Membenci tidak boleh berlebihan begitu pun dengan mencintai tidak boleh berlebihan. Karena memang pada hakikatnya yang berlebihan itu tidaklah baik.Rentetan kalimat itu yang saat ini hinggap di pikiran Nayra.
Nayra termenung di dalam kamarnya, tepat di atas lantai beralaskan sajadah biru muda, warna kesukaannya.
Setelah selesai sholat isya Nayra tidak langsung tidur atau belajar seperti biasa. Gadis itu lebih memilih berdiam diri dengan duduk bersila.
Raganya ada di sini tapi pikiran dan hatinya terbang entah kemana.
Dalam ingatan Nayra saat ini masih terngiang apa yang santriwati katakan kemarin malam saat di pondok pesantren.
Tentang Ustadz Raihan yang akan menikah dengan Ustadzah Ulfa. Mengingat kedua orang itu membuat nafas Nayra bagai tercekat di tenggorokan.
Raihan datang seolah memberi benih bunga padanya, ikut menyemai dan mengurus hingga tumbuh kuncup yang tidak lama lagi akan mekar.
Namun, belum sempat bunga itu mekar, Raihan juga yang langsung memetik tangkai berduri tanpa peduli pada pangkal bunga yang menatap redup pada Raihan.
"Apa semua rasa cinta itu salah? Kenapa baru sekarang aku menyadari kalau cintaku jatuh pada Raihan?"
Kadang baru terasa ada cinta saat akan kehilangan. Baru terasa telah tumbuh rasa sayang saat akan ditinggalkan.
Nayra terisak. Menangisi hatinya yang mengapa dengan mudahnya tergiur akan rasa yang hadir.
"Rio pergi karena dia memang enggak cinta aku dan sekarang Raihan juga akan menjadi suami orang lain."
"Ya Allah aku ridho jika dijauhkan dari Rio dan mungkin dia bukan yang terbaik bagiku tapi aku sedikit tidak rela jika Raihan ikut pergi,"
"Raihan yang mengingatkan aku akan kuasa-Mu dan Raihan yang selama ini menjadi pelipur laraku atas izinmu ya Allah. Perangainya seindah namanya. Mohon jangan jauhkan dia dariku ya Allah."
Tanpa Nayra sadari di balik semua sikap penolakannya pada Raihan tersimpan setitik rasa harap pada pemuda itu.
"Aku tahu aku bukan wanita sesholeha Ustadzah Ulfa dan aku tahu diri aku tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan Ustadzah Ulfa tapi apa aku nggak boleh berharap untuk mendapatkan lelaki seperti Raihan?"
Tentu boleh. Berharap saja kadang merupakan bentuk dari doa jika disertai keyakinan pada Illahi.
"Ya Allah, bolehkah aku meminta jika Raihan yang akan menjadi suamiku? Seperti yang pernah Raihan katakan dulu padaku?"
Nayra bergumam dengan lirih dan penuh sesak. Air matanya mengalir dengan deras di permukaan pipi.
****
Raihan tersenyum pada santri yang lewat secara beraturan dengan sangat rapi di hadapanya. Mereka telah selesai melaksanakan sholat dhuha di mushola dengan Raihan sebagai imamnya.
Raihan berdiri di pintu pembatas antara asrama putra dan putri.
"Assalamu'alaikum Umi," ucapnya melihat Ustadzah Afifa melewatinya.
"Wa'alaikumussalam. Raihan? Mazata'malu?" tanya Ustadzah Afifa.
"Ana sengaja di sini karena melihat Umi yang melewati jalan ini. Ada yang ingin ana tanyakan pada Ustadzah mengenai Nayra," kata Raihan dengan sedikit gugup.
"Nayra? Ada apa dengan Nayra? Bukannya Ustadzah Ulfa lebih tahu tentang Nayra, Nak?" tanya Ustadzah Afifa.
Raihan berdehem pelan dan mengambil nafas panjang.
"Iya Umi benar. Yang ana ingin tanyakan, apakah beberapa hari terakhir ini Nayra ada mebgatakan sesuatu pada Umi? Karena sudah dua ahad ini Nayra tidak pernah hadir lagi setelah acara muhadharah kala itu," kata Raihan bertanya pada Ustadzah Afifa.
Ustadzah Afifa terlihat memutar-mutar bola matanya. Berusaha mengingat pertemuan terakhirnya dengan Nayra. Tidak lama senyum tipis di bibir Ustadzah Afifa hadir begitu saja.
