31 Oktober 2021
•••
Brendon berusaha seproduktif mungkin, melakukan ragam hal yang ia bisa dan ia mampu usai menyelesaikan streaming. Ia ingin memiliki tubuh bagus sekaligus kuat, serta tidak mudah lemah demi Sarahnya. Ia juga mulai lebih banyak keluar kamar, dan bahkan siapa sangka mudah saja mendapatkan teman baru. Anak-anak kost yang rata-rata hampir seumuran dirinya sama sekali tidak seburuk itu, dan Brendon merasa ... kembali seperti manusia lagi.
Banyak hal yang ia lakukan hingga sore itu, kala menemukan pesan dari Sarah kalau sebentar lagi ia pulang, rasanya tak terasa. Begitu bahagia pria itu menyiapkan diri, bersama motornya yang senantiasa mengkilap, lalu mengenakan gaya terkeren tapi tidak bad boy--OOTD kekinian cowok kece kebanyakan, sebelum akhirnya menjalankannya ke tempat Sarah.
Ada cukup banyak insan di sana yang ternyata sudah keluar, tetapi batang hidung Sarah belum ia temukan. Brendon memberitahukan Sarah keberadaannya yang sudah ada di depan gedung, dan wanita itu menyuruh menunggu sebentar. Brendon pun menurut menunggui istrinya hingga keluar.
Entahlah, padahal ia berada di antara banyak orang, bahkan sesekali mereka menyapanya, tetapi Brendon merasa ... tidak apa-apa. Ia merasa aman, tak terancam sama sekali, bahkan saat di Gym pagi itu juga tak ada masalah, couch bela dirinya juga tidak menggigit, kehidupan sosial tak sengeri itu.
Ya, tak sengeri itu.
Di antara manusia-manusia yang keluar gedung, Brendon akhirnya menemukan sosok wanita tercantik yang selalu ia cintai itu, siapa lagi jika bukan Sarah. Wanita itu berjalan anggun bersama high heels dan gaya kasualnya, rambut panjangnya bergerak-gerak lembut kala ia terus melangkah, dan matanya terpaku pada Brendon. Saling melempar senyuman hingga akhirnya Sarah menghadap Brendon.
"Lama nunggu ya?" tanya Sarah.
Brendon menggeleng. "Enggak perlu buru-buru, gak masalah kok." Brendon tersenyum hangat kemudian menatap sesuatu di tangan Sarah. Bingkisan. "Itu apa?"
"Kue balok, dikasih temen." Brendon mengangguk paham, mengambilnya dan mengaitkannya ke gantungan motor. Ia lalu dengan gentle mengambil helm dan memasangkannya ke Sarah, sifat yang begitu gentle hingga Sarah tersipu.
Keduanya lalu naik motor berboncengan, Brendon berbelok, tetapi kemudian ia terdiam tak menjalankan motornya.
Sarah terheran. "Kenapa?" tanyanya.
Brendon terhenti karena memperhatikan semua yang ada di sekitar mereka, baru disadarinya banyak yang memakai mobil kebanding motor ....
"Sarah, Brendon, duluan ya!" Bahkan teman Sarah yang kini menyapa mereka.
"Dah! Hati-hati di jalan!" Sarah menyahuti dengan ceria, tetapi Brendon merasa ... sesuatu mengganjal di dadanya. "Beebo, ada apa? Motornya mogok?"
Brendon menggeleng pelan. "Mm enggak." Ia lalu menjalankan motornya, memikirkan apa yang baru saja ia lihat tadi. Teman-teman Sarah memakai mobil, dijemput pun pakai mobil, ada sih bermotor tapi sepertinya itu ojek online, dan bahkan motornya pun juga motor yang tidak murah.
Brendon?
Apa perasaan Sarah tentang ini?
"Sayang," panggil Brendon pelan, tetapi Sarah tak menjawab, jelas karena berkendara suaranya akan teredam angin. Brendon harus meninggikan suaranya. "Sayang?"
"Hm? Ada apa?" Sarah menjawab dengan nada tinggi juga.
"Jadi ... tabunganku kan masih lumayan banyak sekalipun dikurangin beli rumah nanti, menurut kamu gimana ... kalau kita beli mobil?" Ya, Brendon memikirkan hal ini, ia ingin memanjakan Sarah juga dengan fasilitas.
Kasihan juga kalau naik motor bergidik-gidik gini.
"Mobil? Kamu bisa nyetir mobil?" tanya Sarah malah.
"Mm enggak sih ... tapi mungkin aku bisa belajar kan?" Brendon memang tak bisa naik mobil. "Aku pengen aja gitu beli mobil, buat keluarga juga keknya enak." Sebenarnya dari dulu ada sih keinginan beli mobil, tetapi bagian belajarnya yang Brendon tak mau, sementara itu keluarganya juga bilang tak terlalu memerlukan mobil karena tak sering jalan-jalan.
Mobil juga enak sih, kalau ada apa-apa, dia bisa cepat tanggap juga, contohnya saat Sarah lahiran ... susah juga kalau naik motor atau perlu menunggu jemputan. Kalau begini dia bisa jadi suami cekatan.
"Kalau itu mau kamu, aku nurut aja." Sarah tersenyum hangat dan Brendon tampak lega mendengarnya.
Sarah sebenarnya agak heran kenapa Brendon menginginkan mobil, sampai ia sadar satu hal. Kala Brendon diam tadi, ia lihat Brendon memperhatikan teman-temannya yang naik mobil, apa ....
Oh, begitu ternyata.
Padahal Sarah tak terlalu peduli mau Brendon menjemputnya pakai bajaj sekalipun, asal bukan pakai keranda mayat, ia tak masalah. Sama sekali. Yang terpenting menjemputnya adalah Brendon, dan mereka aman sampai tujuan, tapi sepertinya Brendon ingin memanjakan Sarah soal itu.
Sarah sebenarnya ingin jujur, Brendon tak perlu sampai segitunya, tapi di satu sisi ia merasa--mungkin mobil juga penting untuk mereka, bukan sekadar hanya pajangan saja. Jadi Sarah memutuskan setuju saja akan ungkapan Brendon.
"Oh ya, boleh stop di kedai jus? Aku agak haus," pinta Sarah.
"Oke deh." Brendon yang kelihatan bahagia karena dibolehkan Sarah membuat Sarah ikut-ikutan ceria, yah memang pilihan tepat.
Sampai di kedai minum pinggir jalan, mereka pun berhenti di sana, keduanya menghampiri pemilik kedai stand kecil-kecilan itu dan siap memesan minum. Tetapi seketika mereka terdiam karena mengetahui siapa pemilik stand-nya.
Bahkan sang pemilik pun juga ikut-ikutan cengo bersama mereka.
"Jack?" Satu kata yang keluar di mulut Sarah, yang kemudian syok menatap Brendon.
"Brendon ... Sarah ...." Jack, penjaga stand itu ... dunia ternyata begitu kecil sampai berputar di sini-sini saja.
Brendon memejamkan mata erat-erat, ada bayangan masa lalu ketika ia dipukuli, dan wajah Jack ada di sana. Betapa tak berdayanya dia saat itu, diinjak-injak dan dibuat trauma. Selepas pemukulan ia dirawat di rumah sakit, sempat koma, melalui operasi, banyak tulang patah, dan akhirnya ia ketakutan setengah mati bahkan hanya karena melewati pintu rumah. Namun sejenak membayangkan itu, Brendon membuka matanya, tatapannya tajam, tidak ada kebencian tetapi tengah mengumpulkan sesuatu hal.
Sesuatu hal yang selalu saja nyaris hilang.
Keberanian.
Brendon menatap Jack di mana Jack juga balik menatapnya, seketika Jack ketakutan dan canggung karena berpikir Brendon, meski tak ada kebencian lagi, tetapi gaya menatapnya begitu menusuk. Brendon memang punya wajah tipikal bad boy cold boy kentara hingga ia tak sadar itu tatapan yang menakutkan.
"Maafin aku, Brendon. Maafin aku. Kalau kamu mau balas apa yang kulakukan di masa lalu, lakuin aja, lakuin apa pun yang bisa bikin kamu memaafkan aku."
"Brendon, tenangkan diri kamu, aku mohon jangan benci dia ...." Sarah khawatir, memang bagus sekarang Brendon mulai berani, tapi ini terlalu berani--padahal temannya sudah meminta maaf.
Ia tak ingin Brendon jadi pendendam, itu bisa menyakiti dirinya sendiri.
"Brendon, tolong maafin dia. Kamu tenang ... jangan memendam dendam ...."
Brendon menarik napas panjang, ia memang ingin memaafkan Jack. "Iya, gak papa kok, aku gak dendam. Aku maafin dia dari kemarin-kemarin kok."
Sarah tersenyum dan Jack terlihat lega, meski agak takut, Brendon dan tatapannya begitu sangar.
"Makasih banyak, Brendon ... makasih banyak ...."
Perlahan-lahan, bayangan masa lalunya mulai bisa Brendon terima sekarang, ia sadar sekarang ia punya banyak orang yang dicintai dan mencintainya, dan sosok di hadapannya menyesali apa yang ia perbuat. Memang sudah saatnya seperti ini ....
BERSAMBUNG ....
•••
Cerita An Urie yang lain bisa kalian temukan di
Karyakarsa: anurie
Playstore: An Urie
KAMU SEDANG MEMBACA
SUAMI NOLEP [Brendon Series - J]
Romance21+ Sarah Darsono kebelet nikah, karena ia wanita 25 tahun yang merasa tertinggal dari teman-temannya yang lain. Teman SD? Sudah pada nikah! Teman SMP? Iya juga. Teman SMA? Jelas! Bahkan roommate satu kost-nya pun meninggalkannya karena tinggal bers...