Part 13

15.7K 1.6K 4
                                    

Bantu follow akunnya dong pembaca yang baik hati dan yang aku cintai karena Allah

"Jadi sudah setuju ya, kalau di hari ahad yang akan datang, Nayra diantarkan ke sini Buk. Semoga nantinya Nayra bisa betah untuk belajar di pondok ini," ujar Ustadzah Afifa.

Nayra mengangkat kepalanya untuk sekedar mendongak dan menatap bergantian pada Ibu Tisa juga Ustadzah Afifa. Selama ia keluar tadi pasti banyak hal yang menjadi bahan perbincangan antara sang mama dan Ustadzah Afifa.

"Kok Nayra? Emangnya buat apa Ma? Kenapa hari ahad depan aku disuruh datang lagi ke sini?" tanya Nayra dengan penuh penasaran pada Tisa.

Tisa dan Ustadzah Afifa sama-sama terdiam dan saling bertukar pandang. Tisa menarik nafas dalam dan menghembuskannya dengan pelan.

"Iya Nak. Mulai hari ahad depan, kamu akan belajar tentang Al-qur'an dan lainnya di sini bersama Ustadzah Afifa ya," ujar Tisa dengan lembut.

"Hah? Ma tapi...,"

Nayra menghela nafas panjang dan pasrah melihat tatapan Tisa yang penuh harap. Sebandel-bandelnua Nayra sekolah tetap saja ia selalu berusaha untuk menjadi anak yang penurut pada sang mama.

Perlahan Nayra mengangguk sebelum kembali menunduk dan ketika itu pula hati kecilnya tersenyum melihat Tisa yang beraut wajah bahagia.

"Iya Ma. Nayra mau belajar di sini," ujar Nayra pelan.

"Alhamdulillah. Semoga Nak Nayra bisa nyaman nantinya ya. Saya sendiri yang akan bantu mengajarkan Nak Nayra," kata Ustadzah Afifa dengan lembut.

"Terima Ustadzah sudah bersedia untuk menerima putri Saya meskipun Nayra bukan santri di sini tapi Ustadzah dengan berbesar hati memperbolehkan Nayra untuk mendapat kesempatan belajar di sini," kata Buk Tisa.

Tisa sampai menitikkan air mata, merasa haru. Ia tidak ingin putrinya sama seperti dirinya yang mungkin masih terlalu awam tentang agama sehingga untuk sekedar menumbuhkan rasa cinta Nayra pada sholat pun ia tidak bisa. Mungkin Nayra memang harus diasuh oleh tangan lain sebagai perantara Allah jika soal ibadah.

"Mama nangis?"

Nayra mengusap pipi Tisa yang berderai air mata tanpa disadari oleh si empu.

"Mama bahagia Sayang kamu mau belajar di sini. Mama bahagia," jawab Tisa dengan suara yang sedikit parau.

Sesederhana ini, hanya dengan anggukan dan beberapa patah kata tadi mampu membuat Tisa bahagia. Nayra tidak menyangka hal ini dan rasanya ikut bahagia mendengar kata "bahagia" keluar dari bibir Tisa tadi.

"Mama doakan aku ya,"

"Selalu Nak," Tisa mengelus pipi Nayra dan menaikkan putri untuk ia dekap.

Tok

Tok

Tok

Tiga pasang mata yang sedang di rundung bahagia itu menatap pada pintu yang diketuk. Tidak lama setelah dipersilahkan pintu terbuka dari luar. Muncul seorang pria tampan dengan sebuah kotak berukuran sedang di tangannya.

"Assalamualaikum. Umi," ucapnya dengan lembut.

Nayra sendiri mengerutkan dahinya mendengar panggilan yang pria itu peruntukkan pada Ustadzah Afifa, meski tidak bisa menggunakan bahasa arab tapi Nayra tahu panggilan Umi itu berarti ibu. Sempat ingin membuang muka lantaran hatinya merasa sedikit kesal pada pria yang bernama Raihan tersebut tapi mendengar panggilan Umi dari Raihan untuk Ustadzah Afifa membuat Matra tidak jadi memalingkan wajah dari sana.

"Waalaikumussalam. Raihan," jawab Ustadzah Afifa.

Nayra semakin tertegun melihat Raihan yang mengatupkan kedua telapak tangan dan mengangguk pelan pada Ustadzah Afifa dan juga Tisa. Saat akan melakukan hal yang sama padanya Nayra benar-benar membuang pandangan ke arah mana saja.

"Raihan. Ini pesanan Umi?" tanya Ustadzah Afifa dengan mata tertuju pada kotak di tangan Raihan.

"Na'am Umi. Afwan ana datang telat," jawab Raihan.

"La ba'sa. Syukron sudah diantarkan Nak," kata Ustadzah Afifa.

"Oh iya, hari ini Raihan tidak ada jadwal mengajar kan?" tanya Ustadzah Afifa lagi setelah meletakkan kotak tadi pada atas meja.

"Insya Allah enggak ada Umi,"

"Kalau begitu setelah dhuha bisa tolong ajarkan beberapa hal pada Nayra? Afwan tadi Umi sempat melihat kalian yang sepertinya sudah saling mengenal jadi menurut Umi Nak Raihan bisa menjadi guru untuk Nayra,"

"Umi, terima kasih untuk rasa percaya Umi pada ana yang masih jauh dari kata layak untuk disebut seorang guru. Ana tidak berniat menolak tawaran Umi tapi apa pantas seorang ikhwan dan akhwat yang berusia dewasa berdua-duan dengan dalih pembelajaran. Takutnya syaitan mengambil kesempatan untuk menyelundup ke hati ana maupun Ukhti Nayra nantinya. Umi," ujar Raihan dengan menunduk.

"Haduh itu orang kok jadi kepedean gitu. Takut banget aku suka sama dia. Jangankan suka ngelirik dia aja males," batin Nayra mulai protes.

"Umi tahu kalimat itu yang akan kamu katakan Nak, dan Umi pun sudah mempertimbangkan ini sebelumnya. Umi akan panggilan Ustadzah Ulfa yang nantinya menemani Nayra, jadi kalian bisa saling membantu untuk mengajar Nayra," kata Ustadzah Afifa.

"Tolak dong... Ya Allah semoga aja dia nolak," batin Nayra berharap dengan cemas.

Melihat anggukan kepala dari Raihan membuat Nayra menghela sebal. Raihan mengiyakan dan itu artinya Nayra akan lebih sering bertemu dengan Taiwan setelah ini.

"Permisi Ustadzah, apa nggak sebaiknya Nayra belajar mulai hari ahad mendatang saja? Mungkin untuk saat ini Nayra belum benar-benar siap," kata Nayra.

Ustadzah Afifa tersenyum mendengar penuturan Nayra.

"Tidak perlu persiapan yang matang kok Nayra. Kamu ini hendak belajar dengan Nak Raihan dan Ustadzah Ulfa nantinya bukan hendak menikah. Jadi lebih cepat lebih baik dalam menuntut ilmu ini," jawab Ustadzah Afifa.

"Persiapan memang harus ada tapi biar di sini nanti kita matangkan. Karena banyak santri di sini yang awalnya dipaksa oleh orang tua mereka untuk nyantri dan mereka sama sekali tidak punya persiapan diri. Tapi setelah di sini mereka terbiasa dan sekarang mereka harus berpikir matang-matang jika hendak melangkah dari ponpes ini," sambung Ustadzah Afifa lagi.

Nayra sedikit meringis mendengarnya. Ia baru mengerti mengapa Tisa mengajaknya ke tempat ini.

Ma'had in Love (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang