Part 4

10.7K 945 33
                                    

9 Oktober 2021

•••

Seperti biasa, Brendon seharian di kamar, yang merupakan habitat utamanya. Meski kadang ke toilet, ke kamar mandi, atau ke dapur untuk makan, tetapi ia tetap bersemayam paling banyak di kamar karena itu hanya selingan aktivitas pasti itu. Sebenarnya itu rutinitas biasa, tetapi di mata sang mama ada hal yang tidak biasa.

Tak pernah ia melihat Brendon semalas ini, meski kelihatan biasanya malas, tetapi Brendon tak seperti ini. Pria muda itu seperti banyak pikiran dan tak tahu cara mengeluarkannya, makan hanya sedikit, mandi pun kadang kalau tak diingatkan akan lupa, sebenarnya itu hal biasa hanya saja semangat Brendon seperti tak ada di matanya. Brendon lebih murung dari biasa, dan tak ada kecerahan di sana.

Kenapa putra sulungnya itu?

"Bapa, Bapa coba deh perhatiin Brendon, dia kayak ... kayak banyak pikiran gitu." Ia mengadu pada suaminya.

Suaminya menatap sekilas ke arah kamar putra mereka, ia kemudian asyik membenarkan alat mancing di tangan bersama tetek bengeknya. "Kenapa Ma? Keknya biasanya juga gitu ngurung diri di kamar kan?"

"Ugh, Bapa enggak merhatiin apa?" Hanya gumaman hm yang terdengar, terlalu asyik dengan dunia mancing sendiri. "Pa, ini anak kita lho yang Mama omongin. Bapa harusnya dengerin dengan seksama, dong! Gimana sih?!"

"Bapa denger kok, Ma. Denger. Memang Brendon kenapa? Bapa gak liat ada yang aneh dari dia tuh." Sang suami berkata begitu sepele.

Istrinya seketika kesal dengan ungkapan itu. "Bapa, Brendon murung, mukanya ditekuk terus gak kayak biasanya. Keknya ada sesuatu deh sama dia!"

"Cyber bullying lagi ya? Kan Bapa udah bilang dipidanakan aja orang-orang kek gitu, biar efek jera, nerima hal pantas. Kalau perlu sekalian yang dulu bully Brendon ikut dipidanain juga, mampus!" Pria tua itu berkata dengan jengkel.

Istrinya menghela napas panjang. "Mungkin ya Pa, Mama tanyain ke dia deh."

"Hm tanyain, bilangin juga Bapa, Mama sama adik pasti bela dia di meja hijau, tuntasin sampe ke akar-akarnya!" Istrinya pun mengangguk, ia melangkah ke arah kamar putra mereka, pun mengetuk pintu.

"Brendon, Nak Sayang, kamu tidur?" tanya sang ibu, kemudian mendekatkan telinga ke pintu kamar anaknya. "Brendon ...."

"Yamete kudasai, Senpai!" Dengan kening mengerut, sang ibu menjauhkan telinga, suara apaan tadi anjay?!

"Brendon?" panggil wanita itu sekali lagi, siap mendengar apa sebenarnya yang ada di balik pintu Brendon, tetapi kali ini suara Brendon yang keluar.

"Iya, Ma?" Pria itu terlihat buru-buru, membukakan pintu untuk ibunya yang terlihat heran. Anaknya seperti habis olahraga karena keringetan begitu banyaknya, padahal AC menyala. "Ke-kenapa?" Kedua pipi Brendon juga merah.

"Kamu ngapain tadi?" tanya sang ibu celingak-celinguk, Brendon menghalangi ibunya. "Tadi tuh apa?"

"Gak papa, Ma. Aku lagi ... nonton kartun." Brendon menyengir lebar, menyugar rambutnya yang agak basah ke belakang. "Ke-kenapa Ma?"

Kali ini wajah Brendon tak terlihat murung, tetapi firasat ibunya mengatakan di balik mata itu masih ada sisa-sisa kesedihan di sana.

"Kamu kenapa Brendon? Akhir-akhir ini Mama liat kamu murung." Pertanyaan itu seketika memunculkan kembali wajah ditekuk bersama kesenduan di wajah Brendon, sekilas, karena setelahnya Brendon menggeleng dan berwajah biasa saja. "Kamu kena bully lagi ya? Kalau kena bully bilang biar kita pidanain mereka!"

Brendon tahu ekpresinya memang selalu terbaca sang mama, tetapi itu pernyataan yang keliru, jadi Brendon hanya menggeleng.

"Bukan, kok, Ma. Gak ada lagi yang bully aku, eh ada sih tapi yah aku dah biasa. Aku enggak papa, kok." Brendon tersenyum, senyumnya begitu hampa.

Ibunya lalu memegang kedua bahunya. "Nak, kalau ada apa-apa bilang sama Mama sama Bapa, kamu enggak sendirian oke?" Brendon tersenyum lebih tulus akan perhatian itu hingga si pemuda mengangguk. "Kamu makan tadi dikit banget, ayo makan lagi biar kamu lebih gemukan."

Brendon menggeleng. "Enggak Ma, aku udah kenyang kok, aku ... mau lanjut kerja dulu."

"Biar Mama ambilin kamu cemilan sama minuman ya." Brendon ingin melarang ibunya, tetapi yah ibunya memang keras kepala jadi Brendon hanya bisa pasrah saja ketika wanita itu pergi.

Brendon kembali masuk ke kamar, duduk di kasurnya dengan pandangan sendu lagi. Sebenarnya bukan cyber bullying yang sudah menjadi makanan sehari-hari untuknya, melainkan hal lain yang selalu ia pikirkan.

Ini soal Sarah yang akan menikah, dan bilang calonnya mungkin ... adalah teman sekantornya.

Dibandingkan Brendon yang tukang rebahan meski bisa mencari uang, teman sekantor Sarah memang lebih tepat menjadi pilihan. Karena mereka saling kenal, Brendon ini siapa kalau mau ngegas duluan? Mustahil. Brendon juga merasa dirinya terlalu jelek, nolep, tak punya bakat apa pun. Tak pantas untuk Sarah. Sama sekali tak pantas.

Brendon menuju ke depan meja tempat biasa ia berkelana di internet, bagian berkas di komputernya, ke sebuah file yang amat dalam karena ada di dalam file, di dalam file, pokoknya perlu banyak klik untuk masuk ke ujungnya.

Sampai, ke hal yang paling ujung, isinya foto-foto.

Foto yang ada di sana adalah foto seorang wanita, cantik, yang diambil dari seberang rumah wanita itu. Sang wanita cantik yang tidak lain dan tidak bukan adalah Sarah, dengan pakaian berbeda, tetapi di lokasi yang sama. Depan rumah dengan beragam gerakan, seperti buka pintu, berdiri menunggu seseorang, atau banyak lainnya. Keringat Brendon semakin banyak di kala dirinya mendidih melihat wanita itu.

Ugh ....

Kemudian dia membayangkan Sarah, yang sedari dulu ia kagumi bersanding dengan seorang pria, selain dirinya. Bagaikan wibu yang waifunya menjadi mayat, Brendon merengek karena itu. Frustrasi mengacak-acak rambutnya.

"Gue harus apa? Harus apa?" tanyanya, ia tak tahu harus apa ... Sarah tak mungkin dimiliki tapi ia sangat ingin memiliki. Ibaratnya Sarah adalah karakter 2D favoritnya yang tak pernah akan jadi nyata.

"Brendon, ini cemilannya Nak." Brendon segera menyadarkan diri dari kegelisahannya dan mengklik shutdown komputernya. Memasang tampang baik-baik saja ke sang ibu ia tersenyum melihat makanan yang dibawa.

Namun, ibunya menatap dengan terkejut, Brendon jauh lebih berantakan, kacau, dan frustrasi.

"Nak, jujur sama Mama, kamu ini kenapa?" tanya ibunya, meletakkan cemilan di atas meja sambil menghampiri Brendon.

Brendon memejamkan mata, ia tak bisa memberitahu kebenarannya. "Aku cuman capek, Ma. Aku gak papa kok ...."

"Ya udah, kalau kamu memang capek, istirahat aja, jangan kerja dulu. Kalau perlu kita liburan, Minggu ini kamu ikut ke nikahan sama kami, terus abis nikahan kita jalan-jalan. Biar kamu jernihin pikiran, we time sama keluarga, oke Sayang?"

"Gak Ma, aku males ...." Wajah Brendon semakin sedih, ia menuju kasur, berbaring ke kasurnya dan menyelimuti diri di balik selimut.

"Nak ...."

"Aku mau sendiri dulu, Ma. Maaf ...." Mendengar itu, ibunya tahu ia tak sampai hati memaksa anaknya yang seperti orang patah hati.

Tunggu, patah hati? Apa Brendon punya sesuatu yang disembunyikan darinya?

BERSAMBUNG ....

•••

Cerita An Urie yang lain bisa kalian temukan di
Karyakarsa: anurie
Playstore: An Urie

SUAMI NOLEP [Brendon Series - J]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang