Part 24

4.4K 570 57
                                    

29 Oktober 2021


•••

Sekarang ....

Itulah yang Sarah pikirkan, tentang sebuah kiriman foto yang tidak tahu dari siapa tetapi rasanya tidak salah lagi. Mantannya. Siapa lagi yang punya foto-foto mereka selain pria itu, meski dicoret wajah-wajahnya jelas Sarah mengenali pemberi trauma terbesarnya pada cinta. Padahal wanita itu dalam masa-masa bahagia, mendapatkan cinta, kasih keluarga, semua orang pasti melindunginya dari pria berengsek itu. Namun di satu sisi tetap saja ada rasa khawatir, karena pria berengsek itu punya seribu satu cara ala bajingan demi melakukan sesuatu yang buruk--entah apa nantinya.

Sarah was-was dibuatnya, meski ia sadar ia selalu dilindungi orang sekitarnya, tetapi sekali lagi--pria itu berotak licik ... apa ....

Ah, tidak, jangan begini. Sarah harusnya percaya, kekuatan cinta keluarga jauh lebih kuat kebanding ancaman sepele dari sosok pengecut yang bahkan memakai akun fake untuk itu. Benar, Sarah bukan lagi cewek polos, bodoh, dan mudah disakiti. Ia wanita kuat, mandiri, dan cerdas. Brendon selalu bilang begitu, dan ia percaya Brendon pasti tak pernah berbohong.

Lihat saja nanti, bukan mantannya yang menciduknya, tetapi Sarah yang menciduk pria itu.

Sarah tersenyum bengis, entah kenapa belajar dari rasa sakit dan pernah bersama orang licik, membuat Sarah punya banyak hal licik juga. Balas dendam ... yah, meski hal itu kadang buruk tapi Sarah merasa memang seharusnya ada karma untuk mantannya tersebut. Sarah, jelas punya lebih banyak power sekarang, tak hanya dari keluarganya tetapi dirinya sendiri.

Oh, Sarah jadi bahagia lagi mengetahui betapa berubahnya dirinya secara tiba-tiba, apa karena suaminya selalu menyadarkan bagaimana perkembangan Sarah dari yang dulu sampai sekarang.

Senyam senyum sendiri, membuat teman-teman Sarah yang tak disadarinya tengah melihat heran sendiri. Tadi wajahnya murung, tapi sekarang bahagia lagi.

"Eh ... keknya ...." Salah satu teman Sarah tiba-tiba menggebrak pembatas kubikel Sarah hingga membuat Sarah yang asyik membayangkan beragam skenario balas dendam di kepala terperanjat.

"Apa sih! Ngagetin aja kamu!" Sarah menatap kesal.

"Kamu ... kamu ngisi ya?" tanya temannya itu, Sarah mengerutkan kening bingung.

"Ngisi formulir? Udah kok." Sarah malah berkata hal lain, menatap teman-temannya yang masih menatapinya dengan heran, ia jadi ikut heran. "Kenapa, sih?"

"Bukan ngisi itu lho, Sar. Tapi ini. Ini." Teman cowok Sarah memperagakan gaya membundar di perut.

Sarah tak mengecek dirinya, dan ia tak merasakan morning sickness, tapi entahlah bisa saja sih. Mungkin ia harus mengeceknya. Sarah menggedikan bahu. "Belum tahu, tapi nanti keknya bakal ngecek."

"Keknya emang kamu hamil deh, Sar." Sarah menatap temannya, mengerutkan kening.

"Maksudnya?" Kenapa mereka begini? Sarah jadi bingung lho.

"Moodswing kamu itu, lho. Tadi murung, sekarang ... happy lagi." Sarah menghela napas panjang, ternyata itu masalahnya. Apa ia harus memberitahukan perihal ini ke mereka? Ah ... ia rasa ini masalah rumah tangga, teman-temannya sendiri pasti punya banyak masalah pribadi jadi Sarah tak ingin menambah beban.

Ini masalah ia dan Brendon saja melawan keparat itu.

"Cieeee ... ngisi nih ye." Mereka malah menggodai Sarah.

"Belum tentu, aku belum ngecek lho." Meski Sarah harap, yah ngisi. Ia merasa semakin sempurna dengan kehadiran malaikat kecil mereka nantinya. "Udah deh kalian sana, gak ada kesibukan apa?"

"Ini kan makan siang, Sar." Eh, Sarah tak menyadarinya, apa jam segini Brendon streaming?

"Eh mm ... aku boleh nitip makanan gak? Aku males jalan nih." Sarah meminta.

"Iya deh, buat bumil nih, kek biasa ya?" Sarah mengangguk, duh disangka bumil, tapi tak apalah yang penting ia hemat tenaga.

"Makasih ya, Beb."

"Iya, Sar." Temannya itu memegang perut Sarah yang masih rata. "Demi kamu doang nih." Sarah tertawa geli begitupun yang lain sebelum akhirnya mereka beranjak meninggalkan Sarah.

Sarah, segera membuka ponselnya, mengeluarkan earphone yang kemudian ia pakai dan sambungkan ke ponsel, dan menuju ke halaman Brendon. Nyatanya, Brendon akan stream beberapa menit lagi di pemberitahuan.

Menunggu sejenak, akhirnya streaming pun bisa diakses.

"Halo, Hai, Sob. Udah lama gue gak streaming. Pada kangen?" Suara suaminya masih tak berubah, humble dan hangat seperti biasa. Dan Sarah terkejut karena kolom komentar dipenuhi permintaan face reveal. "Maaf ya maaf, cuman ada sedikit ... yah acara gitu. Acara apa? Yah acara yang ... sakral, happy, yep bener nikahan." Brendon tertawa lagi, terdengar begitu manis karena ada nada awkward di sana, dan ia mengabaikan permintaan mereka yang kini lebih banyak. "Gimana kabar gue? Sehat, great, feeling really great. Gue abis pulang dari anterin someone special dan nge-gym."

Dan di kolom komentar tampak pula banyak mempertanyakan someone special itu, Sarah tersipu karena tahu ... itu dirinya.

Namun, Brendon diam saja, tak memberitahu mereka yang kepo.

"Oh ya, sebelum sesi curhat dimulai, boleh ... gue jujur sama kalian?" tanya Brendon, dan komentator semakin berhamburan mempertanyakan hal itu. Saat mereka bilang soal pasangan, itu benar sih. "Gue sebenarnya bukan Bee."

Eh?

Semua orang mulai mencari Brendon, begitupun Sarah, maksudnya apa ini? Ini Brendon kan?

"Maksud gue ... gue bukan Bee ... sosok orang yang kalian kenal di internet yang humble, sok tahu menghadapi masalah orang lain, supel, dan mungkin pada mikir gaul." Ouh ... Brendon ingin jujur bagaimana dia aslinya. "Bee, ibaratnya cuman alter, sementara gue ... gue sama sekali gak kalian sangka sebenarnya gimana. Gue aslinya orangnya pendiam, nolep, penakut, pengecut, gue gak lebih dari sampah masyarakat kalau lo tanya siapa gue sebenarnya. Gue ... gue gak punya harapan hidup."

Kaget, jelas. Tadi happy bersama tak sabarnya face reveal, someone special dan banyak lagi. Sekarang mereka khawatir, face reveal itu apa bersamaan bunuh diri nantinya karena ungkapan Brendon seperti seorang suicidal. Mereka khawatir. Bahkan Sarah pun demikian meski sadar Brendon pastilah tak mungkin begitu.

"Ada peristiwa traumatik paling ngeri di SMA yang pernah gue alamin, hingga gue begitu takut sama dunia luar, gue takut banget. Gue bahkan gak lulusin sekolah, gue cuman tamat SMP. Kalian percaya?" Tak ada yang men-judge itu, semuanya bersimpati akan ungkapan Brendon. "Tapi, di saat gue terpuruk dalam kegelapan, gue sadar gue masih punya secercah cahaya--meski ditutupi kabut trauma tapi gue masih liat jalan. Enggak, gue gak bakalan mengakhiri hidup, gue punya kebahagiaan gue sendiri dan gue udah berusaha mengobatinya."

Semua tampak lega, termasuk Sarah.

"Dan gue tahu, usaha gak akan pernah mengkhianati hasil. Cahaya gue semakin besar sekarang, terlebih saat ada tambahan penerang lain di kehidupan gue, dia ... dia orang yang bikin gue semakin cepat bisa mengobati luka trauma ini. Dia orang yang terima gue apa adanya, bahkan sabar nunggu gue, dia jadi salah satu sumber tenaga gue menghadapi dunia luar, dan keberadaan dia bikin gue pengen berubah. Dari si cupu, culun, pengecut, jadi seorang pria yang bisa melindungi wanitanya, pria yang akan selalu ada mendampinginya, karena dia juga wanita yang selalu mendampingi gue mau susah mau senang. Gue ... bener-bener punya tekad yang kuat untuk mencapai tujuan gue, menghadapi kenyataan yang ada di dunia seperti sedia kala, semua karena dia ... someone special."

Astaga, Sarah meleleh.

BERSAMBUNG ....

•••

Cerita An Urie yang lain bisa kalian temukan di
Karyakarsa: anurie
Playstore: An Urie

SUAMI NOLEP [Brendon Series - J]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang