Ketika menginjak umur delapan belas tahun, Maheesa sempat mendapat wejangan dari mendiang sang mama, beliau pernah bilang. "Takdir memang sudah digariskan, tetapi bukan berarti tak bisa kita ubah. Jika kamu menginginkan takdir yang baik maka jalan satu-satunya adalah memohon kepada Sang Pencipta."
Jika memang benar, Maheesa akan meminta kepada Tuhan---tidak muluk-muluk---hanya sebuah permintaan agar ia bisa segera menyelesaikan semua masalah yang mendera.
Sebelum waktu yang ia punya habis tak bersisa.
•••
Malam kemarin, di perjalanan pulang seusai bekerja di coffeshop yang menyita waktunya sampai jam sembilan malam, Nadira memutuskan untuk berjalan kaki. Kebetulan ponselnya mati jadi dia tidak bisa memesan gojek online dan sayangnya tak ada yang rela memberikan tumpangan untuknya pulang. Jadi mau tidak mau ia melakukan itu, untungnya jarak dari coffeshop ke rumahnya tidaklah terlalu jauh.
Jalanan basah bekas hujan sore tadi menyebabkan genangan air di mana-mana. Pun angin dingin yang ikut menusuk tulang.
BRUK!
Beberapa waktu kemudian, langkahnya sontak terhenti. Ia mendongak untuk melihat siapa orang yang tengah menghalangi jalannya dengan tiba-tiba.
Napas Nadira sempat tercekat, ia mengepalkan tangan begitu melihat siapa sosok yang ada di depannya.
Meski sudah bertahun-tahun tak bersua, Nadira masih ingat betul siapa sosok di depannya. Tentu, bagaimana bisa ia melupakan seseorang yang menjadi dalang atas semua kejadian yang telah lama terjadi.
Di hadapannya kini, ada seorang perempuan sedang memangku tangan di dada sambil memasang muka yang menurutnya sangat menyebalkan, sampai-sampai ia ingin muntah saat itu juga.
"Wah wah wah, kebetulan banget bisa ketemu. Gimana kabar lo?" ujar perempuan tersebut.
Belum sempat Nadira ingin mencerca, sang lawan bicara malah menyela. "Kayaknya sih lo gak baik-baik aja ya. Itu muka apa wajan bekas? Kucel banget. Habis nguli apa gimana tuh?"
Mendengar itu, kepala Nadira rasanya tersedot, darahnya ikut mendidih. "Gak usah pake basa-basi segala! Sejak kapan kita kenal?" ujarnya sarkas.
"Masa lo lupa sih, kita alumni dari SMA yang sama loh."
"Haha, baru inget. Si cewek bermuka dua, playing victim, sombongnya next level, si merasa dirinya paling cantik padahal tampangnya kayak pantat babi. Dasar setan! Berani-beraninya lo menampakkan diri di hadapan gue."
Mendengar ucapan Nadira, ia justru malah tertawa sambil memainkan kukunya yang dipoles cat berwarna merah. "Sebetulnya gue bukan mau ketemu lo. Cuma mau tau di mana alamat Maheesa sekarang tinggal."
Nadira sontak berdecih. "Cari sendiri sana! Dia udah gak ada urusannya lagi sama gue."
"Udah berapa tahun ya? Empat tahun si cewek pita putih itu mati. Kayaknya banyak yang berubah. Kasian."
Penuturannya membuat Nadira menganga tak percaya. "Kurang ajar lo! Setelah kejadian itu lo ke mana, hah? Menghilangkan jejak setelah berhasil balas dendam? Gara-gara lo, Shana yang gak bersalah pun jadi korban!"
Perempuan itu tiba-tiba memasang muka melas, ia terus-terusan meminta maaf, wajahnya tampak sedih. "Maafin gue, tolong maafin semua kesalahan gue di masa lalu. G-gue gak bermaksud ngerebut Maheesa dari Shana, gue menyesal."
Lalu sedetik kemudian tanpa merasa bersalah, dia malah tertawa terbahak-bahak. "HAHAHAHA, itu kan yang lo mau? Ngapain gue minta maaf, bukan salah gue."
KAMU SEDANG MEMBACA
Titik Nol Kilometer Yogyakarta ✓
Teen Fiction[SUDAH DIBUKUKAN] ❝Semenjak kamu pergi, definisi rumah yang hangat juga ikut menghilang. Tidak ada lagi yang memberi tempat berteduh kala hujan desember datang, tidak ada lagi yang mengobati goresan lukaku dengan plester cokelat muda yang selalu kam...