Part 4

22.9K 2.3K 52
                                    



"Papa?"

Bukan, itu bukan suara Nayra melainkan suara Tisa. Tisa menggeleng tidak percaya dengan air mata yang ia sembunyikan sangat rapat sejak tadi kini mengalir ke atas permukaan pipinya tanpa bisa ia tahan sedikit pun.

Tisa bergerak mendekat pada Nayra dan merangkul putrinya itu. Nafas Tisa memburu menatap tajam pada Rudi yang kini berdiri sambil memandangi telapak tangan kanannya.

"Aku mau bicara berdua sama kamu Pa dan bukan di sini," ujar Tisa.

Ucapan Tisa membuat Nayra dan Kinan mendongak. Kinan dengan tatapan khawatirnya sedangkan Nayra dengan tatapan penuh tanya.

"Iya Ma," jawab Rudi dengan suara teramat pelan.

Pria itu bahkan hanya menunduk seolah lantai lebih menarik perhatiannya. Kinan menghela sebelum memberanikan diri untuk membuka suara.

"Tapi Mbak...," ucapannya terhenti saat Tisa mengangkat sebelah tangannya pertanda menyela.

"Rudi masih suamiku dan aku pun berhak atas dia. Aku cuma minta sedikit dari waktunya. Jadi tolong kamu mengerti!" ucap Tisa.

Kinan menahan nafas dan merapatkan lagi duduknya di sofa.

"Mama mau ngomong apa sama Papa. Kenapa nggak lsngsung di sini aja Ma? Apa aku belum boleh tahu ya?" tanya Nayra.

Tisa tersenyum pada sang putri yang menatapnya sendu dengan sorot mata yang penasaran.
"Ya sudah di sini saja agar lebih jelas." Kata Tisa.

Tisa berganti menatap Rudi yang sepertinya memang menunggu apa yang hendak ia bicarakan.

"Aku minta cerai. Pa," ucap Tisa dengan begitu lugasnya.

"Aku udah cukup sabar dengan semua keadaan yang sangat rumit ini. Aku sakit saat kamu duakan tapi aku lebih sakit saat kamu menyakiti putriku dengan tanganmu sendiri. Putriku tidak bahagia lantas untuk apa kita bertahan," kata Tisa.

Rudi menatap Tisa dan Nayra secara bergantian. Ia mengangguk pelan sebagai jawaban dan membuat dada Nayra terasa sesak. Apakah ini akhir dari pernikahan kedua orang tuanya?

"Mama serius mau pisah sama papa?" tanya Nayra dengan suara tercekat dan derai air mata yang lagi-lagi menghampiri.

"Mama serius Nak. Cerai atau bertahan dengan papa kamu tidak akan mengurangi lajunya air mata kamu. Mama bertahan selama ini demi kamu dan setelah melihat perlakuan papa padamu Mama rasa tidak ada yang bisa untuk dipertimbangkan lagi," jelas Tisa pada Nayra.

Nayra bukan anak kecil usia 5 tahun yang belum mengerti perihal rasa, bahkan beberapa hari lalu ia pun merasa sakit akibat terlalu dalam menanam rasa pada lawan jenis.

****

Nayra mengusap pipinya yang basah oleh air mata. Usai drama ucapan meminta cerai dari Tisa dan langsung disetujui oleh Rudi tadi, Nayra kembali ke kamar.

Dipandang dari sudut mana pun Nayra tetap ada pada posisi terluka. Orang tuanya tidak cerai, Nayra terluka karena bukan hanya harus rela berbagi kasih seorang ayah dengan Naya bahkan ia tidak mendapat 10 persen pun dari rasa sayang ayahnya itu.

Orang tuanya bercerai Nayra semakin terluka karena peluang untuknya mendapat kasih sayang seorang ayah akan semakin sempit. Rudi bukan orang yang cukup pintar dalam membagi waktu apalagi rasa. Nayra tidak merasa di kasihi oleh ayahnya.

