•••
Satu hari di penghujung bulan Desember, Maheesa terbangun lagi karena mimpi buruknya. Perihal kehilangan yang tak kunjung usai, perihal ia yang belum bisa sepenuhnya merelakan. Mungkin, memang benar waktu bisa menyembuhkan luka. Namun, waktu tak bisa ajak hati untuk melupa.
Ia terbangun lagi, di antara sepi---hanya pikiran yang ramai di kepala. Maheesa seringkali mengutuki diri sebab tak bisa kembali ke masa lalu untuk mengubah alur kisah semesta. Namun, apa dikata jika nasi sudah menjadi bubur?
Peluh keringat membasahi tubuh pemuda itu, dengan nafas yang tersengal-sengal, ia perlahan merogoh botol obat yang ada di laci. Lantas menelan dua pil tanpa air.
Maheesa melirik ke arah jam dinding yang terpasang di sudut kamar. Waktu menunjukkan pukul tiga pagi. Berusaha menarik nafas dalam-dalam, pemuda tersebut perlahan mengelus dadanya---berharap sesak yang bercokol di sana kian berkurang.
"Ya Tuhan ..."
Hampir sama seperti mimpi-mimpi buruk yang sebelumnya, ia terjebak dan berada dalam ruangan gelap. Hanya cahaya yang menyoroti ke mana kakinya melangkah, lantas kemudian suara-suara aneh mulai bermunculan. Dan di depan matanya, seolah ditayangkan insiden masa lalu yang paling kelam. Kecelakaan itu seolah ditampilkan kembali, membuat Maheesa berusaha sekuat mungkin untuk menutup telinganya. Namun, nihil. Suara-suara itu bukan dari luar, melainkan ada dalam dirinya.
Setelah itu, entah dari mana sosok Shana muncul dihadapannya dan berkata, "Rasakan! Rasa penyesalan itu akan terus menghantuimu sampai kamu tercekik olehnya. Kamu pantas mendapat hukuman itu. Sampai kapanpun, kamu tidak berhak bahagia, Maheesa Partha Omkara!"
Pemuda itu masih ingat dengan jelas bagaimana raut kecewa Shana, dalam mimpinya ingin sekali ia bersimpuh dan meminta maaf, menggumamkan kata maaf bahkan sampai seribu kali. Kendati itu hanyalah mimpi.
Suara derasnya hujan terdengar samar, semalaman Bumi Jogja kembali diguyur bahkan sampai waktu menunjukkan pukul empat tidak ada tanda-tanda hujan reda. Suara petir pun menggelegar---menambah kesan tak nyaman bagi Maheesa.
Di dalam kamar yang temaram berbekal cahaya dari lampu tidur, serta kipas angin yang dibiarkan menyala semalaman, Maheesa mengais-ngais tumpukan piringan hitam dan menyetelnya di vinyl player yang sudah ia miliki sejak tahun 2016. Album berjudul Born to Die dari Lana Del Rey menggema di ruangan, ikut berbaur dalam suara derasnya hujan.
Menutup mata rapat-rapat, pemuda itu menghela nafas, berharap bahwa hari ini tak seburuk yang ia kira.
"Sampai kapan ini semua berakhir ya, Shan?"
•••
Sekitar pukul sembilan pagi, lagu Every Summertime yang disetel pada speaker seolah menari-nari dalam kamar Renjani. Perempuan itu tengah mengeringkan rambut dengan hair dryer sambil menyanyi, sedikit meliuk-liukkan tubuh mengikuti irama lagu yang terdengar begitu riang. Tak lama kemudian, pintu kamarnya dibuka, Adisthi datang dengan muka khas bangun tidurnya sembari mengempit kaleng keripik.
KAMU SEDANG MEMBACA
Titik Nol Kilometer Yogyakarta ✓
Teen Fiction[SUDAH DIBUKUKAN] ❝Semenjak kamu pergi, definisi rumah yang hangat juga ikut menghilang. Tidak ada lagi yang memberi tempat berteduh kala hujan desember datang, tidak ada lagi yang mengobati goresan lukaku dengan plester cokelat muda yang selalu kam...