26 Oktober 2021
•••
Saat terbangun, Sarah melihat Brendon masih tenang dalam tidurnya. Ia sedikit mengecek keadaan pria itu, masih kelihatan baik-baik saja, sebelum akhirnya bangkit dan melihat ke arah ponsel yang sedari tadi ia abaikan. Sarah mengambil benda itu dan membukanya, memperlihatkan pesan berentet tentang permintaan pria tua itu soal anaknya, dan anaknya sendiri yang ingin meminta maaf secara tulus.
Sarah menghela napas, memang ada rasa kesal di dada tentang pem-bully-an akibat salah sangka di masa lalu itu, tetapi mau bagaimanapun yang lalu biarlah berlalu, Brendon sendiri memang akan memaafkannya balik meski masih belum punya kesiapan mental saat ini. Jadi Sarah membalas seadanya, bilang jika mereka tetap akan membeli rumah dan Brendon akan memaafkan perbuatan itu, tetapi prianya memerlukan waktu.
Mereka terlihat sangat bersyukur dan menceritakan betapa kejamnya karma menimpa mereka semenjak anak pria itu melakukan kekerasan pada Brendon. Dimulai dari perusahaan bangkrut, putus sekolah, dan harus banting tulang dengan kerja serabutan. Bahkan rumah mereka pun harus dijual demi memenuhi kebutuhan hidup, Sarah mengiba mendengar itu. Ia menghela napas panjang dan menyemangati mereka, dan yah percakapan kecil lain.
Kala percakapan berakhir, Sarah menatap sekitaran, kamar Brendon masih sama, tak berubah semenjak terakhir kali ia melihatnya. Namun Sarah sadari, ia tak terlalu detail dengan sekitar, apa suaminya akan keberatan Sarah ingin melanjutkan kekepoan ini?
Sarah memperhatikan sekitar dengan seksama, rak buku, lemari pakaian, lemari alat-alat, dan rak berisi jenis-jenis elektronik yang tak jauh fungsinya dengan pekerjaan Brendon. Semua ia lihat, dan meneliti bagaimana sebenarnya suaminya ini, hingga akhirnya Sarah duduk di kursi kebesaran pria itu. Kursi khusus gamer yang khas. Mata Sarah menatapi layar komputer yang mati, lalu beralih ke headset yang ada di sana, Sarah entah kenapa iseng memakainya.
Lalu, Sarah mendekatkan mikrofon, wajahnya semakin gembira dan terlihat iseng-iseng berpura-pura layaknya seorang streamer. Bahkan Sarah meniru beberapa logat yang sering Brendon lakukan kala stream, menyapa penggemar dan hal lain, meski tak ada yang tengah mendengarnya.
Oh, ternyata ada, nyatanya Brendon bangun seakan punya firasat benda kesayangannya disentuh, tetapi mengetahui yang menyentuh adalah orang kesayangannya maka Brendon sama sekali tak marah atau apa pun. Brendon hanya diam memperhatikan Sarah yang kelihatan masih iseng saja berlagak bagai seorang streamer, pria itu bangkit dari tidurnya dan pelan tetapi pasti menghampiri Sarah.
Ekspresi Brendon begitu geli, dan jail. Sedang Sarah masih tak menyadari hal tersebut, hingga akhirnya.
"Dor! Ngapain?!"
Sarah memekik kaget, dan Brendon tertawa terbahak, meski kemudian wajah Sarah menyesal dan agak miris seraya melepaskan headset-nya itu. "Ugh ... maaf ... aku ... ganggu ...."
"Bukan kok." Brendon tersenyum, mengambil headset lagi dan memakaikannya pada Sarah. "Lanjut streaming, dong, aku mau curhat."
"Ish, apaan sih!" Sarah malu-malu karenanya sedang Brendon tertawa lagi. "Biasanya aku yang curhat ke kamu kan."
"Pas selesai stream, iya." Brendon mengangguk. "Aku ngerasa saat itu ... aku jadi orang yang spesial karena kamu cuman mau berdua doang."
"Yes you are." Kedua pipi Brendon bersemu karenanya. "Udah lama enggak curhat nih." Sarah seakan mengode.
"Mau curhat apa nih? Aku pasti dengerin!" Brendon seakan berlagak layaknya streamer di masa lalu.
"Sekarang, impianku udah terwujud, setelah iri-irian sama temen-temenku aku akhirnya bisa dapetin jodoh juga. Jodohnya enggak disangka-sangka, aku kenal dia, tapi juga gak kenal dia. Bingung gak?" Brendon tertawa pelan. "Dia cowok tertutup, saking tertutupnya kami tetanggaan aja gak sadar. Tapi aku kenal dia lewat suaranya, nyanyian dan kata-kata motivasi dia, dia adalah gudang curhat terbaik dan ternyata juga bisa jadi yang terbaik."
Sarah menggenggam tangan Brendon, jantung keduanya berdebar tak keruan.
