Part 35

3.2K 477 12
                                    

8 November 2021

•••

Kedai kue balok tak buka saat Brendon sampai di toko yang dimaksud Sarah, jadi Brendon hanya bisa menghela napas pasrah melihat toko itu yang sudah melewati batas bukanya. Mungkin kedainya tutup, Brendon harus mencari kedai lain, pria itu lalu berjalan memasuki mobil lagi dan menyusuri jalanan yang agak sepi itu.

Brendon ingat di mana letak kedai kue balok lain, ia tahu di mana, itu dekat dengan SMA-nya dulu.

Ya, Brendon lihat di Maps juga kedai itu masih ada dan buka, jadi pria itu memutuskan ke sana. Lalu dalam hatinya, terbesit sebuah rasa ... bukan takut, sedikit, tetapi lebih ke arah rindu juga semasa sekolah. Banyak kenangan manis pahit di sana, dan Brendon berkeinginan melakukan sesuatu.

Jadi, sebelum benar-benar ke kedai kue balok, Brendon berhenti di depan SMA-nya. SMA yang terlihat tak terlalu sepi karena mungkin ada anak-anak yang melakukan ekstrakulikuler, terlebih pagarnya tak dikunci, jadi saat memarkir, turun dari mobil, Brendon bisa nyelonong masuk saja tanpa khawatir karena tak ada penjaga di dalamnya. Tangannya memegang pagar yang dingin, agak basah akibat embun, berkarat.

Sudah lama ia tak memegangnya, dan kelihatannya ada sedikit perubahan warna.

Baru melewati pagar depan, Brendon sudah dibawa nostalgia menatapi halaman depan sekolah di mana ada banyak bangunan pula di sekitarnya. Memang, bayang-bayang pemukulan itu terlihat, tetapi di antara semua ... ada bayangan lain. Seperti sebuah kedai nasi padang, ia dan teman-temannya sering nangkring di sana, makan dengan harga murah meriah tapi enak. Lalu di sebuah pohon yang terlihat amat tua, Brendon ingat sering naik-naik ke sana, Brendon lumayan nakal juga di masa lalu dan cetakan rekor terbaiknya adalah tiga kali masuk ruang konseling.

Di antara kenangan buruk itu, nyatanya ia telah dibutakan dari banyakan kenangan manis semasa SMA yang ia lewatkan.

Bagaimana nasib teman-temannya sekarang? Brendon penasaran.

Langkah Brendon mulai memasuki area koridor, bunyi ketepak antara sandal jepit dan lantai marmer terasa menggema di sepenjuru. Ia merasa kangen, berlarian gaje di koridor, bunyi sepatu bising mengganggu guru killer mereka. Bayangan demi bayangan masa SMA berhamburan masuk di kepala, manisnya masa-masa itu. Brendon lalu berhenti saat masuk ke bagian aula, di sana nyatanya banyak anak-anak bermain sepak bola.

Brendon jadi ingat ia dan teman-temannya main itu, ia selalu kena omel karena tak pandai melakukannya.

Brendon memang agak payah dalam bidang non akademik terutama olahraga.

Sambil menatapi sekitaran, Brendon siap berjalan menyusuri lebih jauh, sampai sebuah suara terdengar.

"Kak Bee, ya?" Menoleh, ia temukan beberapa pemuda dan pemudi menatap ke arahnya.

Brendon tersenyum. "Hai."

Segera mereka berebut mendekati Brendon, meminta foto bareng, tanda tangan, dan banyak menanyai hal--terutama kenapa Brendon ke sini.

"Aku pernah sekolah di sini." Mereka sangat bahagia mendengar itu, tetapi kemudian diam karena ingat sesuatu, Brendon tak tamat SMA, ia terkena bullying di sini.

"Kak, Kakak masih ingat siapa yang bully Kakak? Biar kami kasih pelajaran! Kami bagian sekolah ini, otomatis bagian Kakak juga, dan di sekolah ini sangat menjunjung tinggi keadilan!" pekik salah seorang dari mereka menggebu yang disetujui yang lain.

Brendon tertawa pelan, pun menggeleng. "Udah, udah gak masalah lagi. Kakak udah move on dari hal itu dan cuman mau tenang aja, nostalgia di sini, Kakak udah baik-baik aja karena kalian semua."

"Syukurlah ...."

"Kalau gitu, Kakak mau nostalgia bareng kami? Biar kami jadi guidetour Kakak!" tawar mereka antusias.

