Part 21

16.6K 2K 12
                                    


Sebulan setelah kepergian Tisa menuju Sang Pencipta, meninggalkan sang putri tercinta dengan duka dibalut asa.
Menemui janji yang sudah ditetapkan bagi semua insan bernyawa.

Selama sebulan ini Nayra tidak pergi ke mana-mana. Hanya melakukan kegiatan yang dilakukan oleh anak-rumahan. Tidak ada jadwal ke sekolah lagi karena baru saja tamat dari seragam putih abu-abu itu.

Jika teman yang seangkatannya sekarang mungkin tengah sibuk mengumpulkan berbagai macam berkas untuk masuk ke pendidikan yang lebih tinggi lagi, berbeda dengan Nayra yang selalu menghabiskan waktu di rumah dan pesantren.

Dulu Nayra pernah mengatakan pada Tisa ingin melanjutkan studi ke bangku perkuliahan dengan sangat semangat, ingin menjadi seperti Tisa yang mampu hidup mandiri dalam hal finansial. Walau dalam jalur berbeda namun setidaknya nanti Nayra bisa mengandalkan pendidikan sebagai penentu masa depan.

"Penentu masa depan adalah Allah. Maafkan hatiku ya Allah yang secara tidak langsung mengabaikan Engkau dalam hidupku. Masa depanku ada padamu. Selagi aku terus mendekat dan tawakal pada-Mu maka segalanya bisa aku minta padamu."
 
Kalimat yang selalu mampu membuat Nayra tenang. Belajar dari yang ia alami sendiri menbuatnya sadar jika rencana bisa ia bentuk namun, hanya Allah yang menentukan segalanya.

Nayra ingin melanjutkan kuliah.
Tapi semua itu masih angan yang di mana kaki Nayra masih berat untuk melangkah ke arah sana. Bercampur kondisi dan situasi yang ia hadapi membuat Nayra mengurungkan niatnya untuk melanjutkan pendidikannya.

Saat ini Nayra ingin berfokus menenangkan dulu pikiran dan hatinya. Ingin mengikuti kata hatinya yang ingin terus-menerus melangkah ke arah pesantren tempat belajarnya selain sekolah.

Juga Nayra masih ingat dengan jelas pada apa yang pernah Tisa katakan untuk mencoba mengikuti apa yang Allah mau. Ada kebahagiaan saat raga mengikuti apa kata naluri.

Bisikan dari dalam lubuk hati yang paling dalam adalah panggilan dari Allah pada jiwa sang hamba. Namun, sedikit sekali manusia menyadari itu. Kata hati dan pikiran kadang tidak sejalan dan kadang manusia lebih memilih apa yang diterpikirkan daripada apa yang terbesit dalam hati nurani.

"Alhamdulillah. Sekarang tinggal pergi," kata Nayra yang  merasa busana yang ia kenakan sudah lengkap.

Nayra melangkah keluar dari dalam kamar. Menuju pintu utama tidak lupa mengunci pintu sebelum benar-benar pergi.

Kali ini Nayra pergi menggunakan mobil Tisa yang terparkir di depan rumah. Mengendarai dengan kecepatan sedang sambil mendengar murrotal ayat suci Alqur'an sebagai penyemangat hari-harinya.

Tepat di depan gerbang ponpes Al-hidayah, Nayra memberi senyuman tipis pada Pak Sukri, satpam pesantren yang sudah mengenal Nayra karena sering datang ke sini.
Oh tidak lagi sering tapi hampir setiap hari.

"Assalamu'alaikum Pak," sapa Nayra dengan senyum tipis.

"Wa'alaikumussalam. Silahkan masuk Nayra," jawab Pak Sukri.

Nayra mengangguk samar dan memperjelas penglihatannya  pada arah yang tak sengaja tersapa oleh kedua bola matanya, bukannya melanjutkan kendaraannya tapi Nayra malah menekan rem agar roda empat itu berhenti melaju.

Pandangan Nayra tertuju pada seseorang yang tengah duduk di kursi kayu depan pos satpam tepat di samping kanan pintu gerbang. Kursi yang biasanya jadi tempat Pak Sukri dan beberapa temannya mengobrol.

Pandangan Nayra seolah terkunci bahkan tanpa sadar kedua telapak tangannya kini sudah berpindah dari atas setir ke atas pangkuannya sendiri.

"Kemana aja selama sebulan ini, kenapa baru terlihat sekarang?" gumam Nayra dalam hati.

Tanpa sadar Nayra menarik kedua sudut bibirnya untuk tersenyum dan tatapannya semakin dalam pada objek di depan sana.

Jantung Nayra berdetak lebih kencang dari biasanya. Seolah bersenandung tentang rasa yang mungkin disebut ... cinta. Tendengar syahdu dan begitu menenangkan bagi jiwa yang merasakan.

Berlebihan? Memang itu yang Nayra rasakan saat ini. Pernah merasakan jatuh cinta dan berakhir dengan kekecewaan membuat Nayra sedikit sulit membuka hati untuk pria baru, tapi tidak untuk seseorang yang sudah mulai masuk ke dalam hatinya. Tinggal menunggu di hati bagian mana ia akan dipersilahkan untuk duduk.

Sementara di tempat lain. Di tempat yang tidak jauh dari Nayra, pos satpam tepatnya. Raihan duduk dengan santai, sembari menunggu Pak Sukri yang membuka pintu gerbang, pria yang dijuluki pangeran pesantren itu mengambil ponsel dari saku celananya.

Merasa belum ada tanda-tanda Pak Sukri kembali.
Raihan mendomgakkan kepalanya dan menatap pada gerbang yang ternyata Pak Sukri sudah tidak ada di sana.

Dahinya mengernyit sejenak sebelum tatapannya mengarah pada kaca mobil yang terbuka lebar dengan seorang gadis cantik yang juga menatap padanya.

Raihan terpana pada mata indah yang tatapannya bertubrukan dengan Raihan. Melihat senyuman yang tersemat di bibir gadis itu membuat Raihan ikut mengulum senyum.

Saling bertukar pandang dalam jarak yang tidak dekat saja menbuat kedua insan itu tampak bahagia. Sorotan mata gadis itu seolah mengisyatkan akan rasa rindu yang teramat dalam.

"Raihan, ini sudah yang ketiga kalinya Umi memanggil namamu Nak," kata seseorang dengan suara lembut yang berdiri di samping Raihan.

"Ha... Umi? ...., astaghfirullahal'adzim," ucap Raihan dengan wajah bingung.

Pria itu memutuskan kontak matanya dengan Nayra. Menoleh dengan perasaan tak kentara pada Ustadzah Afifa yang mungkin sudah sedari tadi mengawasNayra

Sudah panggilan ketiga? Ya semakin benar jika Ustadzah Afifa yang ia panggil Umi ini sudah tahu kemana dan apa yang Raihan lihat. Ahhh rasa malu yang Raihan rasakan sampai ke ubun-ubun.

"Setelah genap satu bulan tidak bertemu, satu kalimat untuk Nayra," kata Ustadzah Afifa dengan alis yang terangkat.

"Asytaaqu ilaik."

Senyum menggoda tampak muncul di wajah Ustadzah Afifa saat Raihan dengan cepat menutup mulutnya sendiri, ia sendiri pun tidak sadar dengan kalimat yang terucap begitu saja dari lisannya.

Rasanya Raihan ingin berlari sekencang mungkin untuk membawa pergi rasa gugup dan malunya pada Ustadzah Afifa.

Asytaaqu ilaiki = i miss u

Ma'had in Love (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang