Pagi ini Aruna terlihat begitu bersemangat untuk menghadiri acara perpisahan sekolahnya. Meskipun masih harus duduk di kursi rodanya dan batal tampil membawakan tarian tradisional bersama teman-temannya, tapi anak itu tetap bersemangat untuk datang.
Berbeda dengan Angkasa yang merasa sebaliknya. Ia jadi ingat Aruna yang pernah menceritakan kalau nanti saat perpisahan akan tampil bersama teman-temannya dengan penuh semangat. Sekarang melihat Aruna yang duduk di kursi roda membuat Angkasa menyalahkan dirinya lagi dan lagi.
Sepanjang perjalanan menuju sekolah Angkasa hanya diam sambil menggenggam tangan kecil anaknya. Tidak ada kalimat yang ia keluarkan, begitu juga dengan Aruna yang diam dengan wajah bahagia. Anak itu tersenyum lebar, bahagia karena akan segera masuk sekolah dasar yang artinya ia sudah besar.
"Papa.."
Hingga anak itu memanggilnya ketika mereka sudah sampai. Angkasa yang sejak tadi melamun tersentak dan langsung menatap anaknya yang tersenyum.
"Papa melamun," katanya yang membuat Angkasa tersenyum sambil mengusap pelan kepalanya.
"Maaf, sekarang kita turun, ya." Angkasa bicara dengan penuh kelembutan pada sang anak.
Aruna pun mengangguk patuh. Ia menatap sang ayah yang sekarang menggendongnya dan membantunya untuk naik ke kursi roda. Sebelum membawa anaknya masuk, Angkasa lebih dulu menunduk dan meraih kedua tangan kecil itu.
Dia menggenggamnya dengan sayang. Kemudian Angka juga mengusap lembut puncak kepala anaknya yang membuat anak itu tersenyum manis.
"Anak Papa sudah besar ternyata," katanya yang membuat Aruna tersenyum semakin lebar.
Dia suka ketika ada yang mengatakan bahwa sekarang ia sudah besar.
"Hari ini Aruna harus senang-senang bersama teman-teman dan ibu guru," kata Angkasa yang dijawab dengan anggukan oleh anaknya.
Baru setelah itu ia membawa Aruna masuk ke dalam. Angkasa mengedarkan pandangannya ke arah para orang tua dan anak-anak lain yang sudah hadir lebih dulu. Perasaan sesak kembali menghampirinya ketika melihat teman-teman Aruna yang sedang bersiap-siap untuk tampil.
Angkasa menunduk untuk menatap anaknya dan yang ia lihat hanya Aruna yang tersenyum. Tidak ada sedikitpun raut wajah sedih yang tergambar di sana.
"Arunaa!"
Saat melihat kedatangan Aruna, teman-temannya langsung melambaikan tangan mereka dan berlarian menghampirinya. Diikuti dengan Fani, guru mereka yang sedari tadi membantu anak didiknya untuk bersiap-siap.
Aruna ikut melambaikan tangannya dengan penuh semangat. Mereka semua mengelilingi Aruna yang membuat Angkasa tak bisa menahan senyumnya.
Mungkin anak-anak ini sering kali bertengkar atau berdebat, tapi itu hal yang wajar untuk anak seusia mereka. Meskipun begitu setiap kali diberikan pengertian tentang perkataan atau perbuatan mereka yang salah, mereka pasti akan meminta maaf dan mengerti kesalahannya.
Mungkin beberapa kali teman-temannya itu mengatakan hal yang kurang menyenangkan bagi Aruna, tapi Aruna tidak lagi mempermasalahkan hal itu. Dia lebih memilih untuk mengingat segala kenangan baik bersama dengan teman-temannya, lagipula mereka sudah minta maaf.
"Papa duduk saja. Aku sama Ibu guru dan teman-teman," kata Aruna sambil menggenggam tangan Angkasa.
Angkasa pun terdiam selama beberapa detik, tapi setelah itu ia tersenyum dan menganggukkan kepalanya sebagai jawaban.
Sebelum pergi Angkasa menyempatkan dirinya untuk mencium kedua pipi serta kening anaknya. Baru kemudian dia pergi dan duduk bersama dengan wali murid lain yang sama-sama menghadiri acara ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Thank You, Papa
Teen Fiction"Kalau Mama sayang sama Aruna, kenapa Mama pergi?" Ini tentang Angkasa Narendra yang harus membesarkan anaknya seorang diri setelah kematian istrinya. Menolak untuk mencari pengganti istrinya Angkasa memilih untuk menjadi seorang Ayah dan Ibu untuk...