•••
"Selamat pagi, Kak Aksa!"
Aksa enggan menoleh meski Renjani telah berulangkali memanggil namanya, mengikuti setiap langkahnya, bahkan sampai bercerita mengenai hal-hal random yang terjadi pada dia.
"Eh tau gak? Kemaren aku beli perlengkapan lukis. Nanti ajarin melukis ya, Kak? Tapi gak maksa harus secepatnya kok, kamu pasti sibuk, aku tau."
"Omong-omong nih, Kak, aku suka banget sama batagor. Bisa lah ya kapan-kapan ngajak jajan bareng. Tapi gak maksa harus cepet kok, aku tau kamu sibuk."
"Tau gak sih, ada film yang lagi booming banget, suatu saat ajakin ke bioskop ya, Kak? Eh, tapi kalo mau genre atau judul yang lain bisa kok. Aku pasti mau, atau gimana kalo aku yang beli tiketnya? Tapi gak maksa cepet-cepet nontonnya kok, kamu pasti sibuk."
"Ada promo diskon buat couple loh, Kak. Lumayan kan?"
"Oh iya, nanti makan siangnya pake apa? Mau kubeliin gak?"
"Selain batagor, aku juga suka bakmi. Gimana kalo nanti makan siangnya pake bakmi aja? Bisa order GoFood loh, Kak."
"Katanya, Kak Aksa lagi bikin galeri seni mini ya? Butuh orang buat bantuin gak? Aku bisa loh, Kak. Nih ya, aku bisa angkat galon, ngepel lantai, cuci baju, beberes pokoknya, ya apa aja deh. Kalo butuh pembantu di rumah aku juga bisa, Kak. Tapi part time ya ga bisa full sehari, kan kuliah. Hehe."
"Ck!"
Aksa berdecak sambil menatap Renjani tajam, dia juga menghentikan langkahnya. Membuat Renjani yang dari tadi mengekornya kini mendadak ikut terdiam.
Kepala Aksa seperti hendak meledak. Sudah tiga hari belakang, dia tidak bisa tidur dengan nyenyak bahkan jam tidur hariannya hanya cuma 3 jam.
Dan setiap hari, setiap pagi, Renjani tidak pernah absen menemuinya. Dia melakukan hal seperti ini hampir setiap waktu.
Meskipun tidak pernah digubris, Renjani juga pantang menyerah.
Aksa menarik nafasnya dalam-dalam, berusaha untuk tidak mengeluarkan amarah, "bisa bantu gue?"
Renjani memberi hormat, "siap 86! Mau dibantu apa, Kak? Siapin galeri mini? Beberes rumah? Orderin makanan lewat online? Atau mau dimasakin? Pokoknya pasti kelar deh, apa sih yang nggak buat Kak Aksa, hehe."
"Gue mau lo diem. Bisa?"
Renjani langsung kicep, dia mendadak tidak bisa berkata-kata.
"Hah?"
Dia sebenarnya tahu apa yang dimaksud Aksa. Renjani hanya ingin memastikannya untuk sekali lagi.
"Bisa diem?"
•••
Menenteng gitar kesayangannya, Maheesa berjalan menyusuri pelataran parkir. Pemuda dengan rambut yang terbiasa acak-acakan itu harus mengikuti kelas pagi, mau tak mau dia berangkat lebih awal dari biasanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Titik Nol Kilometer Yogyakarta ✓
Teen Fiction[SUDAH DIBUKUKAN] ❝Semenjak kamu pergi, definisi rumah yang hangat juga ikut menghilang. Tidak ada lagi yang memberi tempat berteduh kala hujan desember datang, tidak ada lagi yang mengobati goresan lukaku dengan plester cokelat muda yang selalu kam...