"Bagaimana kabar kamu Nak? Nayra sehat?" tanya Rudi.Nayra dan Pak Rudi duduk di kursi bawah pohon tempat biasanya para santriwati untuk beristirahat sembari menikmati sejuknya tiupan angin. Sedangkan Ustadz Raihan sudah pergi karena mungkin Pak Rudi dan Nayra butuh ruang untuk berbicara.
"Alhamdulillah Pa. Allah senantiasa memberi kesehatan untuk Nayra," jawab Nayra dengan suara pelan.
Ingin bersikap dingin pada sang papa tapi Nayra tahu bukan begitu caranya bersikap pada orang tua.
"Papa ngapain ke sini?" tanya Nayra.
Rudi tersenyum dan menatap semakin dalam pada Nayra. Ia tidak menyangka jika Nayra mau membalas setiap pertanyaanya.
"Papa ke sini cari Nayra. Papa baru pulang dari luar kota dan dengar dari Naya kalau mama kamu sudah tiada. Maaf kalau Papa baru tahu kemarin Nak," kata Rudi dengan mata yang sendu.
Nayra menatap sang papa dengan mata berkaca. Dalam hatinya memohon ampunan berulang pada Sang Kuasa karena telah berprasangka yang tidak-tidak pada Rudi.
"Papa tanya ke tetangga dan mereka bilang Nayra ada di sini. Papa ke sini,"
Nayra menatap sendu Pak Rudi. Nayra rindu papanya, sangat rindu. Nayra juga bisa melihat pancaran kerinduan dari mata Pak Rudi untuknya.
"Papa mau minta maaf sama Nayra untuk semua kejahatan dan rasa kecewa Nayra pada Papa," ujar Rudi.
Nayra menghela nafas dalam.
Mengingat semuanya memang Rudi sudah keterlaluan pada Nayra dan Tisa. Nayra bahkan pernah menganggap dirinya tidak ber-ayah karena hanya ada sosok Tisa yang selalu menemaninya."Aku pikir Papa udah nggak ingat sama aku lagi. Udah nggak ingat kalau Papa punya anak yang bernama Nayra. Kalau seandainya itu benar aku ikhlas Pa. Dan aku berterima kasih pada Papa karena dalam diriku mengalir darah Papa,"
"Seberapa pun kecewanya aku pada Papa. Seberapa besarnya rasa sakit hatiku pada Papa tetap tidak bisa mengalahkan rasa terima kasihku untuk Papa. Aku bangga jadi anak Papa dan insya Allah aku nggak akan ganggu kebahagian Papa lagi," ucap Nayra dengan bibir bergetar.
Air matanya mengalir dengan sendirinya. Nayra kembali teringat pada setiap luka yang dialaminya. Namun, Nayra tidak bisa menaruh rasa benci pada sang papa, rasa kecewa yang ia rasakan hanyanya sebatas kecewa.
Atas izin Allah semua terjadi dan Nayra ridho atas ujian yang ia terima. Jika saja dulu orang tuanya hidup dengan damai, bisa saja Nayra tidak ada di pesantren ini. Tidak segigih ini dalam menuntut ilmu agama. Demi Allah, Nayra ridho.
Rudi menggeleng dan ikut memangis bersama Nayra.
Bolehkah ia bilang jika ia menyesal atas semua yang ia perbuat? Rudi lalai pada kehidupan barunya sehingga dengan sadar ia hilang tanggung jawab pada Nayra."Nayra, Papa minta maaf Nak. Maafkan Papa yang telah menyakiti kamu dan mama," kata Rudi setelah menyeka air matanya.
"Pa, Insya Allah aku udah maafkan Papa. Aku nggak menyalahkan Papa kok. Aku tahu semuanya terjadi atas kehendak Allah dan Allah pasti punya tujuan kenapa Dia memberi jalan hidup yang seperti ini untuk aku," kata Nayra dengan senyum.
Pak Rudi menatap lama pada Nayra. Putrinya yang dulu ia buat kecewa hatinya tapi dengan lapang dada memaafkannya.
Rasa menyesal makin dalam menusuk hatinya."Kamu benar-benar memaafkan Papa, Nayra? Kamu tidak mau mencerca Papa dulu? Meluapkan rasa sakit hati kamu lewat ucapan pada Papa?"
Nayra menggeleng dan setetes air mata jatuh lagi ke pipinya.
"Enggak Pa. Aku udah cukup luapkan semua rasa sakit hatiku lewat untaian doa. Harusnya waktu itu aku bisa berpikir jika Allah yang mengatur semuanya dan papa hanya menjalani yang dikehendaki oleh Allah,"
Pak Rudi semakin terpaku pada Nayra. Rasa bersalahnya kini bercampur malu.
"Kamu masih anggap Papa sebagai papa kamu kan?"
"Nggak ada alasan aku untuk tidak menganggap papa," kata Nayra dengan senyum.
Nayra mendekat dan memeluk Pak Rudi dengan erat. Tentu dibalas dengan pelukan erat juga dari sang papa.
"Papa masih jadi pria satu-satunya yang ada di hatiku," ungkap Nayra.
"Maafkan Papa Nak, Papa sayang Nayra,"
"Nayra juga sayang Papa dan Allah tau itu Pa."
****
Nayra mengitari depan ruangan khusus Ustadz Raihan dan Ustadz Thariq. Sudah beberapa menit sejak ia selesai sholat dhuhur tadi Nayra mengitari bolak balik halaman berumput hijau cantik ini.
Nayra menunduk dan melanglah dengan pandangan yang tidak lepas dari rerumputan. Sebelah tangannya memegang ujung jilbab agar tidak terlepas.
"Ya Allah tadi kayanya jatuh di sini," dumelnya sendiri.
Nayra sampai mengeluarkan decakannya, karena benda yang ia cari sejak tadi belum ia temukan.
Nayra terus menunduk sambil berjalan sampai tidak menyadari seseorang yang ada di depannya.Hampir saja Nayra menabrak seseorang itu karena saking fokusnya pada rerumputan.
"Harusnya tadi aku bawa kaca pembesar kaya upin-ipin yang lagi cari ayam kesayangannya... aw...."
Nayra memegang jidatnya yang baru saja terbentur pada dinding tembok. Orang yang hendak ia tabrak tadi menghindar dari sasaran tidak disengaja Nayra.
"Nayra?"
Nayra mendingak dengan wajah cemberut pada suara yang memanggil namanya.
"Ustadz Raihan?" gumamnya.
Raihan mendekat dan berdiri di hadapan Nayra dengan jarak dua meter. Menaikkan sebelah alisnya melihat Nayra yang mengusap kening yang sedikit memerah.
"Kamu ngapain jalan sambil nunduk begitu tadi?" tanyanya.
Nayra meringis mendengar pertanyaan Ustadz Raihan.
"Ee ini Ustadz. Aku ... aku cari bross aku yang hilang di sini. Padahal tadi jatuhnya di sini," kata Nayra dengan wajah yang semakin cemberut.
Raihan mengeritkan kening, ikut mengedarkan matanya sebentar pada rerumputan yang mungkin sudah beberapa kali di kitari oleh Nayra.
Pria itu merogoh saku celananya dan mengeluarkan benda mungil berwarna hijau dan menyodorkannya pada Nayra.
Nayra menatap lama pada benda itu dan perlahan sudut bibirnya tertarik dengan mata yang berkaca-kaca. Tatapannya berganti pada Raihan. Nayra meraih benda itu dengan tangan bergetar.
"Kak ... Rai?" ucap Nayra dengan pekikan tertahan.
Nayra merasakan getaran di dadanya. Rasa penasarannya di rumah Ustadz Rasyid kemarin terjawab sudah. Ia ingat pada benda mungil ini yang dulu Nayra berikan pada seorang lelaki yang ia panggil Kak Rai.
"I ... ini bross punya Nay?" tanya Nayra dengan suara parau.
Raihan mengangguk.
"Berarti Kak Rai ada di depan aku sekarang? Kak Rai tau kalau aku adalah Nay?" tanya Nayra.
Raihan mengangguk lagi.
"Aku tahu kamu Nayra sejak beberapa tahun lalu. Sejak pertama kali aku datang ke taman dekat rumah kamu dan mendengar seseorang manggil kamu dengan nama Nayra," kata Raihan.
Nayra menatap Raihan dengan tatapan Rindu begitu pun sebaliknya.
"Afwan kalau aku semakin mencari tahu tentang kamu sampai aku ketemu kamu dan mama kamu waktu hujan itu," lanjut Raihan lagi.
Mata Raihan beralih pada bross di tangan Nayra sesaat kemudian menatap dalam pada mata Nayra.
"Nayra, anti jamiila jiddan."
Nayra mengedipkan matanya. Seolah tidak percaya dengan apa yang ia dengar barusan.
"Ee Ustadz...,"
"Anti jamiila jiddan," ulang Raihan lagi dan kali ini dengan senyuman tipis.
Nayra menunduk dengan pipi bersemu. Jantungnya berdetak dengan tidak karuan. Mendengar kalimat itu dari Ustadz Raihan membuat perasaan Nayra bercampur aduk.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ma'had in Love (Tamat)
RomanceNayra tidak menyangka hidupnya penuh warna. Merasakan pahit diusia belia yang menghantarkannya bertemu pangeran ma'had untuk mengukir lukisan indah bersejarah bagi hidupnya. Saling mengenal arti cinta lewat sekat rasa dan tatap mata. Nikmat semakin...