8 Oktober 2021
•••
(Masih) beberapa hari yang lalu ....
Bee dan suara emasnya adalah daya tarik tersendiri, selain menjadi gamer yang merupakan passion utamanya kala melakukan stream dia kadang menjadi motivator dadakan bersama nyanyian sederhana penyemangat siapa pun. Tak hanya itu, Bee juga menciptakan karangan berupa buku romantisme picisan tetapi sangat berkesan hingga jadi best seller dan kadang membuat puisi penuh makna, hal yang membuat Sarah tahu pria ini multitalenta.
Meski tanpa wajah, dari suaranya yang tampan Sarah merasa pria ini memang tampan.
Ia sebenarnya tak terlalu berharap ekspektasinya sesuai realita, tahulah. Akan tetapi, jujur saja, Sarah tak terlalu peduli soal game, Sarah lebih suka Bee dan live tanpa wajah disertai sesi curhat ini itu. Entah kenapa daya tarik di diri Bee memukau Sarah sampai-sampai ia selalu mengikuti kegiatannya dan selalu menunggu live stream-nya.
Terutama, saat ini, saat di mana ia mengalami masa-masa susah tanpa roommate-nya, dan pernikahan Tanya itu pastilah menjadi perpisahan ia dan sahabatnya itu, jadi hanya Bee-lah yang dirinya tunggu.
Jadi, kala notifikasi Bee live stream, Sarah langsung meluncur ke aplikasi bertanda F, mewanti-wanti bukan game yang tengah dimainkan dan bom! Bagai Tuhan menjawab semua doanya. Sesi curhat yang menyenangkan didengarnya dengan baik dan seksama, mendengarkan Bee yang tengah mendengarkan orang curhat, kemudian memberikannya tips nasihat, lalu menyanyikan lagu merdu, sungguh mengasyikan.
Sebenarnya, sesi curhat dilakukan saat live berlangsung, tetapi Sarah lebih suka curhat berdua, seakan Bee adalah teman kepercayaannya. Jadi, malah tepat saat Bee selesai live, Sarah langsung menghubungi nomor yang biasa tertera sebagai penghubung antar mereka.
"Hai, ini gue ...."
"Hei ... Sarah, kan?" tanya Bee di seberang sana, seakan sudah tahu perangai penonton setianya itu. "Gue ... udah nunggu lo bakalan nelpon."
"Yah, kebiasaan gue, entahlah gue ogah curhatannya didengerin, cukup gue dan elo aja. Lebih plong."
Di seberang sana, Bee tertawa dengan nada kece. "Iya, gak masalah, kok. Mau curhat apa nih, Sarah?"
"Keknya sama kek kemarin-kemarin deh, soal roommate gue yang bentar lagi nikah dan yah gue pasti ditinggal sendirian di sini, sebenernya udah lama dia ninggalin gue tapi tetep aja, pas udah bener-bener hari H lebih kerasa aja gitu perpisahannya." Sarah mulai menceritakan keluhannya. "Entah kenapa gue jadi teringat reuni bulan-bulan lalu, dulu padahal gak kebayang-bayang tapi sekarang kebayang terus. Temen plus gandengannya, temen terus perutnya isi, temen sama gandengan terus ekor pula, gue gak nyangka semua itu bener-bener masuk ke kepala gue dan gak bisa gue keluarin sekarang."
"Lo mau gue bantu ngeluarinnya lagi?" tanya Bee, dan Sarah terdiam akan pertanyaan itu. "Sarah, lo masih di sana?"
"Antara dua sih, gue pengen lo ngeluarin itu dari kepala gue, tapi ada pilihan lain yang muncul dan entah kenapa gue pengen banget gitu." Sarah terlihat ragu-ragu mengatakannya.
"What was that?"
"Menurut lo ... gimana kalau gue nyusul mereka nikah? I mean ... gue emang punya trauma masa lalu tapi bener deh gue ogah banget jalan ke depan di bawah bayang-bayang hal itu. Menurut lo pilihan gue yang kedua ini gimana? Gaje ya?" tanya Sarah, dan kali ini Bee tak menjawab. "Bee?"
"Mmm kalau itu sih, bisa aja. Asal lo punya calon yang baik buat lo dan yah ... komitmen. Nikah bukan sekadar sumpah pasang cincin, tapi itu sakral."
