Berpura-pura asing mungkin lebih baik daripada mengaku saling mengenal tapi layaknya orang asing***
"Nayra Itu Kak Ri ... Rio?" kata Shasa yang juga terlihat syok. Nayra mengangguk membenarkan ucapan Shasa.
"Hah? Maksudnya Kak Rio gandengan sama sepupu aku itu artinya...?"
Nayra lagi-lagi mengangguk dengan menarik-hembuskan nafasnya. Sepupu sahabatnya yang saat ini bersama Rio dan berjalan ke arah mereka.
Shasa menoleh pada Nayra yang hanya diam dengan tangis yang tertahan, Shasa tahu Nayra sudah diputuskan secara sepihak oleh Rio tapi mengenai wanita pengganti di hati Rio sama sekali Shasa tidak tahu. Sakit hatinya karena peekara orang tua belum reda kini bertambah lagi dengan hadirnya sosok sepupu Shasa yang menjadi alasan Rio untuk meninggalnya.
"Shasa aku kangen banget sama kamu," seru suara gadis yang berdiri di hadapan Nayra dan langsung memeluk Shasa.
Di sela Shasa dan sepupunya yang saling berpelukan karena telah lama menahan rindu, Nayra membuang arah pandang secepat mungkin saat Rio menatap padanya.
Rio, pria yang telah melukainya itu tidak henti menatap Nayra. Dahi Rio mengernyit menyadari mata Nayra yang sembab. Nayra habis menangis dan ia tahu ia terlalu jahat untuk ditangisi oleh Nayra.
"Ehem. Mandanginnya jangan terlalu dalam gitu dong," ujar gadis yang masih ada di samping Shasa dan mengamit sebelah lengan sahabat Nayra itu.
Nayra mengangkat wajah dan menatap pada sepupu Shasa yang pandangannya mengarah pada Rio. Rio terlihat mengatur raut wajah dan mengacak pelan puncak kepala gadis yang tadi melontarkan ucapannya.
"Enggak kok Yang," ujarnya dengan senyum yang sengaja diperuntukkan pada gadis itu.
Jangan tanyakan bagaimana perihnya hati Nayra mendengar panggilan yang dulu pernah Rio gunakan untuk memanggilnya dan kini panggilan itu sudah untuk gadis lain.
"Oh iya Nay. Kenalin ini sepupu aku namanya Naya. Kita emang jarang banget jumpa karena tinggal di kota yang berbeda," kata Shasa menyadarkan Nayra dari gemingannya.
Susah payah Nayra menarik sudut bibirnya untuk membentuk senyuman tipis pada Naya. Tanpa diberi tahu pun ia tahu nama gadis itu adalah Naya, selain dari bibir Rio waktu itu juga karena Naya adalah anak dari ayahnya yang selama ini memang belum pernah bertemu langsung dengannya dan mungkin Naya tidak tahu tentang Nayra. Ah, Nayra tidak peduli itu.
"Aku Nayra," ujar Nayra sambil mengulurkan tangannya pada Naya yang tersenyum dari tadi.
Uluran tangannya disambut oleh Naya dengan senang hati.
"Salam kenal ya. Kamu cantik banget," kata Naya sedikit memuji Nayra.
Nayra mengangguk tanpa minat. Ya, dari cara Naya merespon Nayra sepertinya memang benar jika gadis ini belum tahu siapa Nayra.
Nayra jelas tahu Naya karena ia pernah melihat Rudi, Kinan, dan Naya berjalan beriringan di sebuah mall."Ini Rio pacar aku," kata Naya lagi.
Shasa menatap prihatin pada Nayra yang tidak bisa menutupi wajah sedihnya. Rio menatap canggung pada Nayra, ia tidak menyangka jika akan dipertemukan dengan Nayra di taman ini dan ternyata Naya adalah sepupu dari sahabat Nayra. Dunia sesempit ini ternyata.
"Aku udah kenal Kak Rio kok. Kak Rio itu pernah jadi kakak kelas kita," jawab Nayra membuat Rio semakin gusar.
"Wah jadi udah saling kenal dong pantes tadi Kak Rio natapnya begitu banget ke kamu ya, mungkin Kak Rio lagi coba ingat-ingat," kata Naya.
Nayra dan Shasa saling bertukar pandang, sedangkan Rio sebisa mungkin merubah raut wajahnya biasanya yang sebebarnya dalam hati sudah tidak kentara.
"Iya mungkin," sahut Nayra pelan.
"Oh iya udah sore nih. Aku balik duluan ya..., tadi nggak ada pamit sama mama soalnya dia lagi tidur," kata Nayra setelah mengangkat pergelangan tangannya untuk mmlihat jam.
"Loh kita belum ada ngobrol loh padahal," sela Naya yang membuat Nayra tersenyum. Senyum yang ia sendiri pun tidak tau artinya apa.
"Next time aja ya. Kalau sekarang aku benar-benar nggak bisa," kata Nayra lagi.
"Aku duluan ya Sha, Kak Rio dan Naya," pamit Nayra.
"Ya udah hati-hati Nay. Makasih udah temenin aku ya," kata Shasa yang dijawab dengan acungan jempol saja oleh Nayra.
****
Langkah Nayra yang tadinya cepat kini melambat. Kedua tungkai kakinya menganyun begitu saja. Nayra tidak pulang ke rumahnya. Air mata kembali menjadi sahabat dalam diamnya.
Nayra tidak tahu sebanyak apa stok air mata yang ia tampung sehingga seolah tidaseolahkata habis. Nayra mendongak untuk menatap pada langit sore yang terhampar dengan sangat indahnya.
"Tuhan. Engkau maha adil tapi kenapa semua terasa tidak adil bagiku?" ujar Nayra pelan.
Air mata bukan lagi ada di pipinya tapi merembes sampai pada leher kala ia mendongak.
"Ayo berbincang bersamaku agar kuberi tahu arti adil yang sesungguhnya."
Suara yang berasal dari arah samping kanan Nayra berhasil membuat Nayra menoleh ke kanan dengan wajah yang sudah tidak mendongak.
Seketika bahu Nayra merosot melihat siapa yang baru saja berucap. Di sana berdiri Raihan dengan wajah yang juga menghadap ke langit.
"Jangan hanya merujuk pada satu makna tentang adil. Sesuaikan dengan sikon yang ada. Jangan hanya mengatakan adil itu sama rata dan atas dasar pendapat itu kamu protes pada Allah yang maha adil."
"Dia lagi," gumam Nayra.
Raihan tersenyum tipis, sangat tipis bahkan nyaris tidak terlihat jika tidak diperhatikan dengan sanberbincan
"Adil itu menempatkan sesuatu pada tempatnya dan sesuai porsinya. Mungkin kamu adalah tempat yang cocok untuk Allah beri sesuatu yang baik bagi kamu dan kamu yang adalah tempat yang dipilih Allah untuk menitipkan sesuati itu. Kamu adalah orang yang cocok untuk menerima itu. Itulah adil yang sesungguhnya."
Raihan mengehela panjang sebelum melangkah mendekati Nayra dalam jarak dua meter.
"Ngapain kamu ngikutin aku terus kalau ada di taman ini? Oh kamu mau nagih payung yang kemarin aku bawa ya. Maaf aku lupa tapi aku bisa ambil sekarang kalau kamu mau," ujar Nayra.
Raihan menatap datar Nayra yang ternyata tidak menanggapi ucapan panjang lebarnya. Gadis ini ternyata ingin menyembunyikan kesedihannya yang padahal Raihan tahu sedikit mengenai Nayra.
"Ambil aja payungnya dan semoga berguna kembali untuk nanti kamu pergi kalau nanti hujan, maaf bukan aku menganggap yang tidak-tidak hanya aku pun rasanya lupa pada payung itu,"
"Kalau mau kasih payung dengan niat sedekah kamu nggak usah kasih ke aku," kata Nayra pelan.
"Bukan. Itu bukan sedekah karena aku memang merasa kamu bukan orang yang tepat untuk diberi sedekah," jawab Raihan.
Nayra menatap tidak suka pada Raihan. Wajahnya semakin ia tekuk saking kesalnya mendengar ucapan Raihan yang memang benar.
"Bisa kamu tinggalkan aku sendirian di sini? Aku lagi nggak butuh siapa-siapa," kata Nayra sedikit menyetak.
Raihan mengangguk dan mengacungkan jari telunjuknya untuk ia arahkan ke atas, tepat arah batas pandangan manusia yakni langit sore yang senja.
"Kamu memang sedang tidak butuh siapa pun, kamu hanya butuh Allah dengan hamparan sajadah," ucap Raihan.
"Assalamualaikum. Maaf aku mengganggu waktumu," Raihan melanjutkan ucapannya dan melangkah meski belum mendapat jawaban salam dari Nayra.
"Waalaikumussalam," jawab Nayra pelan dan hanya berupa bisikan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ma'had in Love (Tamat)
RomanceNayra tidak menyangka hidupnya penuh warna. Merasakan pahit diusia belia yang menghantarkannya bertemu pangeran ma'had untuk mengukir lukisan indah bersejarah bagi hidupnya. Saling mengenal arti cinta lewat sekat rasa dan tatap mata. Nikmat semakin...