••••
••••
"Angkasa, kamu bisa datang atau tidak?"
Evelyn menanyakan hal yang sama untuk kesekian kalinya tentang ulang tahun Aruna yang hanya tinggal tiga hari lagi. Ia menatap penuh harap pada anaknya yang sedari hanya diam dan belum memberikan jawaban yang pasti.
Seandainya Angkasa tidak bisa datang maka dia akan mengatakannya pada Aruna. Dia tidak ingin memberikan anak itu harapan jika pada akhirnya Angkasa tidak datang, karena hal itu pasti akan semakin menyakiti hatinya.
"Mama mohon sama kamu, Angkasa. Kamu boleh membenci Mama. Kamu boleh mendiamkan Mama selama apapun itu, tapi jangan seperti ini pada Aruna. Mama tidak mau membuat dia semakin sedih, kalau kamu memang tidak bisa..., nanti Mama akan bicara pada Aruna dan mencoba memberikan pengertian pada dia," kata Evelyn sambil menatap anaknya.
"Mama tidak mau memberikan harapan pada Aruna." Evelyn kembali menatap anaknya dengan sendu.
Angkasa masih tetap diam. Hati dan pikirannya terus berdebat akan hal ini. Haruskah dia datang atau tidak?
"Kalau kamu tidak bisa datang, Aruna tidak ingin membuat pesta ulang tahun," kata Evelyn yang berhasil membuat Angkasa kini menatapnya.
Kenapa? Pertanyaan itu hanya sanggup Angkasa tanyakan dalam hatinya.
"Mama tidak mau mengecewakan Aruna. Seandainya kamu memang tidak bisa atau tidak mau Mama akan bicara pada Aruna, tapi kalau boleh Mama mohon sama kamu untuk datang. Aruna tidak salah apa-apa, semua ini kesalahan Mama. Aruna tidak memiliki siapa-siapa selain kita, Angkasa," kata Evelyn pelan.
"Kenapa Mama harus nothing sama aku? Ma, seandainya aku tau hal ini dari Mama dan bukan dari orang lain, mungkin tidak akan sesakit ini. Aku kecewa, Ma. Aku sangat kecewa karena sudah dibohongi oleh orang yang paling aku percaya," kata Angkasa dengan raut wajah sedih.
"Aku membesarkan Aruna sejak ia masih bayi. Aku menjaga dia dengan sepenuh hati bahkan aku sampai tidak memikirkan diri aku sendiri, tapi ternyata apa? Aku dibodohi selama ini. Aku membesarkan anak yang bukan darah dagingku sendiri, tanpa tau kalau anak kandungku sudah meninggal dunia. Mama bisa mengerti rasa kecewa yang sekarang aku rasakan?" tanya Angkasa sambil menatap wajah ibunya.
Angkasa tidak tau siapa yang harus dia salahkan dalam hal ini. Ibunya yang terlalu takut melihatnya semakin terpuruk karena kematian istri dan anaknya. Atau adiknya yang tidak bisa membantah dan berusaha menjaga rahasia ini selama bertahun-tahun.
Atau dirinya sendiri yang mengatakan bahwa lebih baik mati bersama istrinya jika tidak ada anak mereka. Atau Aruna yang bahkan tidak tau menahu mengenai hal ini.
Atau dokter dan perawat yang bersedia merahasiakan hal ini karena sang ibu yang sudah berjanji akan mengatakan yang sebenarnya.
Siapa yang harus dia salahkan?
KAMU SEDANG MEMBACA
Thank You, Papa
Teen Fiction"Kalau Mama sayang sama Aruna, kenapa Mama pergi?" Ini tentang Angkasa Narendra yang harus membesarkan anaknya seorang diri setelah kematian istrinya. Menolak untuk mencari pengganti istrinya Angkasa memilih untuk menjadi seorang Ayah dan Ibu untuk...