"Nah itulah masalahnya, Bee. Gue tau hal itu kok. Cuman gimana ya, gue udah 25, bentar lagi 26, dan gue mau usaha buat bikin hati gue sembuh. Kalau dipikir-pikir, gue emang gak punya kandidat yang bener-bener klop, ada sih yang lumayan tapi entahlah gak masuk. Andai aja gue tau lo siapa, Bee, mungkin gue lebih milih elo jadi pasangan gue. Lo ... meski cuman suara gini, entahlah. Astaga makin malem gue makin ngaco ngomongnya ya. Maaf maaf." Sarah tertawa miris dengan ungkapannya.
Namun, Bee yang diam di seberang telepon seketika menghentikan tawanya.
"Bee?"
Dan Bee seakan baru koneksi, dia baru tertawa meski terkesan hambar. "Kalau memang itu pilihan lo buat mengobati hati lo yang pernah luka, gue yakin lo punya self defense biar gak masuk ke lubang sama. Gue yakin juga, Tuhan bakalan mempertemukan lo dan orang yang tepat. Bukan tanpa alasan Tuhan nunjukin sisi buruk seseorang di masa lalu biar lo gak kejerumus lebih jauh sama dia, bener kan?"
Sarah tersenyum. "Iya, Bee. Dan gue harap sih itu ... elo ...." Kata terakhir tampak hilang dan tak terdengar.
"Teman kerja gue di kantor banyak mapan dan keren plus single sih, menurut lo gimana?"
"I mean why not? PDKT, menjalin, terikat. Yah emang gak sesimpel kata-kata gue tapi kita tahu apa yang harus kita lakukan. Gue bakalan ngasih beberapa tips buat lo, lewat nyanyian gue."
Sarah tersenyum senang, ia bisa mendengar suara gitar dengan manis mengalun lembut.
"Sarah, aku tahu luka itu pasti sakit
Namun dengan terluka, orang bijak bilang
Kita akan semakin kuat menghadap ke depan
Hidup kesepian memang bukan impian semua orang
Mereka yang masih mencari orang tepat, mereka yang belum menemukannya
Akan ada masanya semua akan baik-baik saja
Semuanya akan berakhir baik-baik saja
Ketakutan itu hal yang lumrah, dan semua orang bisa mengumpulkan keberanian
Tinggal dua pilihan, mengeluarkannya atau memendamnya
Tapi aku tahu, mawar secantik dirimu punya kekuatan untuk itu
Kamu punya kekuatan untuk itu."Lagu sederhana dan sebenarnya sangat general itu berhenti, meski demikian Sarah mendapatkan pencerahan tersendiri hingga senyuman hangat keluar dari bibir mungilnya.
"Makasih ya, Bee. Keknya gue tahu pilihan gue. Mungkin gue bisa coba buka hati sama orang-orang di kantor ... kali aja."
Bee tak menjawab.
"Sekali lagi, gue makasih banyak, Bee ...."
Masih tak ada jawaban.
Dan bertepatan itu. "Pulsa Anda tidak cukup." Hadir di notifikasi ponsel Sarah,
"Astaga, sayang banget ih dia gak pake WA." Sarah mendengkus pelan, kemudian berbaring di kasurnya. Meski jengkel pulsanya habis, tetapi baginya itu worth it, wanita itu tersenyum dan punya keyakinan tentang tujuannya sekarang.
Nikah!
"Makasih banyak, Bee."
Sementara Bee, di seberang sana, adalah pria berkacamata yang kini bengong di depan komputernya. Pria muda itu, Brendon, bergumam.
"Sarah pengen nikah ... Sarah pengen nikah ... gue atau teman sekantornya? Gue atau teman sekantornya?" Gumaman yang tak jelas dan seperti racauan.
Brendon melepaskan kacamata, berdiri, memegang kepala dan bolak-balik bersama pikirannya yang kacau.
"Gue harus apa? Gue harus apa? Gue harus apa?" Sebuah pertanyaan yang diulang-ulang, kacau balau isi otaknya.
BERSAMBUNG ....
•••
Cerita An Urie yang lain bisa kalian temukan di
Karyakarsa: anurie
Playstore: An Urie
KAMU SEDANG MEMBACA
SUAMI NOLEP [Brendon Series - J]
Romance21+ Sarah Darsono kebelet nikah, karena ia wanita 25 tahun yang merasa tertinggal dari teman-temannya yang lain. Teman SD? Sudah pada nikah! Teman SMP? Iya juga. Teman SMA? Jelas! Bahkan roommate satu kost-nya pun meninggalkannya karena tinggal bers...