"Angkasa..."
Evelyn menyentuh pundak anaknya yang sudah setengah jam terdiam dengan pandangan kosong. Ia memeluk erat tas sekolah Aruna. Air matanya sudah kering, Angkasa sudah lelah menangis hingga yang bisa ia lakukan sekarang hanya melamun.
Pikirannya entah berada di mana. Sejak tadi orang-orang berusaha mengajaknya bicara, tapi Angkasa tidak bisa menanggapi. Ia tidak memiliki kekuatan untuk sekedar berbicara dan menanggapi perkataan mereka.
Memikirkan bagaimana jika Aruna sampai tau keadaannya? Bagaimana jika Aruna benar-benar tidak bisa berjalan lagi? Bagaimana jika senyum anak itu akan hilang?
Angkasa tidak bisa berpikir. Meskipun hari sudah berganti gelap, tapi ia tidak merasakan kantuk sama sekali.
"Angkasa, pulang dulu. Biar Agatha yang jagain Aruna," kata Evelyn yang membuat Angkasa menoleh.
"Enggak, Ma. Aku di sini aja," tolak Angkasa dengan cepat.
"Angkasa, kamu harus istirahat. Kita berdo'a untuk kesembuhan Aruna. Jangan putus asa," kata Evelyn menenangkan.
"Aruna.. Aruna suka sekali naik sepeda. Dia suka main dan lari-lari di taman. Angkasa beli sepatu roda untuk hadiah ulang tahunnya..."
Angkasa diam karena ingin menangis lagi. Ia mendekap tas sekolah Aruna semakin erat hingga membuat Evelyn menangis melihatnya.
"Angkasa.."
"Aruna belum sempat coba..., aku belum mengajarkan dia naik sepatu roda," katanya pelan.
Evelyn hanya bisa diam. Dia memeluk anak laki-lakinya itu dengan erat dan berusaha menenangkannya yang sedang menangis. Keadaannya hampir sama ketika Angkasa kehilangan istrinya, hancur berantakan.
Sejak dulu Angkasa paling tidak bisa melihat Aruna terluka sedikit saja. Jatuh dan lecet saja dia sudah panik minta ampun. Sekarang Angkasa tidak tau perasaan apa yang kini tengah ia rasakan.
Takut, marah, cemas dan sedih. Semuanya menjadi satu hingga Angkasa tidak bisa menjelaskannya.
Bayang-bayang Aruna yang tersenyum dan berlari dengan gembira memenuhi kepalanya.
Dan semua itu mungkin akan hilang.
••••
"Pria itu baru saja keluar karena narkoba. Dia juga pernah di penjara karena kasus tabrak lari. Saya masih berusaha mencari tau, apakah dia memiliki hubungan dengan Aditya atau tidak."
Angkasa terdiam ketika mendengar apa yang baru saja Bima sampaikan padanya. Sudah tiga hari sejak kejadian itu berlangsung. Orang yang menjadi penyebab kecelakaan ini pun sudah ditangkap dan berada di kantor polisi, tapi tetap saja Angkasa masih mencurigai seseorang.
Ia pun menanyakan pada Agatha, apakah mobil yang menabrak mobilnya itu adalah mobil yang sama yang mengikutinya atau bukan?
Agatha mengatakan bahwa itu mobil yang sama. Karena itu Angkasa menduga jika ini adalah perbuatan Aditya yang sengaja ingin mencelakai dirinya.
"Sudah seminggu ini juga Aditya pergi berlibur ke Singapura," kata Bima lagi.
"Cari tau apakah pria itu pernah bertemu dengan Aditya atau tidak," pinta Angkasa.
"Iya, Pak. Anda jangan khawatir, saya akan segera mencari tau kebenarannya. Untuk sekarang anda bisa fokus dulu pada kesembuhan putri anda dan menyerahkan masalah ini pada saya hingga selesai sepenuhnya," kata Bima yang membuat Angkasa mengucapkan terima kasih.
"Aditya adalah orang yang ceroboh, kalau ini semua memang dia rencanakan pasti ada sesuatu yang bisa kita dapatkan," kata Bima lagi.
Angkasa pun membenarkan perkataannya. Sejak dulu Aditya memang orang yang sangat ceroboh. Karena itu Angkasa selalu mengetahui kesalahan-kesalahan yang ia lakukan ketika mereka masih menjalankan perusahaan bersama-sama.
Dan jika sampai ini semua benar direncanakan...., entah apa yang akan Angkasa lakukan pada pria itu.
Angkasa baru saja ingin bicara ketika ponselnya berdering. Tanpa menunggu lama ia langsung melihatnya dan ternyata itu adalah pesan dari Agatha.
Saat membaca pesan itu Angkasa langsung berdiri dan bergegas kembali ke ruang rawat anaknya karena saat ini mereka berada di kantin rumah sakit.
