🛸🛸🛸
Waktu menunjukkan pukul 1:23 dini hari saat keempat lelaki itu tiba di Bandung. Memantau markas target yang terletak di daerah pedalaman.Operasional sudah berjalan sejak setengah jam yang lalu saat Dani memberi kode pada anggota yang mereka kerahkan untuk menyerbu markas.
Sementara keempat pemuda itu masih memantau monitor didalam mobil rubicon hitam, tak jauh dari markas target.
"Delapan puluh delapan." Gatra menghitung data dari anggota mereka yang masih aktif bertarung dengan anak buah Wirman di markas sana. Yang berarti dua belas di antara mereka sudah gugur.
Terdengar suara tembakan yang meledak-ledak tanda mereka saling menembakkan peluru satu sama lain.
"Kalian yakin mau ikut gue? Ini antara hidup dan mati." ucap Alfin. Kalimat yang sama sejak pagi ia lontarkan kepada ketiga sahabatnya.
"Fin, ibarat lomba lari, selangkah lagi kita ke garis finish." Asran melirik sinis ke sebelahnya.
"Tau nih, emang gunanya sahabat sekaligus partner kerja itu saling support. Kita udah nyelamin pahit kelam dunia pertempuran Alfin. Masa Wirman doang bisa bikin kita gentar sih." Dani ikut meyakinkan.
"Lo adalah orang yang nggak patah semangat buat ngebantuin permasalahan keluarga gue kelar sampai ikut ngeburu komplotan mafia itu. Lo mau bikin gue jadi orang nggak tau diri kalau nggak ikut terjun langsung buat ngebebasin Nata?" Gatra mengimbuhkan.
Kalau tidak malu dibilang lebay, Alfin rasanya ingin memeluk tiga sobatnya ini. Sayangnya, situasi tidak memungkinkan untuk berhelow-melow. Jadilah ia hanya menepuk pundak ketiganya, "Thanks bro."
Mata mereka seketika terbelalak, saat layar monitor yang memantau ruangan Nata menampilkan sosok Wirman yang masuk dan menghajar Nata habis-habisan.
"Bangsat! Kita kesana sekarang!" suara Alfin menggema ke seisi mobil, urat lehernya mencuat karena marah.
Saat hendak membuka pintu mobil, Asran menahannya.
"Sabar Alfin, belum saatnya."
"Gimana gue bisa sabar, cewek gue sekarat di dalam!" Alfin tak sadar membentak.
"Dia sengaja mancing lo supaya cepet datang, Wirman itu tau kalau kita ngepantau dia sekarang. Jadi tolong jangan gegabah." Dani memperingatinya tajam.
Kalau menyangkut Nata, Alfin akan selalu menggelap. Lelaki itu sangat emosional kalau gadisnya diganggu, apalagi dibuat menderita seperti ini.
Ia mengusap wajahnya gusar.
"Sisa empat puluh orang, tapi pasukan Wirman juga udah berkurang dan akses kita buat nembus tempat Nata makin dekat." Gatra menengahi.
"Anggota kita banyak berjatuhan di dalam." Suara Dani mendominasi. Memperlihatkan daftar pemantau anggota yang ia kerahkan untuk masuk ke markas Wirman, mengorbankan diri mereka demi menembus akses, "Salah langkah sedikit, bukannya ngelolosin Nata malah kita yang bisa sekarat sebelum perang."
"Dua puluh orang, kalau gue nggak salah anggota Wirman sisa tiga puluh dua." Gatra menggeser monitor cctv, matanya tak kalah cepat memantau layaknya singa yang mengincar mangsanya, "Timingnya mungkin pas kalau kita bergerak sekarang- ALFIN!"
Gatra berteriak saat tiba-tiba saja Alfin mulai melompat turun dari rubicon. Bahkan lupa memasang vest anti pelurunya.
Lelaki yang dikenal tangguh, tak takut dengan apapun, dan mampu menaklukan siapapun itu selalu begitu lemah akan hal yang menyangkut gadisnya. Ia adalah Alfin Prataga.

KAMU SEDANG MEMBACA
Dark but Shine [END]
Fiksi RemajaIni hanyalah segelintir dari kisah cinta anak remaja. Yang agak sedikit... Berat. Berlawanan seperti kompas utara dan selatan. Tapi saling melengkapi layaknya gelap yang butuh terang. "Gue nggak pernah pacaran." ucap si cuek yang selalu menolak. "...