"Dia ... meski tukang gagap, kelewat tertutup, dan suka ngurung diri di kamar, berani buka hatinya secara terang-terangan demi cintanya. Dia, yang ingin menjadi pelindung, dia yang ternyata menyayangiku dalam diam, dia yang mengobati rasa sakit juga. Dia ... dia pelengkap hidupku. Aku merasa sangat lengkap sama dia. Aku lengkap sama kamu."
Sarah menatap erat tepat di mata cokelat Brendon, keduanya seakan tenggelam dalam pesona masing-masing.
"Oh Sarah ....
Terima kasih telah mempercayakan hatimu padaku ....
Kan kupastikan, janji ini bukan janji palsu ....
Pilihanmu tak akan menjadi keliru ....
Kau juga melengkapiku, dan aku akan melengkapimu ....
Sayang, aku akan mencintaimu hingga akhir hayatku ...."
Brendon bersenandung dengan lirik sederhana, sebelum akhirnya keduanya berpelukan dengan mesra.
"Oh ya, tadi ... Pak Joan dan temen kamu itu ...." Sarah agak ragu mengatakannya, terlebih ekspresi suaminya mulai berubah.
"Jack ya?" Sarah mengangguk. "Soal tadi?" Lagi si wanita mengangguk.
"Mereka benar-benar menyesal soal masa lalu kalian, dan katanya mereka udah menerima karmanya." Brendon masih murung, meski kemudian ia mengangguk paham. "Bee, kamu gak papa kan?"
Brendon menghela napas panjang. "Aku pengen berani, tapi ... tapi entah kenapa itu sulit padahal aku tahu kenyataan."
"Aku mengerti, pasti gak semudah itu, gak papa kok." Sarah tersenyum, mengusap lembut paha suaminya. "Pelan-pelan, semua luka perlu proses buat sembuh."
Mendengarnya, Brendon balik tersenyum, ia rasa Sarah sangat memahaminya dan sangat menghargai perjuangan Brendon. Mendukungnya sepenuh hati dan sabar menunggu perubahan suaminya yang pengecut ini.
Brendon akan membuktikan ia bisa berubah. Kartu keanggotaan gym serta bela diri sudah ia kantongi.
"Minggu depan keknya kita bisa bicara soal rumah impian kita." Brendon memutuskan dan Sarah mengangguk setuju. "Baik kamu dan aku, besok Senin udah harus mulai kerja."
Sarah tertawa pelan. "Oh ya, kamu bakalan streaming gak? Aku pengen banget ih dengerin."
"Mungkin ... kamu istirahatnya jam berapa?"
"Sekitar siang, jam dua belas. Tapi sambil kerja masih bisa sih dengerin streaming kamu."
"Oke kalau begitu." Keduanya tertawa.
"Dan oh, temen-temenku ngantongin identitas kamu dan mereka masih nyembunyiin hal itu." Sarah khawatir Brendon dikejutkan oleh terbongkarnya identitasnya, terlebih dua minggu bersama mereka tanpa ponsel sama sekali dan Brendon sama sekali tak menyentuh komputernya hingga saat ini. Tak ada berita soal Brendon adalah Bee sih.
"Aku ... aku entah kenapa pengen ngelakuin sesuatu yang sering dilakuin streamer anonim." Sarah mengerutkan kening bingung, apa itu? "Face reveal."
"Face reveal? Kamu bakalan unjuk identitas di depan umum?" Brendon mengangguk, ia tak pernah unjuk wajah karena ketakutannya, tapi sekarang ia sadar. Ia sudah punya keberanian, dan tampangnya baik-baik saja, apa yang harus ia takutkan? Lagipula fans-nya sangat ingin melihat wajahnya dari dulu.
Semoga saja mereka tak kecewa dengan salah satu langkah menunjukkan eksistensi dan keberanian dari Brendon ini.
"Gimana menurut kamu?"
"Aku oke-oke aja, sih. Asal kamu jangan nakal aja." Brendon menatap takut Sarah yang menampakkan wajah galak, apa dia urung saja ya? Namun seperdetik kemudian Sarah tertawa. "Bercanda kok, bagus aja kamu face reveal, biar dekat sama fans kan."
"Selain face reveal, aku juga mau nunjukin ke mereka kalau aku punya kamu," kata Brendon, dan kedua pipi Sarah memerah. "Aku mau nunjukin ke dunia kalau ... kamu orang yang bikin aku berani ke depan."
BERSAMBUNG ....
•••
Cerita An Urie yang lain bisa kalian temukan di
Karyakarsa: anurie
Playstore: An Urie
KAMU SEDANG MEMBACA
SUAMI NOLEP [Brendon Series - J]
Storie d'amore21+ Sarah Darsono kebelet nikah, karena ia wanita 25 tahun yang merasa tertinggal dari teman-temannya yang lain. Teman SD? Sudah pada nikah! Teman SMP? Iya juga. Teman SMA? Jelas! Bahkan roommate satu kost-nya pun meninggalkannya karena tinggal bers...