"Assalamu'alaikum," ucap seseorang dari balik pintu bercat coklat yang masih tertutup rapat.Pintu yang berada di deretan ketiga dari lima jejeran pintu yang terletak pada bangunan yang sama.
"Wa'alaikumussalam," jawab pria yang berada di balik pintu dengan suara lugas sembari membuka pintu.
Membuka pintu dengan mata yang nyaris sepenuhnya menatap lantai membuat pandangan matanya tertuju pada sepasang kaki yang dibaluti stocking coklat dengan flatshoes hitam. Pria ini sedikit mendongak dan mendapati seorang wanita dengan khimar abu-abu berdiri di hadapannya dwngan pandangan yang diarahkan ke segala arah selaim padanya.
"Ustadzah Ayumi?" kaget pria yang membuka pintu tadi.
"Iya Ustadz Raihan. Afwan kalau kadatangan saya mengganggu kegiatan yang sedang ustadz jalani. Saya hanya menyampaikan amanah dari Ustadz Thariq jika beliau meminta saya untuk memanggil Ustadz Raihan agar bisa menemui beliau di tempat biasa," kata Ustadzah Ayumi yang saat ini menunduk.
Raihan pun menunduk dan mengangguk pelan.
"Baik Ustadzah, insya Allah setelah ini saya akan temui beliau," jawab Raihan.
"Saya permisi Ustadz. Assalamu'alaikum," ucap Ustadzah Ayumi.
"Wa'alaikumussalam," kata Raihan.
Ustadzah Ayumi memutar balik tubuhnya dan berlalu dari hadapan Raihan setelah merasa tidak ada lagi yang perlu untuk dibicarakan.
Raihan adalah anak angkat dari seorang pimpinan pondok pesantren Al-Hidayah yang menampung ratusan santriwan dan santriwati yang menuntut ilmu di sana. Awalnya Raihan hanya menjadi santri biasa yang ikut mendalami ilmu agama bersama teman sebayanya. Nikmat kecerdasan yang Allah beri pada Raihan memang melebihi teman-temannya sehingga membuat ia menjadi santri yang lebih menonjol di banding santri lainnya.
Di tengah perjuangannya menuntut ilmu dalam lingkungan qur'aniah, qadarullah kedua orang tua Raihan meninggal dunia dalam kecelakaan beruntun saat akan menjenguknya ke pondok pesantren.
Saat itu Raihan masih duduk di kelas 2 aliyah. Sempat merasa terpukul karena kepergian orang tuanya yang diambil secara bersamaan. Raihan bahkan sempat tidak masuk ke ponpes selama 2 bulan lamanya. Hanya mendekam di rumah menangisi kepergian orang tuanya.
Berkat Ustadz Thariq yang datang dan mencoba menyentuh hati Raihan untuk bisa ikhlas pada cobaan yang menimpanya mampu membuat Raihan sedikit demi sedikit sadar akan ratapannya selama 2 bulan itu tidak ada artinya.
Raihan kembali ke ponpes Al-hidayah. Ustadz Thariq sendiri yang akan menanggung semua kebutuhan Raihan selama berada di sana sebagai santri, sebelumnya Ustadz Thariq sudah meminta izin pada bukde dan pakde dari Raihan. Sungguh Raihan merasa amat bersyukur atas nikmat yang lagi-lagi ia terima dari Allah melalui perantara hamba-hambanya.
Setahun setelah Raihan dan teman seangkatannya dinyatakan lulus, atas persetujuan Raihan, Ustadz Thariq mendaftarkan Raihan ke sebuah Universitas Islam yang lokasinya tidak jauh dari tempat mereka Raihan yakni pondok pesantren Al-Hidayah.
Sambil menjalani kuliah dengan jurusan Ilmu Al-qur'an dan Tafsir, Raihan juga membagi waktu untuk membantu mengajar para ustadz dan ustadzah yang ada di Pesantren Al-hidayah. Itulah sebab mengapa ia dipanggil ustadz.
****
Nayra tersentak pelan saat tiba-tiba tangannya ditarik oleh Naya dengan tidak pelan. Mau tidak mau kakinya pun ikut tergerak untuk melakukan mengambil satu dua langkah.
Nayra menghela panjang saat ia dan Nayra tiba di depan seorang lelaki yang tadi dipanggil papa oleh Naya.
"Nay...," Rudi tampak syok melihat siapa yang ada di samping Naya.
"Pa, kenalin ini namanya Nayra. Sahabatnya Shasa dan sekarang udah jadi temen aku juga. Nay kenalin ini papa aku," kata Naya dengan nada yang menggebu senang.
Nayra menggigit pipi bagian dalamnya dan hanya mengangguk tanpa bisa membuka suara. Matanya berkabut melihat Rudi yang berdiri di depannya. Rudi menggeleng pelan pada Nayra tanpa sepengetahuan Naya.
Nayra mengerti dan sangat mengerti arti dari bahasa tubuh yang ditunjukan Rudi itu.
Saking mengertinya sampai harus melupakan untuk mengerti akan hatinya saat ini."Iya saya Nayra Om," ucap Nayra dan mengulurkan tangannya pada Rudi.
Berat, tapi entah mengapa bibir Nayra mampu untuk memanggil papanya sendiri dengan panggilan om yang sebenarnya jauh di dasar lubuk hati Nayra menolak.
Rudi menyambut tangan mulus putrinya dan mereka saling bersalaman. Lama Nayra menatap pada tangan mungilnya yang ada dalam genggaman tangan besar Rudi. Tangan ini yang pernah memberi rasa panas pada pipi kanannya dan tangan ini juga yang pernah mengelus rambutnya kala itu.
Tes
Setetes bulir bening jatuh dari matanya dan Nayra tidak sempat untuk menyeka agar tidak dilihat oleh Naya dan Rudi. Naya mengerutkan dahi karena Nayra menitikkan air mata saat bersalaman dengan papanya.
"Nay. Kamu kok nangis?" tanya Naya.
Nayra menggeleng dan melepaskan tangannya dari Rudi. Rudi papanya tapi ia harus berpura-pura untuk tidak mengenal Rudi seperti yang Rudi katakan lewat bahasa tubuhnya tadi.
"Hah. Entah kenapa aku cuma inget sama papaku aja," kata Nayra mengulum senyuman tipis.
Rudi menatap Nayra yang menangis dengan perasaan yang tidak menentu.
"Loh memangnya papa kamu di mana Nay? Dia nggak tinggal sama kamu ya?" tanya Naya lagi.
Nayra nenggeleng dan menatap sebentar pada Rudi.
"Papa aku udah nggak ada," jawabnya pelan.Rudi menatap Nayra dengan tersenyum tipis namun rahang yang mengeras. Entah kenapa hatinya tidak terima dengan ucapan Nayra tadi.
"Ohh maaf Maaf ya Nay. Aku nggak tau semoga papa kamu ada di tempat yang...,"
"Papa aku belum meninggal kok. Dia cuma nggak tinggal sama aku aja karena lebih memilih untuk...,"
Nayra menghentikan ucapannya saat merasakan nyeri yang teramat dalam pada dadanya. Sesak itu datang mengingat bagaimana air mata Tisa yang mengalir kala mereka bercerita tentang sosok "papa".
"Papa kamu memilih untuk apa Nay?" tanya Naya penasaran.
Nayra meatap Naya sebentar lalu pandangannya jatuh pada Rudi yang sepertinya juga penasaran dengan kalimat menggantung Nayra. Raut wajah Rudi sudah tidak kentara saat Nayra akan membuka mulut untuk melanjutkan ucapannya.
"Ah nggak kok. Kayaknya aku nggak harus kasih tahu tentang keluargaku. Maaf ya Naya," kata Nayra.
"Oh iya deh nggak apa-apa,"
"Naya ayo kita pulang,"
Suara Rudi membuat Nayra dan Naya menatapnya. Naya tersenyum dan mengangguk.
"Iya Pa. Aku duluan ya Nay. Atau kamu mau sekalian bareng aku dan Papa?" ajak Naya yang sudah pasti langsung dijawab dengan gelengan kepala oleh Nayra.
"Mama aku on the way. Kamu duluan aja thanks udah ditawarkan," jawab Nayra.
Naya mengangguk dan berjalan bersama Rudi menghampiri mobil Rudi. Nayra tersenyum getir menyaksikan Rudi yang sepertinya sangat menyayangi Naya. Rudi bukan hanya ayah dari Naya tapi juga ayahnya.
Perlahan tapi pasti air mata Nayra jatuh membasahi pipi. Ia mungkin bisa berpura-pura tegar tapi tetap saja berpura-pura sama saja membohongi diri sendiri. Dadanya terasa sesak dan tanpa bisa ia tahan tahan satu isakan berhasil lolos dari bibirnya.
Tangan mungil Nayra mencengkram dadanya sendiri. Nafasnya sampai memburu.
"Aku butuh papa dan aku sakit melihat papa yang seolah tidak pernah mengenaliku," lirihnya dalam hati."Nayra! Nak,"
KAMU SEDANG MEMBACA
Ma'had in Love (Tamat)
RomanceNayra tidak menyangka hidupnya penuh warna. Merasakan pahit diusia belia yang menghantarkannya bertemu pangeran ma'had untuk mengukir lukisan indah bersejarah bagi hidupnya. Saling mengenal arti cinta lewat sekat rasa dan tatap mata. Nikmat semakin...