"Sepertinya saat pertemuan terakhir dengan Nayra, Nayra tidak ada mengatakan apa pun di luar pembelajarannya. Nak." Jawab Ustadzah Afifa.
Raihan menghela lagi nafas kasarnya. Tangannya secara refleks memijat pangkal hidungnya sendiri.
Semua garakan tubuh yang Raihan lakukan tidak luput dari perhatian Ustadzah Afifa yang sekarang sudah menjadi Umi kedua bagi Raihan.
Pernah merasakan yang namanya darah muda membuat Ustadzah Afifa mengerti dengan apa yang mungkin dirasakan oleh Raihan.
Meski tidak terlihat jelas tapi dari pantauan yang Ustadzah Afifa dan Ustadz Thariq perhatikan, putra angkat mereka tengah berada pada zona merah jambu sejak kehadiran Nayra di pondok pesantren ini.
"Ada apa sebenarnya dengan Nayra, Nak? Raihan terlihat gusar?" tanya Ustadzah Afifa.
Raihan memberi sedikit senyuman pada Ustadzah Afifa. Memasang raut wajah sebiasa mungkin.
"Enggak ada apa-apa Umi. Ana hanya heran karena biasanya Nayra rajin datang jika ada waktu luang tapi akhir-akhir ini dia seperti menjaga jarak dengan ponpes," jawab Raihan.
"Bukan menjaga jarak Nak. Mungkin waktu Nayra memang lagi padat. Selain sebagai santri lepas di pondok ini Nayra juga seorang siswi yang mungkin tengah sibuk," ujar Ustadzah Afifa.
"Ustadzah Ulfa memberi laporan pada Umi kalau kepahaman Nayra terhadap Qur'an dan semua yang berbau islam sudah mulai meningkat. Umi sangat bersyukur, melalui tangan Raihan Allah titipkan hidayah pada Nayra,"
"Semoga Raihan tetap menjaga hati dalam membimbing Nayra ya Nak. Tipu daya syaitan itu unik. Segala macam cara bisa ia lakukan untuk melumpuhkan keimanan manusia," ujar Ustadzah Afifa.
"Insyaa Allah, Umi. Doakan ana agar tetap ada di jalan yang benar,"
"Isyaa Allah, doa Umi selalu ada untukmu Nak."
****
"Ini hari ahad Nay. Kamu kok nggak siap-siap? Udah dua kali ahad loh kamu nggak ke ponpes," tanya Tisa lembut.
Nayra yang sedang memainkan ponselnya di sofa berukuran sedang menoleh pada Tisa.
"Hari ini izin juga ya Ma," kata Nayra.
"Loh kenapa lagi? Kali ini apa lagi alasannya?"
Nayra terdiam mendengar pertanyaan sang mama. Tanpa diminta air matanya luruh begitu saja.
"Salah nggak Ma kalau Nayra suka sama Raihan?" ujar Nayra tiba-tiba.
Nayra nyatanya tidak bisa nenyimpan apa yang ia rasakan pada Tisa.
"Raihan? Maksud kamu Ustadz Raihan?"
Tisa hanya memastikan jika orang yang dimaksud putrinya sama dengan yang ada dalam pikirannya.
Anggukan dari kepala Nayra menbuat Tisa mendekat pada sang putri. Mengelus pelan lengan kanan Nayra dengan lembut.
"Tidak ada yang salah. Sebagai manusia wajar menaruh rasa suka pada lawan jenis. Yang salah itu jika perasaan suka kamu terlalu dalam pada Raihan."
"Sekarang Mama tanya apa karena perasaan kamu ini membuat kamu sulit melangkah ke ponpes lagi?" tanya Tisa lembut.
"Ma, Raihan akan menikah dengan Ustadzah Ulfa dan aku ...,"
Nayra membasahi bibirnya dengan mata yang ia pejam sebentar sebelum membuka kembali dan menatap sendu pada Tisa.
"Sedikit enggak rela," ujarnya dengan suara yang nyaris tidak terdengar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ma'had in Love (Tamat)
RomanceNayra tidak menyangka hidupnya penuh warna. Merasakan pahit diusia belia yang menghantarkannya bertemu pangeran ma'had untuk mengukir lukisan indah bersejarah bagi hidupnya. Saling mengenal arti cinta lewat sekat rasa dan tatap mata. Nikmat semakin...