Sudah hampir dua tahun berlalu, tapi masih belum ada perkembangan dari semua terapi yang Aruna jalankan. Anak itu masih duduk di kursi rodanya yang membuat Angkasa masih belum lepas dari rasa bersalahnya dan terus mencari segala jenis pengobatan untuk bisa membuat Aruna berjalan kembali.
Meskipun Aruna sendiri mengatakan bahwa ia baik-baik saja. Ia tidak merasa dikucilkan oleh teman-teman karena keadaannya. Ia masih bisa menjalani hari-harinya dengan penuh kebahagiaan bersama orang-orang tersayangnya.
Tapi, tidak semudah itu bagi Angkasa untuk menerima semuanya. Padahal Aruna baik-baik saja. Anak itu juga mengisi kegiatannya dengan banyak hal seperti, belajar melukis dan membaca banyak buku cerita.
Sesuai permintaannya, Aruna satu ruangan yang dipenuhi dengan buku dan juga peralatan melukisnya. Dia juga punya seorang guru privat yang mengajarinya melukis setiap akhir pekan dan itu sangat menyenangkan untuknya.
Seperti yang terjadi sekarang misalnya.
"Aruna baik-baik saja. Kamu tidak bisa melihatnya, Angkasa? Dia bahagia, selama kamu tetap berada disampingnya."
Suara itu membuat Angkasa menoleh dan menatap ibunya yang tengah tersenyum padanya. Dia menyentuh pundak Angkasa lalu mengusapnya dengan sayang.
"Lihat, kan? Dia tersenyum dan tertawa. Aruna lebih kuat dari apa yang kita semua bayangkan. Sudahi rasa bersalah kamu, Angkasa. Kalau Aruna memang ditakdirkan untuk bisa berjalan lagi, itu pasti akan terjadi." Evelyn berusaha untuk memberikan pengertian pada Angkasa yang sekarang hanya diam.
Angkasa benar-benar berbeda ketika tidak bersama dengan anaknya. Setiap kali bersama Aruna dia akan berusaha untuk terlihat ceria, tapi ketika tidak maka raut wajah sedih dan penuh penyesalan itu akan datang.
Angkasa bahkan mengalami insomnia beberapa bulan belakangan ini. Evelyn sangat mengkhawatirkan keadaannya hingga ia dan Agatha selalu berusaha untuk bicara dengan Angkasa agar pria itu bisa berhenti menyalahkan dirinya sendiri.
"Kalau tidak bagaimana, Ma? Apa Aruna akan selamanya duduk di kursi rodanya? Apa Aruna akan selamanya seperti itu karena kebodohanku?" tanya Angkasa yang membuat Evelyn menghela nafasnya pelan.
"Angkasa, semua yang terjadi itu sudah ditakdirkan. Entah Aruna akan kembali berjalan atau tidak itu semua adalah takdir yang tidak bisa kamu ubah. Sekarang tugas kita hanya berusaha dan berdo'a untuk itu, jadi berhenti menyalahkan diri kamu sendiri," kata Evelyn.
"Lihat, Aruna bahagia. Dia sudah berusaha untuk menerima semuanya, tapi kalau kamu terus seperti ini dia akan sedih." Evelyn mengatakan itu sebelum pergi meninggalkan Angkasa yang terdiam setelah mendengar semua kata-katanya.
Angkasa masih diam di tempatnya. Dia memandangi anaknya yang sedang tertawa bersama gurunya sambil menunjukkan kedua tangannya yang kotor karena cat. Karena melamun ia sampai tidak sadar jika Aruna melihat ke arahnya.
Anak itu memanggilnya kuat-kuat yang membuat Angkasa tersentak. Aruna melambaikan tangan dan tersenyum senang ketika Angkasa berjalan menghampirinya.
"Papa kenapa ngeliatin aku dari sana?" tanya Aruna ketika sang ayah sudah berdiri di dekatnya.
"Papa takut ganggu Aruna," jawab Angkasa asal.
"Emm kenapaa? Papa tidak ganggu aku kok. Papa boleh disini dan lihat aku atau melukis sama aku dan ibu guru Jihan juga boleh," kata Aruna yang membuat Angkasa tersenyum dan mengusap pelan puncak kepalanya.
"Lihattt tangan aku kotor dan muka aku juga," kata Aruna sambil menunjuk pipinya dan menyengir lucu.
"Tetep cantik anak Papa," kata Angkasa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Thank You, Papa
Teen Fiction"Kalau Mama sayang sama Aruna, kenapa Mama pergi?" Ini tentang Angkasa Narendra yang harus membesarkan anaknya seorang diri setelah kematian istrinya. Menolak untuk mencari pengganti istrinya Angkasa memilih untuk menjadi seorang Ayah dan Ibu untuk...