•••
Seorang ibu berlari dengan langkah tertatih-tatih melewati lorong-lorong rumah sakit. Ia mengepalkan kedua tangan di dada seraya terus berdoa agar putranya baik-baik saja. Ia berusaha untuk tetap tenang, kendati semua pikiran buruk tentang rumah sakit masih membekas di ingatan---perihal kematian yang pernah merenggut putrinya bertahun-tahun silam.
Tepat dini hari, sebuah panggilan telepon dari rumah sakit sukses membuatnya menegang---bagaikan petir yang menyambar tepat di jantung. Mereka mengatakan kalau putranya dilarikan ke sana karena kasus penganiayaan. Hati ibu mana yang tidak terluka mendengar putra satu-satunya sekarat dan hampir meregang nyawa?
Dalam sisa-sisa langkah menuju ruang ICU, beliau terus merapalkan doa, meminta pada Tuhan untuk menyelamatkan putranya. Hanya itu saja.
Hingga akhirnya, ketika langkahnya sampai di depan ruang ICU, ia menemukan seorang pemuda tengah menunggu di sana.
"Jendra, nak ..." paraunya.
Rajendra segera menghampiri Ibu Andra yang terlihat kacau, pemuda itu lantas mengelus pundak beliau untuk menyalurkan rasa tenang karena Ibu Andra pasti sangat panik sekarang, "Semuanya bakalan baik-baik aja, Bu. Bang Andra sudah ditangani pihak medis. Kita tunggu kabar selanjutnya. Mari duduk." Jendra lantas menuntun Ibu untuk duduk.
Ibu Andra menggenggam tangan Jendra seraya berkata, "Terima kasih, Jendra. Berkat kamu Andra bisa dilarikan ke sini lebih cepat. Ibu gak bisa bayangin kalau nggak ada kamu, mungkin saja Andra sudah tidak tertolong. Sekali lagi, terima kasih."
Jendra tidak mengatakan apa-apa, ia hanya bisa tersenyum miris, karena harusnya Maheesa yang berhak merasakan hangat genggaman ini.
"Ibu berhutang banyak sama kamu."
Bukan, bukan padanya sebab Jendra jelas-jelas tidak berhak.
Namun, alih-alih mengatakan yang sebenarnya, Jendra memilih mengangguk-angguk.
Sebenarnya, Jendra tidak berniat membuat satu kebohongan besar kalau saja Maheesa tak membujuknya untuk tetap merahasiakan.
Setengah jam yang lalu, Maheesa menceritakan semuanya pada Jendra, mulai dari masalah utama karena terlilit hutang, kemudian Jagara yang dijadikan jaminan.
Mendengar penuturan Maheesa, Jendra mengernyit heran. "Bentar, lo yang bayar? Duit dari mana?"
"Ngepet."
"Dih, gak ngajak-ngajak."
"Ya enggak lah. Gini-gini meskipun keliatan kayak orang pengangguran, gue juga punya uang."
"Jangan bilang hasil tabungan manggung?"
"Bukan, Jen."
"Terus?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Titik Nol Kilometer Yogyakarta ✓
Teen Fiction[SUDAH DIBUKUKAN] ❝Semenjak kamu pergi, definisi rumah yang hangat juga ikut menghilang. Tidak ada lagi yang memberi tempat berteduh kala hujan desember datang, tidak ada lagi yang mengobati goresan lukaku dengan plester cokelat muda yang selalu kam...