Agatha :
Kakak, Aruna sudah sadar.Aruna sudah buka mata kembali.
Setelah tiga hari Angkasa menantikan kabar ini akhirnya Aruna bangun. Anaknya sudah membuka matanya lagi. Angkasa berlari secepat yang ia bisa menuju ruang rawat sang anak.
Ia langsung masuk begitu sampai. Dengan nafas terengah-engah Angkasa menatap ke arah ranjang dimana Aruna terbaring dan sedang diperiksa keadaannya oleh dokter.
Mata Angkasa berkaca-kaca. Ia mendekat begitu dokter selesai memeriksa keadaan Aruna yang baru saja sadar. Angkasa menatap sang anak yang sekarang melihat ke arahnya juga.
Binar dimatanya hilang. Pandangan Aruna masih terlihat kosong hingga Angkasa ingin menangis. Bawah mata, dahi, pipi dan dagu anak itu terlihat luka yang membuat Angkasa tidak berani untuk menyentuh wajahnya.
"Aruna..., anak Papa."
Suara Angkasa sampai bergetar ketika memanggilnya. Ia melihat Aruna yang hanya memandangi wajahnya. Aruna masih belum bisa merespon semua perkataannya, tapi anak itu terus menatapnya.
"Maaf... Papa minta maaf," ucap Angkasa sambil menggenggam tangan Aruna dengan hati-hati.
Angkasa sampai menunduk ketika ia tidak bisa menahan dirinya untuk tidak menangis. Melihat keadaan Aruna membuat dadanya sesak bukan main.
Jika melihatnya saja Angkasa bahkan tidak sanggup, lantas bagaimana caranya Ia memberitahu hal itu pada Aruna?
Bagaimana Ia bisa mengatakan jika Aruna tidak bisa lagi berjalan atau berlarian?
Aruna masih belum bisa menanggapi. Anak itu hanya memandang sang ayah yang menangis dengan hebat di sampingnya. Dia hanya bisa melihat neneknya yang datang dan memenangkan ayahnya lalu membawanya keluar dari sini.
Lalu Aruna melihat ke arah Agatha yang sekarang ikut menggenggam tangan kecilnya.
Sedangkan di luar sana, Evelyn yang berhasil membawa anaknya keluar langsung memeluk dan memenangkannya. Dia meminta Angkasa untuk berhenti menangis setidaknya di hadapan Aruna.
"Angkasa, dengarkan Mama." Evelyn melepaskan pelukannya dan menangkup wajah anak laki-lakinya itu.
"Aruna akan baik-baik aja. Kita ada bersamanya. Kita harus memberikan semangat untuk Aruna supaya dia tidak semakin sedih," kata Evelyn yang membuat Angkasa langsung menghapus air matanya.
"Kita akan cari pengobatan terbaik untuk Aruna. Sekarang kita harus beri dia semangat dan jangan membuat dia semakin sedih. Angkasa, kita masih bisa berdo'a dan berusaha. Jangan putus asa." Evelyn mengusap pelan kepala anaknya.
Angkasa tersenyum tipis dan menganggukkan kepalanya. Ia menghela nafasnya panjang sebelum kembali masuk ke dalam sembari menghapus air matanya.
Langkahnya semakin mendekat pada Aruna yang sekarang melihat ke arahnya. Melihat kedatangannya, Agatha pun segera berdiri dan membiarkan Angkasa untuk kembali menghampiri Aruna.
Angkasa kembali duduk. Ia meraih tangan sang anak dan menciumnya dengan sayang. Kemudian membawa tangan kecil itu ke pipinya sambil berusaha untuk tersenyum.
Angkasa dapat melihat Aruna yang tersenyum tipis dan terlihat seperti ingin berbicara.
"Kenapa, sayang? Ada yang sakit?" tanya Angkasa sambil memastikan keadaan anaknya.
Dan satu kata terucap dari bibirnya dengan suara yang teramat pelan hingga nyaris tak terdengar.
"Papa.."
••••
Halooo hehehehehehe
Gais gaissss kayaknya aku mau tamatin cerita ini malam minggu atau hari minggunya, karena partnya emang hanya tinggal beberapa lagi aja😗
Sampai mau ke ending partnya tuh ☹️😔🥺 kalo endingnya... hmmm ada deh rahasia hahahaha
Jangan lupa vote dan comment kalo mau besok update lagiiii👊
KAMU SEDANG MEMBACA
Thank You, Papa
Teen Fiction"Kalau Mama sayang sama Aruna, kenapa Mama pergi?" Ini tentang Angkasa Narendra yang harus membesarkan anaknya seorang diri setelah kematian istrinya. Menolak untuk mencari pengganti istrinya Angkasa memilih untuk menjadi seorang Ayah dan Ibu untuk...