"Boleh ...."

Dan Brendon tak menyangka, nostalgia bisa seseru ini bersama anak-anak itu, menyusuri sekolah bersama dan berperaga layaknya ia murid di sini. Bahkan, Brendon bertemu seorang guru yang masih mengajar saat zamannya dulu, guru yang agak berubah karena lebih tua.

"Brendon, ini kamu, Nak?" tanya guru wanita itu.

"Iya, Bu. Ini saya." Brendon menyalimi wanita tersebut.

"Ya Tuhan, dari mana aja kamu, Nak? Kamu banyak berubah ...."

Dan nostalgia berlanjut dengan bahagianya ....

Sementara itu, di rumah, semua tampak masih diam di kitaran meja makan dan tak menyentuh sarapan sama sekali karena Brendon yang belum menunjukkan batang hidungnya. Wajah mereka kelihatan khawatir.

"Ish, Kakak lama banget sih! Aku laper!" Hesti merengek seperti biasa.

"Ya udah kamu makan duluan sana," kata Niken kesal karena Hesti terus merengek.

"Gak ah, aku mau barengan." Tapi malah mau begitu, meski senang adiknya loyal tapi tetap saja rengekannya menyebalkan. Niken hanya bisa memutar bola mata dan Hesti memainkan ponselnya mengisi luang waktu.

"Dia belum balas pesan kamu, Sayang?" tanya sang ibu, menatap Sarah.

Sarah menggeleng. "Enggak ada, Ma. Aku jadi khawatir Brendon kenapa-kenapa." Bisa saja ia nyasar, atau hal lain, tapi aneh saja padahal Brendon sudah lumayan sering jalan-jalan sendiri tanpa gangguan.

Apa terjadi sesuatu?

"Ini udah telat banget lho ini, Sarah kamu makan aja duluan ya, Nak." Sang ibu menyuruh. Sarah ingin menolak tapi sang ibu segera menyiapkan sarapan untuknya. "Bumil jangan sampai telat makan!"

Yah, ia sadar ini demi anaknya juga.

"Niken, kamu cari Kakak kamu, deh. Ini udah jam berapa ini, dia kok gak pulang-pulang!"

Niken menghela napas, tetapi cewek itu tetap berdiri dan siap pergi, sampai sebuah suara menghentikan mereka.

"Aku pulang!" Nyatanya, Brendon sudah datang bersama banyak belanjaan, pria muda itu meletakkannya ke atas meja yang tersedia di sana. "Maaf lama."

"Kamu dari mana aja? Aku sama keluarga kamu khawatir kamu enggak pulang lama banget. Pesan sama teleponku enggak dibalas. Kamu kenapa?" tanya Sarah dengan rentetan pertanyaan, di antara khawatir ada rasa kesal di sana.

Brendon, merasa bersalah, ini sudah pukul berapa? Astaga ... ia membuat keluarganya telat makan selama dua jam lamanya hanya karena menungguinya. Seharusnya ia kasih tahu saja mereka untuk makan duluan, tapi Brendon terlalu bahagia dengan nostalgianya sampai lupa keadaan keluarganya yang setia menunggui.

"Ma-maaf, tadi aku ... aku ke SMA--"

"SMA? Ngapain kamu ke sana? Apa ada sesuatu?" Sang ayah yang pendiam angkat suara.

"Bukan, Pa. Bu-bukan ...." Brendon menunduk, meski tadi ia bahagia, tetaplah penyesalan lebih mendominasi karena hal ini. "Aku tadi ... aku tadi ke SMA, aku nostalgia di sana ... aku rasa aku udah enggak takut lagi kebayang-bayang masa laluku bahkan tadi aku ketemu salah satu pem-bully, Rey, kerja di toserba."

Hening.

Kalau ada suara, mungkin hanya jangkrik yang terdengar, lalu tak lama kemudian ....

"Astaga! Anak Mama udah berani banget sekarang!" Dan Brendon heran, tadi tegang, sekarang mereka bahagia mengetahui Brendon sudah berani menghadapi dunianya.

Mereka menyambut Brendon layaknya Brendon baru saja mendapatkan lotre satu milyar.

BERSAMBUNG ....

•••

Cerita An Urie yang lain bisa kalian temukan di
Karyakarsa: anurie
Playstore: An Urie

SUAMI NOLEP [Brendon Series - J]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang