•••
Seharian ini, setelah memutuskan untuk absen dari kuliah. Maheesa menepati janjinya mengajak Renjani hunting kuliner legendaris di Jogja. Mereka berkeliling kota mengunjungi berbagai tempat kuliner yang punya cita rasa otentik. Lalu tak segan untuk berhenti makan di tempat. Terhitung sudah lima kali, mulai dari sate klathak, gudeg pawon, gorengan pisang dan mendoan yang menggugah selera, wedang ronde, dan bahkan bakpia! Karena lagi-lagi bakpia adalah camilan favorit mereka berdua.
"Perut kamu masih kuat nampung lagi, nggak?"
Renjani terkekeh, ia mengusap-usap perutnya yang sudah membuncit. "Udah kenyang banget, tapi aku belum puas."
"Jangan dipaksa nanti meledak perutnya. Itu keliatan begah banget, masih bisa jalan, 'kan?"
"Bisa. Aduh, tapi aku belum nyobain es jaipong, kita beli ya. Habis ini janji gak minta lagi."
Maheesa mengangguk, kemudian dia merasa tergelitik saat melihat Renjani sangat antusias untuk mengisi perutnya yang jelas-jelas sudah membuncit. "Abisin dulu wedang rondenya."
Mendengar itu, Renjani buru-buru menghabiskan wedang rondenya. Perempuan itu menyengir---menunjukan deret giginya, kelihatan menggemaskan sampai-sampai Maheesa sempat berpikir ingin meraup pipi Renjani yang kenyal. Pemuda itu ikut melayangkan senyuman hangat, sama seperti hatinya yang kian menghangat kala melihat senyuman sang puan.
Dari kebanyakan perempuan yang pernah Maheesa kenal, Renjani satu-satunya perempuan yang apa adanya. Dalam artian sederhana, ia tak pernah menuntut Maheesa untuk membawanya ke kafe setiap hari, alih-alih itu, Renjani lebih suka diajak hunting kuliner malam mencicipi berbagai makanan dari pedagang kaki lima pinggir jalan. Katanya sih gorengan abang-abang lebih menggoda. Renjani menghargai Maheesa dengan menghabiskan makanan yang mereka beli tanpa sisa.
"Pelan-pelan, itu belepotan." Maheesa lantas mengusap sekitar mulut Renjani yang basah dengan kain dari lengan panjang yang ia kenakan.
Dalam jarak yang sedekat itu, Renjani lagi-lagi jatuh dalam manik sejernih telaga milik Maheesa Partha, tatapan yang amat sangat meneduhkan sampai-sampai ia gak mau berpaling dari sana. Maheesa punya mata yang unik, selalu terlihat berbinar-binar dengan bulatan hampir sempurna layaknya bulan purnama. Sejenak ia menegang atas perlakuan Maheesa yang tiba-tiba. Renjani tak berkutik sampai akhirnya celetukan dari seseorang mengalihkan perhatian mereka berdua.
"Mas Mbak semoga langgeng ya pernikahannya. Samawa alias saqinah mawadah warahmah. Saya doain jabang bayi yang ada di perut Mbaknya bisa lahir dengan selamat dan diberi kelancaran."
Mereka berdua dibuat terkejut setengah mati.
Belum sempat Renjani menyanggah perkataan si penjual wedang ronde---seorang bapak-bapak tua berumur lima puluh tahun ke atas---Maheesa malah justru mengamini doa pak tua tersebut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Titik Nol Kilometer Yogyakarta ✓
Teen Fiction[SUDAH DIBUKUKAN] ❝Semenjak kamu pergi, definisi rumah yang hangat juga ikut menghilang. Tidak ada lagi yang memberi tempat berteduh kala hujan desember datang, tidak ada lagi yang mengobati goresan lukaku dengan plester cokelat muda yang selalu kam...