•••
Suara deru motor terdengar samar ketika sang empunya memarkirkan kendaraannya di depan kosan Maheesa. Iya, Jaki---lelaki itu tidak pernah absen berkunjung ke sini selama lima hari berturut-turut untuk sekedar menanyakan apakah Maheesa sudah makan atau bertanya mengenai bagaimana keadaannya saat ini.
Meskipun pertanyaannya hanya dibalas bungkam seolah-olah Jaki bertanya pada angin. Tidak ada jawaban.
Meskipun kehadirannya seakan tidak digubris dan dibukakan pintu.
Tok tok tok!
"Bang Mahee, bukain pintunya tolong."
"Sebelum pintunya dibuka, gue gak akan beranjak dari sini."
DUAARR !!!
Bertepatan saat Jaki mengucapkan itu, suara petir menggelegar dashyat, memenuhi gendang telinganya. Pemuda itu terperanjat kaget sambil mengelusi dada. Tak lama kemudian, tetes demi tetes hujan turun membasahi Bumi Jogja. Semakin lama, semakin deras.
Jaki mengetuk-ngetuk pintu lagi, berharap Maheesa mau membukanya dan mempersilahkan ia masuk. Semoga saja dengan turunnya hujan, Maheesa jadi merasa iba.
"Bang! Seenggaknya jawab dulu, Abang udah makan atau belum? Jaki cuma khawatir, dari kemaren pasti perutnya gak diisi 'kan? Ini ada makanan di depan gak tersentuh sama sekali sampai basi. Tolonglah Bang, mau sampai kapan begini terus?"
"Semua orang nyariin Abang. Kita semua khawatir."
Jaki menyenderkan tubuhnya ke pintu, hawa dingin hujan seketika membuatnya bergidik ngilu. Sementara itu, Maheesa tengah memeluk dirinya di balik pintu. Dia sedari tadi tahu keberadaan Jaki, namun alih-alih membuka pintunya, Maheesa memilih untuk terdiam membisu.
"Abang gak pernah cerita apapun ke kita. Entah itu tentang masa lalu, atau masalah yang lagi Abang hadapi. Padahal kata Abang, kita semua harus bisa terbuka satu sama lain. Pembohong. Nyatanya Abang yang paling tertutup dari kita."
"Kita semua manusia terluka Bang, kita semua punya takdir hidup yang rumit. Maka dari itu, alih-alih saling menyimpan luka, kenapa kita nggak saling mengobati satu sama lain?"
"Jaki gak maksa Abang buat membongkar semua hal yang Abang tutupi. Tapi seenggaknya, kalau memang butuh pendengar, Jaki siap jadi pendengar."
"Karena menjadi yang paling tua bukan berarti paling kuat. Kita semua tahu, Abang cuma pengen jadi rumah terhangat buat kita, tapi kita gak mau rumah itu penuh dengan dusta."
"Hidup kadang emang serumit ini."
Setelah tiga puluh menit berkutat dengan kebisuan dan seolah berdialog sendiri, Jaki hanya bisa menghela nafas berat. Dia menatap sendu hujan yang tengah turun. "Desember ternyata se-menyakitkan ini ya, Bang?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Titik Nol Kilometer Yogyakarta ✓
Teen Fiction[SUDAH DIBUKUKAN] ❝Semenjak kamu pergi, definisi rumah yang hangat juga ikut menghilang. Tidak ada lagi yang memberi tempat berteduh kala hujan desember datang, tidak ada lagi yang mengobati goresan lukaku dengan plester cokelat muda yang selalu kam...