32 : Janji Angkasa

2.4K 155 14
                                    

Angkasa mengepalkan tangannya kuat-kuat ketika Bima menyampaikan bahwa apa yang menimpa Aruna adalah ulah dari Aditya yang sebenarnya mengincar dirinya. Orang itu berpikir bahwa yang ada di dalam mobil adalah dia dan bukan Aruna, mereka berniat mencelakai dirinya.

Angkasa tidak bisa menahan gejolak emosi dalam dirinya. Setelah mengetahui hal ini rasa bersalahnya pada Aruna semakin besar. Karena dirinya, Aruna harus mengalami hal yang begitu buruk.

"Brengsek! Dimana pria itu sekarang?! Kita sudah punya cukup bukti untuk menangkapnya?" tanya Angkasa marah.

Bima menganggukkan kepalanya. Ia pun menunjukkan sesuatu yang sudah berhasil Ia dapatkan pada Angkasa.

"Ini percakapan antara Aditya dan pria itu di chat. Kemudian ini juga ada foto ketika mereka berdua bertemu dan bukti transfer Aditya ke rekening pria itu," kata Bima yang membuat Angkasa benar-benar ingin membanting apapun yang ada di dekatnya sekarang.

"Saya juga dapat informasi jika Aditya pulang hari ini dari Singapura," ungkap Bima lagi.

"Pria sialan itu. Setelah apa yang aku lakukan, berani sekali dia melakukan ini pada putriku," kata Angkasa geram.

Kedua tangannya mengepal kuat. Raut wajahnya menggambarkan amarah yang dapat meledek dalam sekejap.

"Dia bahkan pergi berlibur setelah melakukan semua ini?! Pria brengsek itu, seharusnya sejak dulu aku biarkan saja dia di penjara," ucap Angkasa.

Ia pun berdiri dan membuat Bima langsung melakukan hal yang sama. Angkasa pergi dari tempat itu dengan amarah yang menguasai dirinya.

Jika bertemu dengan Aditya, entah apa yang akan Angkasa lakukan pada pria itu.

••••

"Aruna, makan dulu, ya."

Evelyn berusaha membujuk cucunya untuk menyantap makan siang, tapi Aruna terus menolak. Setelah dua minggu mendapatkan perawatan di rumah sakit, kemarin Aruna sudah diperbolehkan untuk pulang dan disinilah ia berada sekarang.

Sudan satu minggu ini Aruna lebih banyak diam. Anak itu sering melamun sambil memandangi kedua kakinya, tapi ia tidak mengatakan apapun. Terutama ketika ada Angkasa, setiap kali berada di dekat ayahnya ia akan banyak tersenyum.

Berbeda ketika hanya ada Evelyn dan Agatha yang bersamanya. Aruna akan lebih banyak murung dan terlihat sedih ketika melihat kedua kakinya. Sekarang mereka berada di halaman belakang rumah dengan Aruna yang duduk di kursi roda.

"Aruna, makan dulu. Setelah makan kita minum obat lalu istirahat," kata Evelyn dengan penuh kelembutan.

Aruna tidak menanggapi. Anak itu memegangi kakinya dan enggan untuk menyantap makan siangnya.

"Aruna."

"Nenek."

Aruna pun membuka suaranya. Ia menatap Evelyn dengan sendu yang membuat senyum Evelyn pun ikut hilang.

"Nenek, aku sudah sembuh. Aku sudah tidak sakit, tapi kenapa kaki aku masih sakit? Kenapa dia masih tidak bisa gerak?" tanya Aruna dengan mata berkaca-kaca.

Evelyn tersenyum seraya mengusap sayang kepala anak itu. Mereka memang belum memberitahu hal itu, lebih tepatnya Angkasa melarang mereka untuk memberitahu Aruna kebenarannya.

"Nenek, aku enggak bisa berjalan lagi? Aku bakal seperti anak yang pernah aku temui di panti waktu itu? Yang pakai kursi roda juga?" tanya Aruna lagi.

"Enggak sayang. Aruna nanti sembuh. Aruna akan bisa berjalan lagi, tapi Aruna harus sabar. Sekarang Aruna makan, ya." Evelyn berusaha memberikan jawaban sebisanya.

Thank You, PapaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang