"Ma?"
Nayra melangkah ke tempat di mana Tisa merebah dengan kaki yang masih menekuk. Nayra memegang bahu Tisa, perlahan melekakkan kepala Tisa pada pangkuannya. Kaki sang mama juga ia luruskan.
Jantung Nayra berdetak kencang saat tidak lagi merasakan hembusan nafas dari sang mama. Perlahan air matanya jatuh begitu saja dengan hati yang khawatir.
Posisi Tisa kini terlentang dengan kepala di pangkuan Nayra. Ingin mengusir pikiran buruk yang berdatangan begitu saja, Nayra meraba ke dalam mukena yang Tisa gunakan, meraih tangan Tisa.
"Ma," gumam Nayra lagi dengan suara yang lirih.
Tidak merasa ada denyutan pada pergelangan tangan sang mama membuat kekhawatiran Nayra menjadi sebuah ketakutan yang mendalam.
"Ya Allah jangan sekarang."
Air matanya berjatuhan mengenai pipi Tisa.
"Wallahi ini enggak lucu, Ma. Sejak kapan mama berbakat dalam hal akting seperti ini. Ma ayo bangun lanjutkan lagi sholatnya," suara Nayra semakin lirih.
Nayra tidak bisa memungkiri pikiran buruk yang menghampirinya bisa saja menjadi sebuah kebenaran.
"Ma. Buka matanya dulu dan lihat aku, Mama kenapa? Mama cerita dulu sama aku. Apa ada yang sakit?"
"Ma aku udah lulus dengan nilai yang sederhana tapi insya Allah Mama akan tersenyum melihatnya. Ayo bangun dulu Ma, kita lihat nilai aku," ujar Nayra meski tidak ada respon apa-apa dari Tisa.
Nayra menunduk menatap wajah Tisa yang tersenyum meski kedua matanya terpejam.
"Astagfirullahal'adzim,"
Nayra memeriksa pada bagian leher Tisa dan detik itu juga tangisnya pecah tanpa bisa ditahan lagi. Dari awal ia sudah bisa menebak jika ini yang mungkin terjadi pada sang mama.
"Innalillahi ... wainna ... ilaihi roji'uun,"
Bibir Nayra bergetar mengucapkan kalimat itu, tersendat tapi mampu ia tuntaskan.
Nayra merebahkan kepalanya pada ceruk leher Tisa. Menangis pilu di sana. Seakan belum bisa percaya dengan semua ini.
Secepat ini sang mama tercinta meninggalkannya."Aku sayang Mama dan Allah lebih sayang Mama."
Hati Nayra teriris perih. Tangan yang selalu terangkat untuk mengelus rambut dan membuatnya merasakan bagai dalam syurga kini terkulai lemah di hadapannya.
Orang yang paling dekat dan paling mengerti dirinya kini malah Nayra yang harus mengerti jika sang mama telah pergi meninggalkannya.
Nayra membenamkan wajahnya semakin dalam pada sisi wajah Tisa. Menyuarakan tangisan yang lirih nan menyedihkan. Hati kecilnya berbisik halus menyadarkan Nayra untuk tidak meratapi kepergian sang mama.
Cepat atau lambat kematian pasti datang. Dan Nayra bahagia Allah memanggil sang mama dalam keadaan menghadap dan tengah bersujud padanya.
Menghembuskan nafas terakhir dalam keadaan melakukan ibadah indah yakni bersujud di hadapan Rabb merupakan keinginan semua mukmin di muka bumi ini. Keingian untuk wafat keadaan yang husnul khatimah.
"Astagfirullahal'adzim," berulang kali lidah Nayra menggumamkan kalimat itu.
"Ya Allah. Ini takdir yang telah Engkau tetapkan dan tolong beri aku kelapangan hati untuk bisa ikhlas melepas salah satu budadari-Mu ini untuk kembali pada-Mu."
Nayra mengecup kening Ibu Tisa. Mengambil ponselnya dari saku baju gamisnya untuk memberi tahu pada seseorang akan kabar duka tentang Buk Tisa.
****
Sarangkaian kegiatan mengenai urusan jenazah sudah dilakukan mulai dari memandikan, mengafani hingga pada men-sholatkan. Kini tiba saatnya janazah Tisa untuk dimakamkan.
Nayra berada di antara banyaknya orang yang menghantarkan jenazah Tisa. Nayra Ada di dalam pelukan Shasa yang juga tidak berhenti menangis.
Air mata Nayra tidak pernah kering sedari tadi. Menangis dalam diam, tidak ada suara isak tangis lagi hanya saja mata indah Nayra yang tidak henti untuk mengeluarkan bulir bening itu. Tubuhnya nyaris limbung jika saja Shasa tidak memeluk erat tubuhnya.
Menyaksikan proses pemakaman pada jenazah sang mama membuat sedih tak kentara di hati Nayra. Tidak ada hal yang lebih menyedihkan baginya dari ini. Ditinggalkan oleh sang ibu tanpa sempat berpamitan.
Nayra membungkam mulutnya sendiri melihat tanah basah yang sedikit demi sedikit menimbun tubuh Tisa agar menyatu dengan tanah.
Berada di bawah tanah adalah suatu kepastian bagi setiap yang hidup. Mau tidak mau, suka atau pun tidak pada akhirnya itulah tempat terakhir bagi setiap raga.
"Ya allah beri aku kekuatan. Aku sedang ditimpa musibah dan berilah aku ganti yang lebih baik, meski mama adalah sosok terbaik dan tidak akan bisa tergantikan bagiku selama ini," gumam Nayra.
Orang-orang yang bertugas menguburkan jenazah Tisa sudah kembali pulang diikuti yang lainya. Nayra masih berpijak di sini bersama Shasa.
"Nayra,"
Nayra menoleh ke kanan saat bahunya terasa diusap lembut. Matanya kembali berkaca melihat Ustadzah Afifa berada di sana. Ustadz Raihan dan Ustadz Thariq juga ada di sana.
"Ustadzah," gumam Nayra.
Shasa melepaskan pelukannya dari tubuh sang sahabat. Nayra berganti ada dalam pelukan Ustadzah Afifa. Sahabat dari sang mama yang ia tahu memiliki hati yang mulia.
"Laa tahzan Nak. Nayra masih punya Ustadzah dan masih banyak yang sayang pada Nayra. Nayra harus ikhlas ya? Allah pun tidak pernah pergi Nak," kata Ustadzah Afifa yang hanya diangguki oleh Nayra.
Raihan sendiri menatap sendu pada Nayra. Ia pernah ada di posisi seperti ini, juga saat mengenakan seragam putih abu-abu.
Melihat Nayra membuatnya teringat pada beberapa tahun lalu di mana saat ia merasa amat terpuruk karena kehilangan kedua orang tuanya sekaligus.
Pun begitu Raihan yakin jika Nayra adalah gadis yang kuat. Diambilnya seseorang yang teramat berarti bagi Nayra adalah salah satu bukti cinta Allah pada gadis itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ma'had in Love (Tamat)
RomanceNayra tidak menyangka hidupnya penuh warna. Merasakan pahit diusia belia yang menghantarkannya bertemu pangeran ma'had untuk mengukir lukisan indah bersejarah bagi hidupnya. Saling mengenal arti cinta lewat sekat rasa dan tatap mata. Nikmat semakin...