Perpisahan tadi membuat dada Nayra bagai terhimpit benda keras. Panas di pipinya bekas cap tangan dari Rudi akan melekat dalam ingatannya sebagai kenangan yang termanis meski terasa menyakitkan dari sang papa. Ia tidak pernah menyalahkan keputusan Tisa karena ini juga keinginannya yang pernah ia lontarkan pada Tisa.

"Kak Rio pergi bersama Naya dan papa pun pergi bersama Tante Kinan. Mungkin dua lelaki itu memang terlalu baik untuk ada di hidupku dan mama," gumamnya pelan.

Ting

Nayra meraih ponselnya yang ada di atas kasur. Sebuah panggilan suara dari nama "Shasa" yang merupakan sahabat dari ia kecil.

"Ada apa Sha?" tanya Nayra langsung.

"Assalamualaikum....," ujar suara di seberang sana.

Nayra tersenyum kecil dan ia tahu Shasa tengah menyindirnya karena tidak mengucapkan salam terlebih dahulu.

"Waalaikumussalam. Ada apa Sha?" Nayra mengulang pertanyaannya.

"Nay. Kamu ada di rumah nggak? Aku ada di taman deket rumah kamu," kata Shasa.

Nayra mengangkat tangannya melihat jam yang sudah memasuki waktu sore.

"Iya aku ada di rumah. Kalau kamu ada di taman aku bisa kok ke sana. Tunggu aku ya nggak lama kok," kata Nayra.

"Iya aku tunggu ya. Aku lagi nunggu sepupu aku di sini. Nanti kalau kamu datang aku bakal kenalin kamu sama dia dan sepupu ku ini cantik juga loh," ujar Shasa.

"Hmm boleh deh. Iya ini aku siap-siap dulu. Telponnya aku matikan ya," kata Nayra.

****

"Masih lama nggak sih? Dari tadi kita nungguin tapi nggak ada yang ngaku sepupu kamu," tanya Nayra pada Shasa yang sejak ia datang tadi asyik bermain dengan benda pipih di tangannya.

Sudah hampir setengah jam ia dan Shasa duduk di bangku taman ini dan sepertinya belum ada tanda-tanda untuk sepupu Shasa akan menunjukkan batang hidungnya.

"Ya aku mana tau Nay. Aku udah share lock. Mungkin dia macet kali," kata Shasa seadanya.

"Yah lama nih pasti padahal aku lapar dari tadi," ujar Nayra.

"Sa tu the bar. Sa-bar!" kata Shasa seperti biasanya.

Nayra membolakan matanya juga seperti biasa. Ia sedikit mendengus.

"Nggeh Ndoro," sahut Nayra sedikit kesal.

"Eh ini dia chat katanya udah ada di sini. Tapi mana ya," kata Shasa sambil cekingak-celinguk dan tatapannya berhenti di satu objek yaitu sepasang anak manusia yang berdiri tidak jauh dari tempat ia dan Nayra duduk.

"Itu dia!" seru Shasa.

Nayra mengikuti arah pandang Shasa dan kemudian merasa aliran darahnya bagai berhebti detik itu juga. Ia mematung melihat siapa yang ada di depan sana.

"Kak Rio?" pekiknya tertahan dan membungkam mulutnya dengan telapak tangan kanan.
Kepalanya ia gelengkan pelan dengan air mata yang kembali hadir.

"Nay. Itu Kak Ri ... Kak Rio?" kata Shasa yang juga terlihat syok. Nayra mengangguk membenarkan ucapan Shasa.

"Hah? Maksudnya Kak Rio gandengan sama sepupu aku itu artinya?"

Nayra lagi-lagi mengangguk dengan menarik-hembuskan nafasnya. Sepupu sahabatnya yang saat ini bersama Rio dan berjalan ke arah mereka.

Ma'had in Love (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang