31. Jail

3 0 0
                                        


🏺🏺🏺


Seorang lelaki tua berambut putih turun dari mobil pajero sport di susul dengan beberapa pengawal yang memayunginya.

Ia berhenti di hamparan halaman luas, menatap kediamannya yang tak berubah secara signifikan dari beberapa puluh tahun semenjak ia wariskan kepada anak cucunya.

Secara visual, kakek tua ini masih terbilang segar dan kuat meski memegang satu tongkat sebagai penopangnya. Rambutnya yang memutih, rahang yang masih tegas, netra berwarna abu-abu serta hidung yang mancung.

Terbuktilah sudah dari mana visual menawan Prataga berasal.

Dari Adrian Prataga.

"Papaa!" saat memasuki kediaman itu, ia disambut hangat oleh menantunya. Alana.

Adrian mengangguk, "Kemana suami kamu?"

"Dia— ah itu, dia baru pulang dari kantor." ujarnya.

David terkesiap saat menatap lelaki tua yang kini menatapnya datar. Seketika suasana disekitarnya berubah canggung.

"Papa? Kenapa tidak menghubungi saya kalau mau dat—"

"Memangnya kenapa saya harus melapor ke kamu kalau saya mau mengunjungi anak cucu sendiri?" ia menyindir anak sulungnya. Seperti biasa, siapapun pasti kenal dengan watak kaku pemilik utama Prataga company ini. Tegas dan keras.

Hingga begitulah David dan saudara-saudaranya melewati didikan sang Papa agar bisa menjadi pengusaha penerus perusahaannya.

Setelah mewariskan Perusahaan dan cabang-cabangnya kepada penerusnya, kini Adrian sedang menikmati masa tuanya di New Zealand sembari mengurus perkebunan buah dan peternakannya  yang begitu melimpah bersama dengan istrinya Daniza Edwi Prataga.

Adrian duduk di ruang tengah, menatap lurus kepada sepasang suami istri itu dengan tajam.

"Saya sudah membaca berita, dan jangan harap bisa menyembunyikan apapun dariku. Karena aku punya banyak sumber informasi dari Negara ini." tukasnya dengan logat orang luar yang cukup kentara.

David dan Alana menunduk.

"Bagaimana bisa seorang penerus Prataga bisa jadi pem—"

"Pembunuh?" seorang lelaki muda menuruni tangga, dengan tangan yang berada di balik saku.

Adrian seperti menatap dirinya saat muda dulu. Visual yang mirip dengannya, tinggi badan proporsional, alis tebal dan garis rahang, serta mata tajam yang bisa mengintimidasi siapapun.

Sayangnya, kondisi Alfin sekarang bisa dibilang memburuk. Terbukti dengan kantung mata yang tercetak jelas akibat tak tidur semalaman.

"Bagaimana bisa seorang yang menyandang nama Prataga dikenal buruk oleh orang-orang?" Adrian menatap cucunya dengan tajam.

Patut ia akui bahwa potensi Alfin adalah yang paling ia andalkan. Sejak kecil Alfin sudah memberikan gambaran-gambaran bahwa anak ini akan berpotensi untuk Prataga kelak.

Alfin tersenyum miring, "Sorry grandpa. But, i do it for reason." ia menghela napas panjang, membalas tatapan sang kakek seolah tidak ada rasa takut sama sekali. "I mean, balas dendam."

Adrian tertawa sumbang meremehkan, "Tau apa anak seperti kamu ini soal balas dendam? Yang kamu tau hanya jadi biang masalah dan memperburuk citra Prataga."

Alfin mengangkat satu alisnya.

"Selalu membuat onar, jarang masuk kelas, bahkan sering mendepak seenaknya orang-orang Perusahaan tanpa persetujuan Papa kamu. Jangan merasa paling hebat. Bisa apa kamu sampai pernah sok menolak menjadi penerus Perusahaan padahal itulah satu-satunya yang membuat kamu setinggi sekarang. Jangan menjadi paling hebat kalau tanpa Prataga kamu hanyalah orang biasa yang tidak becus apapun sama sekali." lanjut Adrian menumpahkan segalanya.

Dark but Shine [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang