Nayra mengusap pipinya yang basah bukan hanya terkena air mata tapi juga air hujan yang berbaur menjadi satu. Nayra bangun perlahan dan berdiri dengan kaki yang terasa sangat susah menginjak tanah.

"Kamu siapa?" tanya Nayra pada pemuda yang berdiri di hadapannya.

Lelaki itu menarik sedikit sudut bibirnya untuk membentuk senyuman tipis yang hanya bisa dilihat dari jarak dekat.

"Aku Raihan. Orang yang insya Allah akan menjadi imammu, Nayra."

Nayra membulatkan matanya tanda terkejut. Ia sangat mengerti maksud dari ucapan Raihan. Tapi ia masih bertanya bagaimana bisa. Tidak kenal dan tidak saling tahu sama lain tapi dengan entengnya pria ini mengatakan seperti itu.

"Kamu jangan ngaco. Aku pinjem payungnya sebentar. Besok kita ketemu di sini lagi untuk aku kembalikan payung ini," kata Nayra.

Nayra meraih, tidak. Lebih tepatnya merebut gagang payung dari tangan Raihan untuk ia bawa pergi tanpa peduli si pria pemilik payung yang bajunya mulai basah karena rintikan hujan.

Raihan menghela panjang. Membiarkan Nayra pergi tanpa mengucapkan apa pun. Kata terima kasih apalagi. Menggeleng kepalanya pelan. Raihan melangkah pelan untuk ikut pergi dari sana.

Berlari pun rasanya percuma karena ia sudah terlanjur basah, maka ada baiknya Raihan memlerlambat langkah sembari menikmati hujan dan nanti berakhir dengan yang namanya mandi.

"Allahumma syaibaan naafi'an," ucap Raihan di sela langkahnya.

Kesempatan waktu untuk dikabulkannya doa salah satunya adalah saat turun hujan. Kata itu pernah Raihan dengar sedari ia kecil dulu.

Raihan memejamkan matanya dan merafalkan doa yang menurutnya ingin segera diijabah.

"Rabbi, hamba mohon beri hamba kuasa untuk bisa mendekati satu dari hambamu yang ingin ku bawa ke jalanmu," kata Raihan.

"Aaminn," tutupnya dengan sangat khitmat.

Raihan mengubah langkahnya menjadi lebih lebar untuk mendekati mobilnya yang terparkir tidak jauh dari lokasi taman.

****

"Nayra, lusa katanya Naya dan papa kamu akan datang Sayang," kata sang mama yang duduk di samping Nayra.

Nayra yang tengah menonton tv menoleh dan meletakkan toples cemilan yang tadi ia peluk untuk menemaninya manonton televisi.

"Sama Tante Kiran juga?" tanya Nayra.

Mama Tisa mengangguk dan mengelus bahu Nayra yang kini bersandar pada tubuhnya.

"Mau ngapain mereka ke sini Ma? Apa papa masih belum cukup membuat Mama sedih dan apa papa ingin terus buat Mama terluka?" kata Nayra dengan nafas yang memburu.

Sudut matanya bahkan sudah berair. Tatapannya pun kini mengabur, bulir bening itu siap terjatuh kapan saja jika Nayra menggerakkan kelopak matanya.

"Mama bisa apa Sayang? Mama ini masih istri papa kamu dan Mama juga nggak punya alasan untuk melarang mereka datang ke sini," ujar Mama Tisa dengan lembut.

Suara dari wanita paruh baya yang sangat berjasa pada Nayra itu kian serak dan nafasnya pun terdengar tersenggal-senggal.

"Ma, aku nggak mau lagi lihat Mama sedih dan sedih terus lihat papa. Papa enak di sana terus sama istri dan anak mereka tapi Mama di sini?"

"Mama punya kamu Nak, kamu adalah alasan Mama untuk tetap kuat dan mencoba tegar mrngadapi hidup ini. Mama bahagia untuk kamu," ujar Mama Tisa.

Nayra meneganggkan duduknya sebelum menubrukkan tubuhnya pada Tisa. Mereka saling berpelukan dalam tangis yang teramat pilu.

"Aku nggak siap buat ketemu papa. Aku belum siap lihat Naya yang mungkin adalah gadis yang dimaksud Rio," lirih Nayra dalam hati.

Nayra marah dan kecewa pada papanya yang tenyata selingkuh dari sang mama. Hubungan yang memang bukan terlarang itu ketahuan baru setahun yang lalu saat Nayra duduk di kelas 11 SMA dan saat itu Nayra melihat sendiri ayahnya digandeng wanita lain.

Diam-diam Nayra menemui wanita itu hanya untuk menjawab pertanyaannya tentang sang papa yang sangat jarang pulang ke rumah.

Wanita itu bercerita jika ia dan papa Nayra sudah menikah sejak 17 tahun yang lalu. Itu artinya tepat saat Nayra masih berusia 1 tahun. Wanita yang ia panggil Tante Kiran itu sudah memiliki satu anak bersama papanya.

Naya, itu nama yang mereka berikan pada putri mereka dan Nayra yakin jika papanya sengaja memberikan nama Naya mirip dengan Nayra.

Terasa sakit dan sesak. Itu yang Nayra rasakan setelah tahu bagaimana hubungan papaya dengan sang mama. Awalnya Nayra pikir mamanya tidak tahu tentang itu, saat ia mulai membuka suara dan saat itu pula tangis pilu sang mama menguar dengan sendirinya. Tisa tahu suaminya memiliki wanita lain yang ia nikahi secara siri saat Nayra berusia tiga tahun.

Selama belasan tahun mamanya menyembunyikan rasa sakit itu sendiri dan sang mama tidak pernah mengatakan sedikit pun mengenai tingkah papanya yang bermain dengan kobaran api lain di luar sana.

Nayra sebagai seorang anak, wajar jika ia kecewa dan marah pada papanya tapi mamanya selalu berpesan untuk Nayra bisa nenerima semua ini. Toh Nayra tidak sepenuhnya kehilangan papanya. Nayra hanya berbagi papa dengan saudara yang terlahir dari rahim lain.

"Anak Mama ini adalah anak yang kuat dan berhati mulia jadi Mama yakin kalau kamu bisa terima mereka ya Sayang. Mereka pingin banget ketemu kamu,"

Nayra menumpukan dagunya pada bahu sang mama dengan linangan air mata sebagai wujud dari gambaran hati yang tergores luka. Tangisnya terdengar pilu malam ini, tangis yang hanya ia tumpahkan di hadapan Tisa.

Elusan lembut di punggungnya terasa tulus dan lagi-lagi Nayra tidak bisa menahan tangis. Tisa mengecup ubun-ubun Nayra sambil sesekali menyeka air mata yang turun dari pelupuk matanya.

"Papa jahat Ma," gumam Nayra berupa bisikan.

"Enggak Sayang. Papa itu nggak jahat mungkin dia khilaf," kata Tisa lembut dengan senyum getir.

"Nggak ada orang khilaf selama belasan tahun Ma," sanggah Nayra dengan lemah.

"Khilafnya sebentar tapi tanggung jawab dari kekhilafan itu yang memerlukan waktu lama Sayang. Apalagi sudah ada Naya yang membuat tanggung jawab papa kamu semakin besar untuk Tante Kiran dan Naya," jelas Tisa.

Nayra segugukan dalam rengkuhan Tisa. Ingin sekali ia menjerit menyuarakan isi hatinya selama setahun ini ia pendam tapi selalu kalah oleh wajah lembut nan tulus sang mama.

Tisa bukan tempat ia menempatkan rasa kecewanya. Tisa akan semakin terluka jika Nayra sekali-kali mengutarakan isi hatinya. Hidup bahagia bersama Tisa sudah cukup bagi Nayra meski bahagia hanya dijadikan sebagai pembalut luka.

Ma'had in Love (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang