27. Beban Pundakmu

968 305 763
                                    

Rajendra datang dari belakang rumah dengan membawa sebaskom air, lap bersih dan beberapa plester. Ia langsung mendudukkan diri di samping Maheesa. Kemudian mencelupkan lap ke dalam air dan memerasnya.

Hendak saja Jendra membersihkan luka, Maheesa sontak berjengit menjauh, "Pelan-pelan loh. Sakit." peringatnya.

"Bawel. Sini buru!"

Mengerucutkan bibirnya, Maheesa lantas kembali mendekat. Jendra langsung saja menempelkan lap basah itu di sebagian luka, sudut bibir dan rahang bawahnya yang membiru.

Seperti bisikan setan, Jendra tersenyum saat ide jahil terbesit di pikirannya, ia sengaja menekan lebih kuat luka itu sampai akhirnya ...

"AHHHHHHHH A-ANJING PELAN-PEL--- emhhh."

Tak sampai Maheesa menyelesaikan kalimatnya, Jendra keburu membekap mulutnya. Pemuda itu melotot panik, "Teriaknya jangan kenceng-kenceng, bangsul! Nanti tetangga pada curiga."

"Tangan lo bisa singkirin dulu gak? Bau terasi!" kemudian Maheesa mendengus kesal, "Sakit goblok!"

Jendra lantas menjauhkan tangannya, pemuda itu berdecak pelan, "Cih, cemen lo! Giliran pas ditonjok tadi malah gak ngelawan sama sekali."

"Gue gak ada hak melawan atau bahkan hajar balik bang Andra."

"Ada! Sebagai bentuk perlindungan diri, bukannya malah pasrah dihakimi!"

"Udah deh, Jen. Lagian gue yang ngerasain sakitnya."

"TAPI GUE YANG REPOT, SETAN!"

Mendengar itu, Maheesa hanya bisa cengengesan.

"Hehehe, iya ya."

Setelah dirasa cukup bersih, Jendra menempelkan plester di titik luka. Hanya satu, di sudut bibir bagian bawah.

"Udah."

"Makasih, bro!"

"Iya."

"Jen, tadi waktu ke makam gue ketemu sama Nadira."

Jendra yang hendak pergi segera mengurungkan niatnya, dia berbalik dan bertanya-tanya, "Terus, gimana?"

"Masih belum, Jen."

Menghela nafas berat, Jendra beralih menepuk-nepuk pundak maheesa, "Nadira masih butuh lebih banyak waktu buat ikhlas, sabar."

"Gue harap secepatnya dia bisa menerima, gue juga gak maksa dia buat memaafkan gue kok. Cukup Nadira bisa menerima dan mengikhlaskan kepergian Shana, itu udah cukup bagi gue."

Jendra mengangguk-angguk.

"Jen, ada rokok?"

Ketika pertanyaan itu bagai menguar di udara dan masuk jelas ke rungu Rajendra, pemuda itu sukses dibuat mengernyit terkejut---hanya beberapa detik---lalu tak lama ia merogoh sakunya. Mengeluarkan sebungkus rokok yang tersisa lima batang di dalamnya.

Jendra memberikan sebatang rokok ke Maheesa tak lupa korek yang selalu dia bawa. Jendra tahu kalau Maheesa jarang sekali merokok apalagi setelah mendiang mamanya tiada. Tapi melihat situasi saat ini, Jendra hanya bisa menghela nafas pasrah.

"Stress banget kayaknya lo makin sini makin gue lihat, padahal dulu udah janji bakalan berhenti merokok dan gak akan pernah pegang barang ini. Gimana janji lo sama mendiang mama? Diingkari gitu aja?"

Tanpa menjawab Jendra, Maheesa menyulut rokok tersebut, lantas menghisapnya sekali---membiarkan paru-parunya diisi oleh nikotin, tar, arsenik dan berbagai zat berbahaya lainnya bertengger di rongga paru-paru. Lalu menghembuskan asapnya ke udara. Ajaibnya, zat dopamin yang dilepas oleh rokok perlahan membuat suasana hatinya menjadi sedikit lebih tenang.

Titik Nol Kilometer Yogyakarta ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang