•••
Maheesa memejamkan mata begitu tenang, layar monitor menunjukkan garis lurus melintang. Tak lama para petugas medis datang untuk berupaya mengembalikan detak si Partha.
"Detak jantung pasien melambat, aliran darah di otaknya terhambat, siapkan defibilator sekarang juga!"
"120 Joule, shock!"
Tubuh pemuda itu terlonjak begitu defibrilator memberikan simulasi energi listrik. Sang dokter berusaha mengembalikan detaknya. Namun, tak ada respon apa pun.
"150 Joule, shock!"
Grafik EKG yang ada pada layar monitor masih melintang lurus. Tak pantang menyerah, dokter langsung turun tangan dan melakukan CPR. Mereka membaringkan tubuh si pemuda di atas permukaan yang datar lalu menekan dadanya dengan kecepatan satu sampai dua tekanan per detik.
Peluh keringat bercucuran, suasana makin terasa tegang. Para petugas medis telah berusaha semampu mereka. Bermenit-menit setelahnya tetap tak ada respon.
Dengan berat hati, dokter kini menjauh dari tubuh si Partha, ia menatap Jendra---seakan tatapannya memberitahukan segalanya. Iya, sudah waktunya mengikhlaskan.
"Maheesa Partha Omkara, waktu kematian Selasa 2 Februari 2022 pukul 22.55 WIB."
Jendra meluruh, ia menumpahkan tangis yang terdengar begitu menyakitkan. Pemuda itu memukul dadanya dengan keras.
Maheesa telah berpulang.
Bersama Varshana Ayudia, dalam keabadian.
Meninggalkan banyak pesan untuk dikenang.
Maheesa bilang, ia tak mau dikasihani, sebab sekarang, dia adalah manusia paling bahagia di sini. Bahagia karena memiliki mereka, adik-adiknya, Renjani Kasihnya begitupula Rajendra.
Dengan langkah sempoyongan, Jendra keluar dari ruangan. Ia sontak saja menjadi pusat perhatian. Semua orang yang kebetulan berada di luar ruangan menatap penuh tanda tanya. Sebagian dari mereka sepertinya telah menerka apa yang telah terjadi. Sebuah mimpi buruk, atau barangkali kenyataan yang pahit.
"Maheesa, sudah berpulang."
Sementara itu, setelah berhasil membeli sekotak bakpia, Renjani keluar dari toko di seberang sana. Ia mendongak ke atas, malam ini bintang bertaburan dengan indah, bulan purnama terang benderang.
"Ah, andai kak Heesa bisa lihat bulan seindah ini, aku jamin setelah itu dia pasti gombal begini, "Dek Renjani, kamu mau tau apa bedanya aku sama bulan? Kalau bulan menerangi jagat raya, kalau aku menerangi hatimu" hahahaha, jadi kangen gombalan dia. Sebenarnya bisa ketebak sih, cuman lucu." monolog Renjani. Ia sempat memperagakan gaya bicara Maheesa yang unik. Perempuan itu tergelak, ia tak sabar untuk segera menemui Maheesa dan membawakannya bakpia favorit mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Titik Nol Kilometer Yogyakarta ✓
Teen Fiction[SUDAH DIBUKUKAN] ❝Semenjak kamu pergi, definisi rumah yang hangat juga ikut menghilang. Tidak ada lagi yang memberi tempat berteduh kala hujan desember datang, tidak ada lagi yang mengobati goresan lukaku dengan plester cokelat muda yang selalu kam...