•••
"Shana?"
Maheesa dibuat linglung, ia tak tahu mengapa tiba-tiba dirinya berada pinggiran pantai. Di depan sana, ada seorang perempuan tengah berdiri seolah menantinya dari lama, melambaikan tangan seakan menyambutnya datang. Dia adalah sosok yang sudah lama Maheesa rindukan.
"Kenapa? Terkejut ya?"
Mendengar itu, Maheesa mengangguk. Sementara Shana tampak tergelak, ia benar-benar terlihat sangat rupawan apalagi saat rambutnya diterpa dersik angin, sungguh rasanya Maheesa begitu bahagia saat bisa kembali melihat tawa Shana.
"Kamu ingat gak? Dulu waktu kamu temenin aku main piano di kelas musik, kamu pernah tanya gimana kalau di masa depan nanti salah satu dari kita harus pergi? Lantas aku jawab, lebih baik aku yang pergi terlebih dahulu. Sebab bila kamu yang duluan pergi rasanya aku gak sanggup, bahkan aku gak tahu harus bagaimana kalau itu terjadi. Dan rupanya Tuhan kabulkan doaku." kata Shana, Maheesa bahkan hampir tak mengingatnya lagi. Jadi, benar ya istilah ucapan adalah doa?
"Tapi setelah aku pergi justru kamu yang menderita. Maaf ya, membiarkan kamu sendiri menyimpan rasa sesak di hati. Selama empat tahun ini, kamu sudah melewati semuanya dengan baik. Bahkan kamu telah menebus semua kesalahanmu. Dan dari lama aku sudah memaafkan kamu, Maheesa."
Maheesa tak bersuara, ia masih sibuk mengamati wajah Shana yang sangat amat ia rindukan.
"Jadi, tugasmu telah selesai, waktunya kamu beristirahat sekarang."
•••
"Kak, ayo bangun."
Aroma obatan-obatan merangsak masuk ke indra penciuman Renjani, bunyi monitor jantung seakan menjadi alunan lagu terburuk yang pernah ia dengar. Perlahan dia menggenggam tangan si Partha yang rupanya tengah asik memejamkan mata, melihat kondisi Maheesa yang menyedihkan---beberapa lebam dengan semburat hijau kebiruan, bekas jahitan di kepala, juga alat-alat yang menopang hidupnya membuat hati Renjani semakin sakit seperti diremas tanpa henti.
"Dunia jahat banget sama kamu, ya?"
Entah sudah seberapa banyak Renjani menitihkan air mata, ia tak mampu menghentikannya. Dia genggam tangan Maheesa dan menaruhnya di pipi untuk memberi kehangatan di sana. Sebab tangan Maheesa benar-benar dingin. Renjani bisa melihat begitu banyak goresan yang tercipta, beberapa goresan melintang dilengan ada yang samar juga ada yang masih basah---memberi banyak pertanda kalau Maheesa memang sering menyakiti dirinya sendiri, selama ini ia tak baik-baik saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Titik Nol Kilometer Yogyakarta ✓
Teen Fiction[SUDAH DIBUKUKAN] ❝Semenjak kamu pergi, definisi rumah yang hangat juga ikut menghilang. Tidak ada lagi yang memberi tempat berteduh kala hujan desember datang, tidak ada lagi yang mengobati goresan lukaku dengan plester cokelat muda yang selalu kam...